Jumat, 31 Maret 2017

Menguak Dua Nama Kerajaan Mataram

Gapura Petilasan Mataram Kuno
Dalam sejarah kerajaan di Jawa, tercatat ada dua nama kerajaan Mataram. Tetapi kedua nama kerajaan tersebut memiliki masa yang berbeda. Bahkan, keduanya memiliki rentan jarak  yang jauh, hampir seribu tahun.

Tentu yang pertama adalah kerajaan Mataram Hindu-Budha yang keberadaannya diperkirakan pada abad VII Masehi. Sedangkan Mataram yang kedua seperti yang kita tahu adalah Mataram Islam yang berdiri pada abad XVI Masehi. Kemudian, untuk menelisik kerajaan Mataram kuno maka kita harus membincang berdirinya kerajaan Medang. Seperti yang tertulis dalam sejarah, kerajaan Medang inilah kerajaan pertama di Jawa yang meninggalkan bukti keberadaannya.

Mataram, adalah satu wilayah yang ada di Jawa Tengah tempat di mana awal kerajaan Medang berdiri pada abad VIII dan sekaligus menjadikan tempat tersebut pusat pemerintahannya. Selanjutnya, pusat pemerintahanya berpindah ke kota Jombang, Jawa Timur pada abad X. Para raja kerajaan ini banyak meninggalkan bukti sejarah berupa prasasti-prasasti yang tersebar di Jawa Tengah dan Jawa Timur, serta membangun banyak candi baik yang bercorak Hindu maupun Budha. Kerajaan Medang akhirnya runtuh pada awal abad ke XI.

Secara umum dalam literatur sejarah, istilah Kerajaan Medang hanya lazim dipakai untuk menyebut periode Jawa Timur saja, padahal berdasarkan prasasti-prasasti yang telah ditemukan, nama Medang sudah dikenal sejak periode sebelumnya, yaitu periode Jawa Tengah. Sementara itu, nama yang lazim dipakai untuk menyebut Kerajaan Medang periode Jawa Tengah adalah Kerajaan Mataram, yaitu merujuk kepada salah satu daerah ibu kota kerajaan ini.

Kadang untuk membedakannya dengan Kerajaan Mataram Islam yang berdiri pada abad ke XVI, Kerajaan Medang periode Jawa Tengah biasa pula disebut dengan nama Kerajaan Mataram Kuno atau Kerajaan Mataram Hindu. Bhumi Mataram adalah sebutan lama untuk Yogyakarta dan sekitarnya. Di daerah inilah untuk pertama kalinya istana Kerajaan Medang diperkirakan berdiri (Rajya Medang i Bhumi Mataram). Nama ini ditemukan dalam beberapa prasasti, misalnya prasasti Minto dan prasasti Anjukladang.

Istilah Mataram kemudian lazim dipakai untuk menyebut nama kerajaan secara keseluruhan, meskipun tidak selamanya kerajaan ini berpusat di sana. Seperti yang sudah saya narasikan di atas, sejatinya pusat Kerajaan Medang pernah mengalami beberapa kali perpindahan, bahkan sampai ke daerah Jawa Timur sekarang. Beberapa daerah yang pernah menjadi lokasi istana Medang berdasarkan prasasti-prasasti yang sudah ditemukan antara lain ;

§  Medang I Bhumi Mataram (zaman Sanjaya)  berpusat di Yogya dan sekitarnya.
§  Medang II Mamrati (zaman Rakai Pikatan) berpusat di Magelang, Jawa Tengah.
§  Medang III Poh Pitu (zaman Dyah Balitung) berpusat di Magelang dan sekitarnya.
§  Medang IV Bhumi Mataram (zaman Dyah Wawa) berpusat di Yogya.
§  Medang V Tamwlang (zaman Mpu Sindok) berpusat di Jombang, Jawa Timur.
§  Medang VI Watugaluh (zaman Mpu Sindok) berpusat di Jombang, Jawa Timur.
§  Medang VII Wwatan (zaman Dharmawangsa Teguh) berpusat di Madiun, Jawa Timur.


Menurut perkiraan, Mataram terletak di daerah Yogyakarta sekarang. Mamrati dan Poh Pitu diperkirakan terletak di daerah Kedu sekarang. Sementara itu, Tamwlang sekarang disebut dengan nama Tembelang, sedangkan Watugaluh sekarang disebut Megaluh. Keduanya terletak di daerah Jombang. Istana terakhir, yaitu Wwatan, sekarang disebut dengan nama Wotan, yang terletak di daerah Madiun.
Candi Lumbung, Mataram Kuno

Prasasti Mantyasih tahun 907 atas nama Dyah Balitung menyebutkan dengan jelas bahwa raja pertama Kerajaan Medang (Rahyang ta rumuhun ri Medang ri Poh Pitu) adalah Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya. Sanjaya sendiri mengeluarkan prasasti Canggal tahun 732, namun tidak menyebut dengan jelas apa nama kerajaannya. Ia hanya memberitakan adanya raja lain yang memerintah pulau Jawa sebelum dirinya, bernama Sanna. Nama Sanna tidak terdapat dalam daftar para raja versi prasasti Mantyasih. Bisa jadi ia memang bukan raja Kerajaan Medang.

Kemungkinan besar riwayat Sanjaya mirip dengan Raden Wijaya (pendiri Kerajaan Majapahit akhir abad ke XIII) yang mengaku sebagai penerus tahta Kertanagara raja Singhasari, namun memerintah sebuah kerajaan baru dan berbeda. Kisah hidup Sanjaya secara panjang lebar terdapat dalam Carita Parahyangan yang baru ditulis ratusan tahun setelah kematiannya, yaitu sekitar abad ke XVI (masa Mataram Islam). Sepeninggal Sanna, negara menjadi kacau. Sanjaya kemudian tampil menjadi raja, atas dukungan ibunya, yaitu Sannaha saudara perempuan Sanna.

Sanna juga dikenal dengan nama Sena atau Bratasenawa, merupakan raja Kerajaan Galuh yang ketiga (709 - 716 M). Bratasenawa alias Sanna atau Sena digulingkan dari tahta Galuh oleh Purbasora (saudara satu ibu Sanna) dalam tahun 716 M. Sena akhirnya melarikan diri ke Pakuan, meminta perlindungan pada Raja Tarusbawa. Tarusbawa yang merupakan raja pertama Kerajaan Sunda (setelah Tarumanegara pecah menjadi Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh) adalah sahabat baik Sanna.

Persahabatan ini pula yang mendorong Tarusbawa mengambil Sanjaya menjadi menantunya. Sanjaya, anak Sannaha saudara perempuan Sanna, berniat menuntut balas terhadap keluarga Purbasora. Untuk itu ia meminta bantuan Tarusbawa (mertuanya yang merupakan sahabat Sanna). Hasratnya dilaksanakan setelah menjadi Raja Sunda yang memerintah atas nama isterinya. Akhirnya Sanjaya menjadi penguasa Kerajaan Sunda, Kerajaan Galuh dan Kerajaan Kalingga (setelah Ratu Shima mangkat).

Dalam tahun 732 M Sanjaya mewarisi tahta Kerajaan Mataram dari orangtuanya. Sebelum ia meninggalkan kawasan Jawa Barat, ia mengatur pembagian kekuasaan antara puteranya, Tamperan dan Resi Guru Demunawan putera bungsu Sempakwaja (adik ipar Sanjaya). Sunda dan Galuh menjadi kekuasaan Tamperan, sedangkan Kerajaan Kuningan dan Galunggung diperintah oleh Resi Guru Demunawan, putera bungsu Sempakwaja.

Pada umumnya para sejarawan menyebut ada tiga dinasti yang pernah berkuasa di Kerajaan Medang, yaitu Wangsa Sanjaya dan Wangsa Sailendra pada periode Jawa Tengah, serta Wangsa Isyana pada periode Jawa Timur. Istilah Wangsa Sanjaya merujuk pada nama raja pertama Medang, yaitu Sanjaya. Dinasti ini menganut agama Hindu aliran Siwa. Menurut teori van Naerssen, pada masa pemerintahan Rakai Panangkaran (pengganti Sanjaya sekitar tahun770-an), kekuasaan atas Medang direbut oleh Wangsa Syailendra yang beragama Buddha Mahayana.

Prasasti Peninggalan Mataram Kuno
Mulai saat itu Wangsa Syailendra berkuasa diseluruh Pulau Jawa, bahkan berhasil pula menguasai Kerajaan Sriwijaya penguasa seluruh Pulau Sumatra. Sampai akhirnya, sekitar tahun 840-an, seorang keturunan Sanjaya bernama Rakai Pikatan berhasil menikahi Pramodawardhani putri mahkota Wangsa Syailendra. Berkat perkawinan itu ia bisa menjadi raja Medang, dan memindahkan istananya ke Mamrati (Magelang).

Peristiwa tersebut dianggap sebagai awal kebangkitan kembali Wangsa Sanjaya. Menurut teori Bosch, nama raja-raja Medang dalam Prasasti Mantyasih dianggap sebagai anggota Wangsa Sanjaya secara keseluruhan. Sementara itu Slamet Muljana berpendapat bahwa daftar tersebut adalah daftar raja-raja yang pernah berkuasa di Medang, dan bukan daftar silsilah keturunan Sanjaya. Contoh yang diajukan Slamet Muljana adalah Rakai Panangkaran yang diyakininya bukan putra Sanjaya. Alasannya ialah, prasasti Kalasan tahun778 memuji Rakai Panangkaran sebagai “permata wangsa Syailendra” (Syailendrawangsatilaka). Dengan demikian pendapat ini menolak teori van Naerssen tentang kekalahan Rakai Panangkaran oleh seorang raja Sailendra.

Menurut teori Slamet Muljana, raja-raja Medang versi Prasasti Mantyasih mulai dari Rakai Panangkaran sampai dengan Rakai Garung adalah anggota Wangsa Syailendra. Sedangkan kebangkitan Wangsa Sanjaya baru dimulai sejak Rakai Pikatan naik tahta menggantikan Rakai Garung. Istilah Rakai pada zaman Medang identik dengan Bhre pada zaman Majapahit, yang bermakna “penguasa di”. Jadi, gelar Rakai Panangkaran sama artinya dengan “Penguasa di Panangkaran”. Nama aslinya ditemukan dalam prasasti Kalasan, yaitu Dyah Pancapana.

Slamet Muljana kemudian mengidentifikasi Rakai Panunggalan sampai Rakai Garung dengan nama-nama raja Wangsa Syailendra yang telah diketahui, misalnya Dharanindra ataupun Samaratungga yang selama ini cenderung dianggap bukan bagian dari daftar para raja versi Prasasti Mantyasih. Sementara itu, dinasti ketiga yang berkuasa di Medang adalah Wangsa Isyana yang baru muncul pada ‘’periode Jawa Timur’’. Dinasti ini didirikan oleh Mpu Sindok. Sri Maharaja Isyana Dharmawangsa Teguh Anantawikramottunggadewa adalah raja terakhir Kerajaan Medang yang memerintah pada tahun 991–1007 atau 1016.

Candi Mendut, Peninggalan Mataram Kuno
Asal-Usul Prasasti Pucangan tahun 1041 dikeluarkan oleh raja bernama Airlangga yang menyebut dirinya sebagai anggota keluarga Dharmawangsa Teguh. Disebutkan pula bahwa Airlangga adalah putra pasangan Mahendradatta dengan Udayana raja Bali. Adapun Mahendradatta adalah putri Makuthawangsawardhana dari Wangsa Isyana. Airlangga sendiri kemudian menjadi menantu Dharmawangsa.

Pada umumnya para sejarawan sepakat menyebut Dharmawangsa sebagai putra Makuthawangsawardhana. Teori ini diperkuat oleh prasasti Sirah Keting yang menyebut Dharmawangsa sebagai anggota Wangsa Isyana. Jadi kesimpulannya, Makuthawangsawardhana memiliki dua orang anak, yaitu Mahendradatta dan Dharmawangsa. Mahendradatta menjadi permaisuri di Bali dan melahirkan Airlangga.

Sementara itu, Dharmawangsa menggantikan Makuthawangsawardhana sebagai raja Kerajaan Medang. Setelah dewasa, Airlangga diambil sebagai menantu Dharmawangsa untuk mempererat kekeluargaan. Selain prasasti Pucangan dan prasasti Sirah Keting, nama Dharmawangsa juga ditemukan dalam naskah Mahabharata bahasa Jawa Kuno, pada bagian Wirataparwa, yang ditulis pada tanggal 14 Oktober 996. Prasasti Sirah Keting juga menyebutkan nama asli Dharmawangsa yaitu Wijayamreta Wardhana.

Berita Cina dari Dinasti Song menyebut Kerajaan Sriwijaya di Sumatra dengan nama San-fo-tsi, sedangkan Kerajaan Medang di Jawa dengan nama Cho-po. Dikisahkan bahwa, San-fo-tsi dan Cho-po terlibat persaingan untuk menguasai Asia Tenggara. Kedua negeri itu saling mengirim duta besar ke Cina. Utusan San-fo-tsi yang berangkat tahun 988 tertahan di pelabuhan Kanton ketika hendak pulang, karena negerinya diserang oleh tentara Cho-po.

Pada musim semi tahun 992 duta San-fo-tsi tersebut mencoba pulang namun kembali tertahan di Campa karena negerinya belum aman. Ia meminta kaisar Song supaya menyatakan bahwa San-fo-tsi berada dalam perlindungan Cina. Utusan Cho-po juga tiba di Cina tahun 992. Ia dikirim oleh rajanya yang naik tahta tahun 991. Raja baru tersebut diduga kuat adalah Dharmawangsa Teguh.

Prasasti Peninggalan Mataram Kuno
Dengan demikian, dari berita Cina tersebut dapat diketahui kalau pemerintahan Dharmawangsa dimulai sejak tahun 991. Kerajaan Medang berhasil menguasai Palembang tahun 992, namun pasukan Medang berhasil dipukul mundur oleh pasukan Sriwijaya. Prasasti Hujung Langit tahun 997 kembali menyebutkan adanya serangan Jawa terhadap Sumatra.

Prasasti Pucangan mengisahkan kehancuran Kerajaan Medang yang dikenal dengan sebutan Mahapralaya atau “kematian besar”. Dikisahkan Dharmawangsa menikahkan putrinya dengan seorang pangeran Bali yang baru berusia 16 tahun, bernama Airlangga. Di tengah keramaian pesta, tiba-tiba istana diserang Aji Wurawari dari Lwaram dengan bantuan askar-askar Sriwijaya.

Istana Dharmawangsa yang terletak di kota Wwatan hangus terbakar. Dharmawangsa sendiri tewas dalam serangan tersebut, sedangkan Airlangga lolos dari maut. Tiga tahun kemudian Airlangga membangun istana baru di Wwatan Mas dan menjadi raja sebagai penerus tahta mertuanya.

Dari prasasti Pucangan diketahui adanya perpindahan ibu kota kerajaan. Prasasti Turyan menyebut ibu kota Kerajaan Medang terletak di Tamwlang, dan kemudian pindah ke Watugaluh menurut prasasti Anjukladang. Kedua kota tersebut terletak di daerah Jombang sekarang. Sementara itu kota Wwatan diperkirakan terletak di daerah Madiun, sedangkan Wwatan Mas terletak di dekat Gunung Penanggungan.

Mengenai alasan Haji Wurawari membunuh Dharmawangsa terjadi beberapa penafsiran. Ada yang berpendapat bahwa Wurawari sakit hati karena lamarannya terhadap putri Dharmawangsa ditolak. Ada pula yang berpendapat bahwa Wurawari merupakan bawahan yang ambisius yang hendak mengambil alih kekuasaan Dharmawangsa. Prasasti Pucangan yang keadaannya sudah tua melahirkan dua versi terhadap tahun berdirinya istana Wwatan Mas.

Sewlokan Peninggalan Mataram Kuno
Golongan pertama membaca angka tahun berupa kalimat Suryasengkala yaitu Locana agni vadane atau tahun 1010 Masehi, sedangkan golongan kedua membacanya Sasalancana abdi vadane atau tahun 1016. Dengan demikian, versi pertama menyebut kehancuran istana Wwatan atau kematian Dharmawangsa terjadi pada tahun 1007, sedangkan versi kedua menyebut peristiwa Mahapralaya tersebut terjadi tahun 1016.

Airlangga (Bali, 990 - Belahan, 1049) atau sering pula ditulis Erlangga, adalah pendiri Kerajaan Kahuripan, yang memerintah 1009-1042 dengan gelar abhiseka Sri Maharaja Rakai Halu Sri Dharmawangsa Airlangga Anantawikramottunggadewa. Sebagai seorang raja, ia memerintahkan Mpu Kanwa untuk mengubah Kakawin Arjunawiwaha yang menggambarkan keberhasilannya dalam peperangan. Di akhir masa pemerintahannya, kerajaannya dibelah dua menjadi Kerajaan Kadiri dan Kerajaan Janggala bagi kedua putranya. Nama Airlangga sampai saat ini masih terkenal dalam berbagai cerita rakyat, dan sering diabadikan di berbagai tempat di Indonesia
Runtuhnya Kerajaan Medang

Raja Kerajaan Medang yang terakhir bernama Dharmawangsa Teguh, saingan berat Kerajaan Sriwijaya. Pada tahun 1006 Raja Wurawari dari Lwaram (sekutu Sriwijaya) menyerang Watan, ibu kota Kerajaan Medang, yang tengah mengadakan pesta perkawinan. Dharmawangsa Teguh tewas, sedangkan keponakannya yang bernama Airlangga lolos dalam serangan itu. Airlangga adalah putera pasangan Mahendradatta (saudari Dharmawangsa Teguh) dan Udayana raja Bali. Ia lolos ditemani pembantunya yang bernama Narotama. Sejak saat itu Airlangga menjalani kehidupan sebagai pertapa di hutan pegunungan (wanagiri).

Pada tahun 1009, datang para utusan rakyat meminta agar Airlangga membangun kembali Kerajaan Medang. Karena kota Watan sudah hancur, maka, Airlangga pun membangun ibu kota baru bernama Watan Mas di dekat Gunung Penanggungan. Pada mulanya wilayah kerajaan yang diperintah Airlangga hanya meliputi daerah Gunung Penanggungan dan sekitarnya, karena banyak daerah-daerah bawahan Kerajaan Medang yang membebaskan diri. Baru setelah Kerajaan Sriwijaya dikalahkan Rajendra Coladewa raja Colamandala di India tahun 1023.

Airlangga merasa leluasa membangun kembali kejayaan Wangsa Isyana. Peperangan demi peperangan dijalani Airlangga. Satu demi satu kerajaan-kerajaan di Jawa Timur dapat ditaklukkannya. Namun pada tahun 1032 Airlangga kehilangan kota Watan Mas karena diserang oleh raja wanita yang kuat bagai raksasa.

Airlangga kemudian membangun ibu kota baru bernama Kahuripan di daerah Sidoarjo sekarang. Musuh wanita dapat dikalahkan, bahkan kemudian Raja Wurawari pun dapat dihancurkan pula. Saat itu wilayah kerajaan mencakup hampir seluruh Jawa Timur. Nama Kahuripan inilah yang kemudian lazim dipakai sebagai nama kerajaan yang dipimpin Airlangga, sama halnya nama Singhasari yang sebenarnya cuma nama ibu kota, lazim dipakai sebagai nama kerajaan yang dipimpin Kertanagara. Pusat kerajaan Airlangga kemudian dipindah lagi ke Daha, berdasarkan prasasti Pamwatan, 1042 dan Serat Calon Arang.

Pada akhir pemerintahannya, Airlangga berhadapan dengan masalah persaingan perebutan takhta antara kedua putranya. Calon raja yang sebenarnya, yaitu Sanggramawijaya Tunggadewi, memilih menjadi pertapa dari pada naik tahta. Pada akhir November 1042, Airlangga terpaksa membagi kerajaannya menjadi dua, yaitu bagian barat bernama Kadiri beribu kota di Daha, diserahkan kepada Sri Samarawijaya, serta bagian timur bernama Janggala beribu kota di Kahuripan, diserahkan kepada Mapanji Garasakan. Setelah turun tahta, Airlangga menjalani hidup sebagai pertapa sampai meninggal sekitar tahun 1049. Dengan berdirinya Kerajaan Jenggala maka berakhirlah sejarah kerajaan Medang / Mataram Hindu Budha. 




MNC WORLD NEWS
Glimpse From The Past – Indonesia’s Urban Legend
(Ki Cokro ST)

Pringgondani, Pertapaan Eyang Koconegoro Lereng Lawu

Keberadaan pertapaan Pringgondani di lereng gunung Lawu sudah lama dikenal sebagai tempat yang wingit. Sebuah kompleks pertapaan yang diyakini sebagai salah satu petilasan Raja Majapahit yang terakhir, Prabu Brawijaya V. Ia disebut melarikan diri dari musuh-musuhnya sampai kemudian meninggal atau disebut moksa di sana.

Terletak di Kelurahan Blumbang, Gunung Lawu, yang secara administrasi berada di perbatasan antara Jawa Tengah dengan Jawa Timur, Pringgondani berasal dari kata "pring" (bambu), "nggon" (tempat), dan "dani" (memperbaiki). Secara sederhana bisa diartikan sebagai "tempat yang digunakan untuk memperbaiki diri". Dalam nama yang lain Pringgondani juga disebut “Eyang Panembahan Koconegoro”, karena di dalam kompleks pertapaan terdapat Pertapaan Koconegoro; sebuah tempat yang dituakan (dikeramatkan) yang digunakan untuk tempat bercerminnya kerajaan.

Dalam Kehidupan Dunia Keraton Surakarta 1830-1939, Darsiti Soeratman (1980: 155) pernah menyebutkan bahwa dalam kepercayaan Jawa, dengan syarat-syarat tertentu manusia bisa meminta kepada penguasa dari empat mata angin. Termasuk tentu saja jika dia adalah seorang penguasa di daerah tersebut.

Di selatan ada Ratu Kidul atau Nyai Roro Kidul, di Samudra Hindia. Sebelah barat ada Kanjeng Ratu Sekar Kedhaton di Gunung Merapi. Di utara ada Bethari Durga yang berkedudukan di Hutan Krendawahana. Dan petilasan Pringgondani adalah salah satu tempat penguasa wilayah Timur berada; tempat petilasan Prabu Brawijaya V atau juga dikenal sebagai Kanjeng Sunan Lawu.

Dalam Dunia Spiritual Soeharto (hal. 128), Presiden Kedua Indonesia disebut-sebut sebagai salah satu presiden yang cukup konsisten menjalani laku spiritual demikian. Soeharto biasanya akan memulai dari arah selatan terlebih dahulu, baru kemudian ke barat, utara, dan terakhir sebelah timur. Ritual yang sudah menjadi tradisi dan dilakukan oleh raja-raja Mataram Islam sejak lama. Mitos yang kemudian berkembang menjadi kepercayaan bahwa seorang pemimpin (dari) Jawa harus melakukannya agar negara dan kedudukannya aman sentosa.

Menurut Karen Amstrong, penulis Sejarah Tuhan, sebuah mitos—walau seabsurd apapun alasannya—dianggap benar karena efektif memberi pengaruh. Sebuah mitos tidak perlu memberikan informasi faktual atau alasan logis, karena mitos pada dasarnya merupakan panduan atau aturan-aturan yang tidak tertulis pada masyarakat untuk menjalani hidup.

Dalam lingkup kekuasaan, Joseph Campbell dan Bill Moyers dalam The Power of Myth (1991) menyatakan bahwa mitos adalah usaha memperkuat seorang tokoh menjadi ikon yang tidak hanya punya kekuasaan secara formil namun juga kekuasaan secara kultural.

Artinya, jika hanya menggunakan kekuasan secara struktural, kedudukan Raja-raja Mataram Islam tidak akan bertahan dan mengakar begitu kuat. Mitos digunakan sebagai siasat kebudayaan agar rakyat percaya bahwa raja mereka memang merupakan manusia pilihan. Raja bukan manusia biasa, ia punya kekuatan yang tidak hanya terlihat secara kasat mata. Pada titik ini, rakyat akan merasa dilindungi secara alam bawah sadar mereka, di sisi lain juga rakyat akan selalu merasa diawasi dan tunduk tanpa perlu dibikin aturan-aturan yang tertulis.

Secara perhitungan ekonomi, terutama terkait dengan pengadaan alat-alat militer untuk menjaga stabilitas kerajaan, hal ini jelas jauh lebih efisien. Menggunakan cerita dan mitos jauh lebih mudah merasuk ke rakyat. Bahkan bisa terus berlangsung secara turun menurun. Ini jelas penghematan anggaran kerajaan yang luar biasa untuk membuat rakyat tunduk kepada raja.

Fungsi lainnya, mitos juga bisa digunakan untuk membuat rakyat tidak mudah berpaling begitu mudah dari raja mereka, terutama jika muncul tuan tanah atau orang kaya berpengaruh yang secara kekuasaan berpotensi mengancam kekuasaan raja. Inilah yang diungkapkan Onghokham dalam Dari Soal Priyayi sampai Nyi Blorong, Refleksi Historis Nusantara.

Di Kerajaan Surakarta, ada perbedaan mendasar antara mitos Nyi Roro Kidul dengan Nyi Blorong. Nama terakhir ini punya konotasi negatif, karena Nyi Blorong dianggap sebagai sekutu untuk memperkaya diri, sedangkan Nyi Roro Kidul berkonotasi positif karena dianggap sebagai sekutu yang tulus. Nyi Roro Kidul pada akhirnya dianggap punya peran juga melindungi kerajaan. Di sinilah kemudian, orang-orang kaya dipersepsikan sebagai orang tamak yang harus dijauhi, sedangkan raja jarus didekati karena ia adalah orang baik.

Hal ini juga berlaku dengan hubungan raja-raja mataram dengan Sunan Lawu di kompleks pertapaan Gunung Lawu seperti di Pringgondani. Hal ini terkait karena roh-roh di Gunung Lawu yang dipercaya merupakan roh-roh Raja Majapahit di masa silam. Onghokham menyebut bahwa Keraton Surakarta pernah menggunakan mitos pertapaan di Gunung Lawu dalam sengketa perebutan kekuasaan.

Pada 1742, Paku Buwono II yang lebih condong ke VOC dikudeta oleh rakyatnya yang anti-VOC. Pada perkembangannya, rakyat kemudian ikut-ikutan menjadi anti-Paku Buwono II. Pemberontakan ini diinisiasi oleh gabungan masyarakat etnis Tionghoa dengan masyarakat Jawa yang kemudian mengangkat Raden Mas Gerendi menjadi raja dengan sebutan “Sunan Kuning”. Nama yang diusulkan rakyat etnis Tionghoa.

Karena disingkirkan dari singgasananya, Paku Buwono II kemudian bertapa di Gunung Lawu. Setelah bertapa, Paku Buwono II kemudian mendaku dan mengumumkan diri sebagai reinkarnasi Sunan Lawu atau Prabu Brawijaya, raja terakhir Kerajaan Majapahit. Menggunakan mitos ini, dengan bantuan tentara VOC, Paku Buwono II kembali dapat merebut tahtanya. Kejadian yang dikenal sebagai “Geger Pecinan” ini menjadi latar perubahan nama dan perpindahan letak geografis dari Kartasura menjadi Surakarta.

Menjadi menarik jika kemudian pengunjung kompleks pertapaan Pringgodani merasa punya nasib yang sama dengan Paku Buwono II. Menyingkir (sejenak) dari pusat kekuasaan karena merasa dikalahkan oleh penguasa etnis Tionghoa. Seperti kata George Orwell: “Mitos yang dipercayai, cenderung akan jadi benar.” 


Mitos Hubungan Ratu Kidul Dengan Kraton Kasunanan Surakarta


Hubungan sosok Kanjeng Ratu Kidul atau Keraton Kasunana Surakarta menyebutnya sebagai Kanjeng Ratu Ayu Kencono Sari adalah tokoh legenda yang sangat populer di kalangan masyarakat pulau Jawa. Menurut mitos yang ada, Kanjeng Ratu Kidul memiliki kuasa atas ombak keras samudra Hindia dari istananya yang terletak di jantung samudera.Legenda Jawa dari abad ke-16 menyatakan Kanjeng Ratu Kidul merupakan pelindung dan pasangan spiritual 

Panembahan Senapati sebagai pendiri Kerajaan Mataram, maupun keturunannya, baik di Keraton Surakarta (Solo) maupun Yogyakarta. Kedudukannya berhubungan dengan Merapi-Keraton-Laut Selatan yang berpusat di Keraton Surakarta dan Yogyakarta.

Mengenai legenda Kanjeng Ratu Kidul, Wakil Pengageng Sasana Wilapa Keraton Surakarta, Kanjeng Pangeran (KP) Winarno Kusuma menceritakan, pada awalnya pangeran Panembahan Senopati berkeinginan untuk mendirikan sebuah kerajaan baru, yaitu Kesultanan Mataram, untuk melawan kekuasaan Kesultanan Pajang.

"Kalau menurut sejarahnya, saat itu Panembahan Senopati melakukan tapa di pantai Parang Kusumo atau Pantai Selatan, yang terletak di selatan kediamannya di Kota Gede Yogyakarta. Dalam pertapaannya terjadi fenomena supernatural yang mengganggu kerajaan di Laut Selatan. Sang Ratu sebagai penguasa laut selatan datang untuk melihat siapa yang menyebabkan gangguan di kerajaannya. Saat melihat pangeran yang tampan, ia jatuh cinta dan meminta Panembahan Senopati untuk menghentikan tapanya. Sebagai gantinya, ia bersedia membantu mendirikan kerajaan yang baru," ujar pria yang akrab disapa Kanjeng Win tersebut.

Menurut Kanjeng Win sejak saat itu sang Ratu dilamar oleh Panembahan Senopati untuk menjadi pasangan spiritualnya serta menjadi pelindung spiritual bagi kerajaan. Bahkan nantinya sang Ratu juga akan menjadi pasangan spiritual semua Raja keturunan Mataram.

"Kalau di Keraton Surakarta Kanjeng Ratu menjadi istri Raja Paku Buwono(PB) I sampa IX. Mulai PB X sudah tidak lagi," imbuhnya.

Kanjeng Win mengisahkan, mulai PB X Kanjeng Ratu Kidul sudah tidak lagi menjadi istri raja.

"Saat itu PB IX mau bertapa di panggung Sangga Buwana (bagunan berbentuk seperti menara, di dalam Keraton, yang digunakan Raja bertemu dengan Ratu Kidul), tapi calon putra mahkotanya yang berumur 3 tahun ikut. Saat pertemuan raja dan Ratu Kidul, tiba-tiba putra raja hendak terjatuh. Namun bisa diselamatkan oleh Ratu Kidul. Saat menyelamatkan tersebut, ratu memanggil anak tersebut dengan sebutan 'anakku'. Sejak itulah anak tersebut benar-benar dianggap sebagai anak sendiri oleh Ratu Kidul dan dijadikan putra mahkota di keraton," beber kanjeng Win.

Kanjeng Win mengemukakan, sejak peristiwa tersebut, Ratu Kidul sudah tidak menjadi istri spiritual Raja Surakarta lagi. Saat anak tersebut diangkat menjadi raja PB X, ia menjadi raja yang berjaya di nusantara. Dari PB X hingga PB XIII saat ini mitos Ratu Kidul sebagai istri spiritual Raja Surakarta semakin menghilang. Namun, lanjut kanjeng Win, Kanjeng Ratu Kidul masih sering hadir dalam momen-momen tertentu.

"Percaya atau tidak percaya silakan, beliau itu pasti rawuh (hadir) setiap ada ritual yang menggunakan sajian tari sakral 'Bedaya Ketawang'. Dalam tarian tersebut ada 9 penari, salah satu pasti akan menyatu, didatangi Kanjeng Ratu. Akan terlihat auranya, tariannya juga pasti beda dengan penari yang lain. Lebih lembut, lemas dan luwes, dan sangat menjiwai. Karena tarian itu konon diciptakan sendiri oleh Kanjeng Ratu Kidul," ungkapnya.

Menurut kepercayaan di kalangan keraton, tari Tari Bedaya Ketawang digelar setiap tahun, yang dipercaya sebagai persembahan kepada Kanjeng Ratu Kidul. Tarian tersebut hanya digunakan dalam upacara ritual Tingalan Dalem Jumenengan yang diselenggarakan keraton kasunanan Surakarta Hadiningrat, merupakan sebuah upacara ritual adat istiadat keraton untuk memperingati hari ulang tahun penobatan kenaikan Tahta Susuhunan Paku Buwono yang diadakan setahun sekali.

Upacara ini diselenggarakan di pendapa Agung Sasana Sewaka yang dihadiri oleh semua abdi dalem dan sentana dalem serta beberapa tamu undangan. Upacara Tingalan Dalem Jumenengan merupakan upacara adat yang sangat disakralkan yang diyakini memiliki makna penting oleh kerajaan yang masih mempunyai garis darah dengan dinasti Mataram.

Dalam prosesi upacara inilah tarian Bedaya Ketawang ditampilkan seusai prosesi Tingalan Dalem Jumenengan selesai. Tarian jawa klasik ini diperagakan oleh 9 penari putri yang belum menikah atau yang masih perawan.

Tarian Bedhaya Ketawang adalah sebuah tarian 'mistik' yang menggambarkan tentang cinta kasih atau hubungan batin antara raja-raja dinasti Mataram dan penerusnya dengan penguasa laut selatan atau yang lebih dikenal dengan Kanjeng Ratu Kidul. Namun ada beberapa sumber yang mengatakan bahwa tarian Bedhaya Ketawang adalah tarian yang mengisahkan siklus kehidupan manusia dari lahir, hidup, mati hingga alam keabadian  


Misteri Makam Raja Blongkod di Gorontalo

Bagi Masyarakat Gorontalo mendefiniskan makam Blongkod sebagai makam salah seorang Raja Atinggola, namun tidak diketahui nama dan tahun berapa masa pemerintahan dan kekuasaannya. Hanya disebutkan kampung Dunggala pada masa yang lalu masuk dalam wilayah teritori Kerajaan Atinggola sebelum islam diterima di Gorontalo daerah ini. Itulah sebabnya mengapa makam ini juga berorientasi timur-barat bukan utara-selatan sebagaimana yang dipersyaratkan di dalam pemakaman islam.
Makam Raja Blongkod terletak di Kampung Dunggala Desa Dunggala, Kecamatan Tapa, Kabupaten Bone Bolango, Provinsi Gorontalo. Lingkungan situs berada di sebuah dataran landai yang dikelilingi ladang dan kebun penduduk. Di situs ini terdapat dua buah makam dengan spesifikasi yang berbeda, yaitu:
Makam pertama
Terdistribusi pada bagian tenggara lahan dengan arah hadap denah berorientasi timur-barat. Bangunan makam dibuat di atas konstruksi susunan batu kali menggunakan bahan perekat. Merupakan makam berundak yang terdiri atas dua terap atau undak dengan denah dasar persegi panjang. Undak pertama berukuran panjang 5 meter dan lebar 3,5 meter dengan tinggi 70 Cm. Undak kedua diletakkan di atas undak pertama dimana luasnya lebih kecil berukuran panjang 3,8 meter, lebar 2,5 meter dengan tinggi 40 Cm.
Kemudian pada bagian puncak terdapat sebuah bidang berbentuk persegi panjang dimana sisi atasnya dibuat seperti atap segitiga pelana dengan denah berukuran panjang 3 meter, lebar 1,5 meter dan tinggi puncak 50 meter. Tingkat keterawatan benda yang tertinggal dapat dikatakan rendah, karena pada beberapa bagian dari bangunan makam ini telah hancur dan retak. Hancur dalam pengertian terlepasnya bahan batu kali dari satuan perekat terlihat pada bagian undak sebelah utara dan bagian badan dari bidang struktur puncak pada bagian barat dayanya. Sedangkan kasus retakan, pecah dan melendut terjadi pada strukut dinding undak pertama dan beberapa bagian lainnya.
Walaupun beberapa bahan pembentuk terlepas dari strukturnya induknya namun secara umum bangunan makam secara kualitas masih menampakkan bentuk utuhnya sehingga dari aspek pelestariannya masih dapat dibina ulang. Berdasarkan struktur yang tersingkap pada bagian barat daya, terlihat adanya sebuah struktur lain dan juga menggunakan bahan lain yang terdapat di dalam struktur makam secara keseluruhan. Artinya pada makam ini ada dua teknik pengerjaan yang dilakukan pada makam ini namun
bentuk secara keseluruhan tidak berbeda.
Teknik pengerjaan pertama dilakukan dengan cara membuat suatu adonan dari tanah liat kemudian dibentuk seperti sebuah bangunan yang pada bagian sisi atasnya dibuat berbentuk segitiga. Kemudian bangun ini di bakar untuk mengeraskannya yang ditandai dengan ditemukannya beberapa artefak lepas dari tanah liat dan ada bekas-bekas pembakarannya.
Setelah desain ini selesai, maka pada masa berikutnya dibangun struktur luar yang menggunakan bahan batu kali dengan Untitled-1perekat sebagaimana yang tampak sekarang. Apakah struktur tanah liat dan struktur batu kali dibangun pada masa yang sama atau merupakan modifikasi perkembangan belakangan masih perlu ditelusuri lebih jauh.
Makam kedua
Terdistribusi dalam situs berada kurang lebih satu meter sebelah utara makam pertama. Bangunan makam berbentuk setengah bulat dengan orientasi timur-barat. Dibuat diatas struktur batu kali menggunakan perekat. Di bagian bawah bangunan makam terdapat rongga yang lubang masuknya berada di bagian barat strukturnya. Dengan adanya rongga ini, maka keseluruhan bidang dasar bangunan tidak menyentuh tanah kecuali pada bagian sisinya saja.
Struktur bangunan makam berukuran panjang 225 Cm, lebar 150 Cm dan tinggi atau dimeter 50 Cm. Sedangkan tebal batu di atas rongga berukuran kurang lebih 25 Cm. Sesungguhnya bangunan makam yang kedua ini berada di dalam sebuah pagar berbentuk persegi yang disusun dari batu kali menggunakan perekat. Berukuran panjang 5,2 meter dan lebar 4,6 meter dengan ketebalan 20 meter. Yang menarik dari bentuk pagar ini adalah pada keempat sudutnya yang dibuat menjulang lebih tinggi dari bagian tengahnya, sehingga tampak dan berkesan melengkung.
Ukuran tinggi sudut dan tengah pagar masing-masing 180 Cm dan 90 Cm. Tingkat keterawatan makam cukup baik kecuali pada bagian pagar karena beberapa bidang pagar telah retak dan beberap baian batu lepas dari satuannya. Tidak banyak informasi yang dapat diperoleh dari bangunan makam ini kecuali dikatakan bahwa makam ini adalah istri dari makam di sebelahnya yaitu Blongkod yang lebih dikenal sebagai Raja Atinggola.  




MNC WORLD NEWS
Glimpse From The Past – Indonesia’s Urban Legend
(Ki Cokro ST)

Menguak Misteri Muksanya Prabu Brawijaya V Dari Majapahit

Pada masa itu kejayaan Majapahit dicapai pada masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk atau Maharaja Sri Rajasanagara (1350-1389). Pada masa itu, Raja Hayam Wuruk didampingi oleh Mahapatih Gajah Mada yang tersohor akan sumpah Palapa yang diucapkannya.
Hingga sejak masa pemerintahan Raja Kertawijaya (raja Majapahit VIII), gelar Brawijaya mulai digunakan. Penyandangan gelar tersebut dilakukan sebagai sebuah strategi politik, yakni untuk memperkuat kedudukan Kertawijaya sebagai keturunan langsung dari Raden Wijaya, pendiri kerajaan Majapahit. Mengingat, secara epistemologi berasal dari kata "bra" yang berarti raja, dan "wijaya" yang berarti keturunan Raden Wijaya.
Dalam masa kekuasaan Majapahit mulai runtuh pada masa pemerintahan Raja Kertabhumi, yang bergelar Raja Brawijaya V. Raja Brawijaya V merupakan keturunan dari Raja Rajasawardhana, yang bergelar Raja Brawijaya II.
Menyorot sosok Raja Brawijaya V, kisah menghilangnya sang Raja hingga kini masih menjadi perdebatan. Mengingat, pada masa pemerintahan Raja Brawijaya V, perkembangan Islam mulai memasuki Majapahit. Kerajaan Majapahit mulai terdesak dengan perkembangan Islam yang pesat.
Ketua Pusat Studi Peradaban Universitas Brawijaya, Mochammad Fadli mengungkapkan, ada banyak versi terkait meninggalnya Raja Brawijaya V, sang Raja Majapahit XII. Versi pertama, kata Fadli, Raja Brawijaya V diyakini menghilang atau dalam konsep Hindu-Budha dikenal dengan istilah moksa. Moksa adalah kelepasan atau kebebasan dari ikatan duniawi, sekaligus lepas dari putaran reinkarnasi kehidupan.
Versi kedua menyebutkan, Raja Brawijaya V menghilang lantaran dirinya menjadi Muslim dan berguru pada Sunan Ampel. Saat memeluk Islam, Prabu Brawijaya V memilih untuk menyepi ke sebuah desa, dengan menutupi identitasnya.
"Ada satu versi yang saya dengar dari sejarawan juga. Ketika masuk Islam, Prabu Brawijaya V ini, menyepi ke sebuah desa. Tetapi, Prabu Brawijaya ini punya tanda-tanda tertentu," ungkap Fadli, saat ditemui dalam acara Pameran Virtual Museum Brawijaya, 
Sunan Kalijaga yang mengetahui keberadaan Brawijaya V, meminta Raden Patah untuk menemui sang Raja. Raden Patah merupakan putera dari Raja Brawijaya V dengan salah satu selirnya, yang bernama Sie Tan Nio. Raden Patah adalah pendiri sekaligus Raja Demak pertama (Kerajaan Islam).
"Saat itu, Sunan Kalijaga memerintahkan Sultan Demak (Raden Patah) untuk mengunjungi. Tapi dia (Brawijaya V)sudah mengaku bukan Prabu Brawijaya V. Tapi Raden Patah mengetahui, jika itu adalah ayahnya, Prabu Brawijaya V," jelas Fadli.
Hingga saat ini, kebenaran kisah perkenalan Raja Brawijaya V dengan Islam masih ditelusuri. Penelusuran bukti-bukti sejarah terkait perjalanan Majapahit pun masih dilakukan hingga saat ini.  



MNC WORLD NEWS
Glimpse From The Past – Indonesia’s Urban Legend
(Ki Cokro ST)

Kamis, 30 Maret 2017

Pintu Gaib Gua Selarong

Tokoh pejuang gerilya Pangeran Diponegoro, identik dengan berkuda dan bersurjan putih bersenjatakan keris asal tanah Jawa. Dalam kiprah perjuangannya,  Sejarah mencatat, bahwa Pangeran Diponegoro tidak bisa dilepaskan dengan keberadaan tempat keramat, yaitu Goa Selarong.



Pada masa perlawanan Diponegoro terhadap Belanda pada tahun 1825 sampai 1830, Goa Selarong merupakan kunci keberhasilan perjuangan Diponegoro dan pasukannya. Disamping untuk tempat persembunyian, tempat ini juga dijadikan sebagai markas untuk mengatur strategi guna mengusir kompeni dari tanah Jawa.

Letak wilayah Goa Selarong termasuk ke dalam wilayah Dusun Kembang Putihan, Kelurahan Guwosari, Kecamatan Pajangan, Bantul, Yogyakarta. Letaknya berada di selatan Kota Gudeg ini, kira-kira berjarak 30 km dari pusat kota atau jika menggunakan perjalanan darat akan memakan waktu sekitar 45 menit.
Kompleks Goa Selarong terletak di lokasi perbukutan kapur setinggi kurang lebih 35 m yang dipenuhi oleh pepohonan yang labat nan rindang. Letaknya sangatlah curam, kemiringan bisa sekitar 45 derajat. Untuk mencapainya harus meniti ratusan anak tangga sejauh 400 m untuk bisa sampai ke tempat itu.
Goa Selarong ini berbentuk sempit dengan lebar kira-kira hanya 3 m dan tinggi yang tak lebih dari 2 m, sedangkan panjang ke dalamnya cuma sekitar 3 m saja. Tidak ada yang istimewa dari bentuk Goa Selarong ini. Orang Jawa menyebut goa jenis seperti ini dengan sebutan goa buntet alias buntu tidak tembus berlubang. Jadi, goa ini merupakan cekungan cadas biasa saja tanpa ada tembusannya ke dalam.
Dikatakan oleh  sang juru kunci kompleks Goa Selarong, secara kasat mata memang Goa Selarong tersebut adalah buntu, namun bagi Diponegoro dan para pengikutnya, Goa Selarong merupakan pintu gaib untuk masuk menuju ke dalam perut bukit kapur tersebut.
“Walaupun goa tersebut buntu, namun Pangeran Diponegoro dan pengawalnya bisa menembusnya hingga ke dalam, seolah bisa tinggal berada di dalam bukit tersebut. Jadi, Goa Selarong hanyalah sebagai pintu gaib masuknya saja dan goa yang sebenarnya masih berada jauh di dalamnya,” katanya.
Itulah sebabnya yang membuat mengapa Pangeran Diponegoro dan pasukan setianya akan sangat sulit ditangkap dan sama sekali tidak pernah tersentuh atau sekalipun terlihat oleh mata pasukan Belanda, jika sedang bersembunyi di Goa Selarong ini.
Walaupun pasukan Belanda telah sampai di kompleks tersebut, namun pasukan kompeni tetap saja tidak dapat melihat bahwa sebenarnya terdapat ratusan pasukan Diponegoro bersembunyi di dalam Goa Selarong. Pasukan kompeni hanya berputar-putar di lokasi dan hanya bisa melihat gunungan batu cadas yang tak berpenghuni.
Tak heran jika kemudian untuk memancing seorang Diponegoro agar mau keluar dari Goa Selarong, kompeni Belanda melalui Jendral De Kock harus melakukan politik adu domba dengan cara mengajak berunding Diponegoro di Magelang pada sekitar tahun 1830, untuk kemudian menangkap dan mengasingkannya ke Makasar, Sulawesi Selatan hingga akhir hayatnya di tahun 1855.
Keramatnya kompleks Goa Selarong dengan pintu goa gaibnya yang bernama Goa Selarong ini memang sudah tersohor bagi telinga masyarakat Jawa hingga saat ini. Kompleks ini pun terbilang wingit alias angker, pada malam-malam tertentu seperti malam Jumat Kliwon atau malam Selasa Kliwon, terkadang dari dalam perut Goa Selarong terdengar lantunan gending-gending Jawa yang sedang ditabuh. Ada suaranya, namun tidak ada wujudnya.
Konon diyakini, pada kedua hari tersebut para gaib sedang berkumpul di tempat-temat keramat, termasuk di Goa Selarong ini. Pada saat itulah, dari malam hari sampai subuh tebaran aroma seperti dupa dan kemenyan pasti sangat jelas menyeruak dari Goa Selarong ini.
Pun demikian, ada beberapa pantangan yang tidak boleh dilakukan di Goa Selarong ini, yaitu meminta pesugihan atau meminta nomor togel. “Hal itu yang sangat tidak disukai oleh gaib di Goa Selarong tersebut. Jika itu dilanggar, pasti bencana akan menimpa siapa saja yang melanggarnya,” juru kunci.
Bencana tersebut bisa langsung terjadi di tempat itu juga, seperti misalnya terpeleset atau terjatuh dari tebing hingga berakibat kematian. Kalaupun tidak di tempat tersebut, dilain tempat bencana itu pasti akan menghampiri. “Kalau mau mencari pesugihan atau mencari nomor, jangan di tempat sini, mending mencari di tempat lain saja,” kta juru kunci.





MNC WORLD NEWS
Glimpse From The Past – Indonesia’s Urban Legend
(Ki Cokro ST)

Santet Ditengah Peradaban Modern

Kata santet, sudah tidak asing lagi di telinga kita. Bahkan sebagian besar masyarakat meyakini kalau santet digolongkan sebagai ilmu hitam yang bisa mencelakai manusia. Diyakini juga ilmu santet, keberadaannya menyebar dari Sabang sampai Merauke. Yang membedakan, masing-masing daerah memiliki tradisi dan ritual berbeda dalam praktik santet ini. Selain juga beda penyebutannya. Sihir, santet, teluh memiliki arti yang hampir sama, menyerang lawan menggunakan kekuatan magis tak kasat mata dari jarak jauh.

Bagaimana dengan Jawa Timur? Propinsi yang terletak di bagian timur pulau Jawa ini, memang unik. Beberapa daerahnya bahkan dipercaya sebagai “sarang” atau pusat berkumpulnya orang yang memiliki ilmu santet, atau yang sering disebut dukun santet. Sebut saja, Banyuwangi, Tulungagung, Kediri, Trenggalek, Ponorogo, hingga Lamongan.
Meski banyak menjadi perbincangan masyarakat. Namun, tidak semuanya tahu, apa sebenarnya santet, dan bagaimana santet bisa beroperasi? Samar-samar dan terselubung layaknya praktik santet itu sendiri.
Dari beberapa referensi dan pengakuan dukun santet, dari berbagai daerah, bisa diketahui jika ilmu santet dibagi menjadi dua bagian. Yakni santet dengan menggunakan benda dan makhluk gaib. Santet yang menggunakan media benda, atau yang disebut Demasetralisasi ini, mengubah energi menjadi benda, dan benda menjadi energi. Energi inilah yang dipakai untuk melukai lawan, dan mudah menembus lawan yang sedang emosi atau mengalami kenaikan tekanan darah dan gejolak jantung.
Sedangkan ilmu santet yang menggunakan makhluk gaib, biasanya akan memanfaatkan jin dan setan. Santet jenis ini, diyakini lebih ganas, dan dikategorikan sebagai ilmu hitam. Santet jenis ini, biasanya langsung berimbas pada orang yang dituju. Bahkan, tidak jarang diantaranya langsung meninggal dunia. Santet dengan menggunakan media makhluk gaib ini, berkembang di daerah yang masih memegang teguh adat dan mitos.
Setelah mengenal jenis santet. Ada beberapa hal yang harus diketahui soal santet. Salah satunya adalah bagaimana santet bisa menyerang manusia.
Dalam dunia magis, ada beberapa proses atau teknik ilmu santet. Santet baru bisa berjalan setelah sang dukun memiliki media pengantarnya. Misalnya dengan foto atau rambut korban.Pelaku santet asal Tulungagung mengatakan, saat melakukan ritual santet, dirinya lebih sering menggunakan dua media itu. Pengiriman santet akan lebih sempurna apabila weton atau hari pasaran seseorang yang menjadi sasaran.

Pelaku santet mengaku, agar santet bisa tepat sasaran. Ada beberapa ritual yang harus dilakukan. Diantaranya dengan membakar kemenyan untuk mengundang roh halus atau makhluk gaib. Setelah itu, barulah ia membaca mantra santet, sambil menulis rajah gaib pada photo, atau boneka. Dalam, hal tertentu, ia akan menggunakan darah ayam sebagai sarana.
Dari penuturan pelaku santet, kekuatan santet di masing-masing daerah berbeda. Untuk di Indonesia, pelaku menyebut ilmu santet yang dimiliki dukun di pedalaman Kalimantan, jauh lebih hebat dan berbahaya dibandingkan di tanah Jawa. Alasannya, santet yang dimiliki dukun di Kalimantan, mampu menyeberang laut.
Selain itu, ilmu santet di Kalimantan, cenderung mirip ilmu voodo yang dimiliki dukun di Afrika. Voodo, biasanya hanya cukup melalui sarana boneka, dan jarum yang digunakan untuk mengirim santet pada sasaran. Jarum cukup ditusukkan pada bagian tubuh boneka tersebut. Alhasil, jika sudah terkena serangan itu, bisa dipastikan akan menimbulkan rasa sakit yang luar biasa pada tubuh orang yang menjadi target santet. Bahkan, tidak jarang diantaranya bisa meninggal dunia.
Ilmu-ilmu mistis seperti santet dan teluh di pedalaman Kalimantan yang tersohor adalah warisan suku Dayak. Suku pedalaman yang sejak mula menganut faham animisme dan mengagungkan roh leluhur ini cukup terkenal. Selain melalui media gaib, santet suku Dayak bisa dikirim melalui media angin. Seperti “racun Paser”, ilmu suku dayak Paser, di daratan Pulau Penajam, Balikpapan, Kalimantan Timur.
Akibat dari serangan Racun Paser yang dikirim melalui angin senja tepat di hari naas atau weton kelahiran seseorang, bisa menyebabkan gatal-gatal sekujur tubuh, bahkan karena racun yang disebar menyerap ke tulang dan menyerang sekujur tubuh. Kenapa harus dikirim senja menjelang matahari terbenam? Di kalangan ahli santet, udara sore menjelang maghrib dipercaya sebagai waktu paling mujarab untuk menebar ilmu mistis yang bisa mencelakai orang lain.
Dari kesaksian sumber yang pernah mengalami serangan racun paser, selama 3 bulan ia mengalami penyakit kulit yang aneh. Mulanya Ia mengira penyakit kulit biasa. Keluarga mengantarkannya berobat dan konsultasi rutin ke dokter kulit. Namun hingga dua bulan tak kunjung sembuh.
Ia menyebut aneh karena gatal-gatal di sekujur tubuhnya menjadi ngilu sampai ke tulang belulang, setiap menjelang senja hingga subuh. Ketika tengah malam, Dia yang asli Jawa dan tinggal di Kaltim sejak tahun 1980 dan masih kental dialeg jawanya ini mendadak bisa berbicara fasih dalam bahasa Suku Dayak dan sesekali Bahasa Banjar. Ia baru sembuh setelah mencoba pengobatan alternative ke salah seorang ulama dari Jawa yang memiliki keahlian.
Untuk santet sejenis voodo, di Kalimantan masyhur disebut sebagai “parang maya”. Jika racun paser menyerang pelan-pelan, parang maya tergolong serangan mendadak dan mematikan telak. Sama dengan voodoo, media yang digunakan berupa boneka orang-orangan. Praktiknya sedikit berbeda, untuk melukai sasaran yang diumpakan sebagai boneka, tidak menggunakan jarum seperti voodoo. Namun menggunakan senjata berupa bunga kelapa yang disabetkan ke tubuh boneka.
Ritual dilangsungkan pada hari naas, bertepatan dengan weton kelahiran seseorang yang jadi sasaran. Target parang maya adalah organ bagian dalam tubuh. Biasanya, saat melakukan ritual, bunga kelapa disabetkan ke bagian tengah tubuh. Korban yang meninggal akibat serangan gaib ini ditandai dengan tanda gosong memanjang tepat di kulit luar tubuh yang menutupi organ dalam.
Menurut pelaku santet, santet akan sulit menyerang orang yang memiliki iman, kesadaran dan kasih. Jika berhadapan dengan orang seperti ini, pelaku santet memilih mengalah. Ia beralasan, bila diteruskan, akan sangat membahayakan dirinya, sebab energi negatif yang dikirim akan berubah menjadi energi positif, dan berbalik menyerang dukun santet.
Konon, santet  akan sulit menyerang orang yang memiliki kebiasaan tidur di atas jam 12 malam. Begitu juga orang yang memiliki kebiasaan tidur di atas lantai. Hal ini, dikarenakan batas ketinggian santet berada di atas 50 cm. Mengapa demikian, karena dukun santet saat melakukan ritual akan duduk bersila.
Cara lain yang lebih ekstrim, namun tidak dianjurkan, adalah kepala rumah tangga, setiap jam 12 malam, harus berjalan mengelilingi rumah, sambil mengencingi sudut halaman rumah. Bisa juga dengan menaburkan garam dapur di setiap sudut rumah serta mengucapkan doa memohon keselamatan kepada Tuhan. Amin.


 


MNC WORLD NEWS
Glimpse From The Past – Indonesia’s Urban Legend
(Ki Cokro ST)