Budaya tradisional berbalut mistis, tak terhitung jumlahnya. Seperti tari Bedhaya, kesenian nini thowok, rodhat, jatilan, bahkan sampai seni tradisional Sintren.
Seni tradisional Sintren bermula dari kisah
Sulandono, putra Ki Bahurekso Bupati Kendal dengan Dewi Rantamsari (Dewi
Lanjar), yang memadu kasih dengan Sulasih dari Desa Kalisalak. Namun sayang,
hubungan asmara keduanya tidak direstui Ki Bahurekso. R. Sulandono pun
memutuskan untuk bertapa dan Sulasih memilih menjadi penari. Meskipun demikian
pertemuan di antara keduanya masih terus berlangsung melalui alam gaib.
Dengan menggunakan media roh Dewi
Lanjar, terjadilah pertemuan antara Sulasih dan R. Sulandono. R. Sulandono yang
sedang bertapa dipanggil oleh roh ibunya untuk menemui Sulasih dan terjadilah
pertemuan di antara Sulasih dan R. Sulandono. Sejak itulah, setiap pertunjukan
sintren, sang dukun memasukkan roh bidadari ke dalam tubuh penari yang masih
perawan.
Kesucian
yang Utama
Sebelum menjadi seorang penari
Sintren, sang gadis diharuskan berpuasa terlebih dahulu. Jal ini dimaksudkan
agar tubuh si gadis tetap dalam keadaan suci. Selain menjaga pola makan, sang
gadis dipastikan akan menjaga tingkah lakunya agar tidak berbuat dosa. Keadaan
ini memudahkan roh Dewi Lanjar yang akan masuk kedalam tubuhnya.
Sang penari dimasukkan ke dalam
kurungan ayam yang berselebung kain. Dukun kemudian berjalan memutari kurungan
ayam itu sembari merapalkan mantra memanggil roh Dewi Lanjar,“nemu kembang yona
yoni, kembange siti mahendra, widadari temurunan, merasuki badan nira…”
Jika pemanggilan roh Dewi Lanjar
berhasil, maka ketika kurungan dibuka, sang penari sudah terlepas dari ikatan
dan berdandan cantik, lalu menari diiringi gending.
Namun ada pula riwayat lain yang
mengisahkan jika kesenian Sintren bermula dari kebiasaan masyarakat nelayan
untuk menghilangkan kebosanan sembari menunggu kedatangan ayah mereka dari
melaut.
Seni tradisional ini
https://www.youtube.com/watch?v=KhHB9mTGQ3E&feature=youtu.be
MNC WORLD NEWS
Glimpse From The Past – Indonesia’s Urban Legend
(Ki Cokro ST)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar