Bila membuka lembar sejarah pada masa kejayaan
Madura, saat pertama Prabu Kertanegara dari Singosari mengutus dan melantik
Raden Arya Wiraraja sebagai adipati Sumenep (Madura
timur), pada tahun 1269 M. Maka charisma Madura semakin terangkat ke permukaan
khusunya dimata raja-raja di Jawa. Mulai saat itu, periode kehidupan kalangan
keratin mulai berkembang, sebagai sentral terbentuknya kultur yang mengarah
pada kehidupan feodalisme artistokrat lahan “ilmu”. Dari situlah muncul
ilmu-ilmu kedigdayaan yang antara lain tersebut dalam kekuatan pusaka.
Banyak macam pusaka Madura yang hingga
saat masih dimiliki sebagai warisan leluhur keturunan para digdaya di Sumenep.
Antara lain yang cukup dikenal yakni pusaka keris “ si Tambi”, “Bulu Ayam”,
“Banuaju”, “Pamor Pakung”, “Si Jarum”, “Si Punjung”, “Baramma Batu”, “ Si
Banir” dan “ Se Kelap”.
“Se kelap”, menurut
Maknoen seorang pecinta pusaka di Sumenep merupakan diantara deretan pusaka
yang cukup dikenal masyarakat Sumenep, karena keris pusaka itu dibuat oleh
seorang empu terkenal dimasa lampau, tapi mudah ditiru oleh para pengrajin
keris jaman sekarang. Sedang “Si Tambi”, menurut riwayat punya daya melumpuhkan
serangan, tanpa harus mengorbankan nyawa. Barang siapa memiliki “Si Tambi”,
keris kraton yang bergambar kepala kuda, maka akan terjamin keselamatannya.
Sebab misalnya sedang pergi jauh dan berada ditempat yang rawan kejahatan, maka
para penjahat yang bermaksud berbuat jahat kepada pemegang pusaka itu, tak akan
terlihat. Dan dengan “Si Tambi” pula pemiliknya lebih mampu mengontrol diri
untuk tidak berbuat gegabah dan emosi.
Pada dasarnya tiap benda-benda pusaka memiliki
sejarah tersendiri. Dan dari sejarah itulah, sebuah benda pusaka dapat
dibedakan antara yang asli (kuno) dan tiruan. Lebih awal benda pusaka itu
dibuat, maka lebih tinggi nilai kharismatik dan kesohorannya. Itulah mengapa
para pewaris benda pusaka selalu mempertahankan keberadaannya, karena merupakan
“sangkol” yang tak mungkin dapat dipindah tangan selain kepada sanak
keturunannya kelak.
Sebagai contoh, sejarah keris pusaka “Sangkelap”
diciptakan oleh Empu Supo untuk Raja Mataram. Pada suatu ketika keris pusaka
hilang dari tempatnya, padahal telah dijaga ketat oleh prajurit.
Dalam buku Adat Budaya Sumenep sebagai aspek
Pembangunan Nyata yang disusun Syamsul Imam, menjelaskan bahwa keris pusaka
“Sangkelap” diketahui dan diincar oleh seorang pencuri sakti bernama Macan
Lurik (caloreng,Madura). Konon keris yang dicuri oleh tangan saksi Macan
Caloreng lalu dibawa lari ke Blambangan. Begitu Raja tahu keris pusakanya
hilang, maka Empu Supo diperintahkan untuk mencari.
Alkisah, sesuai dengan
petunjuk gaib yang diterima Empu Supo, keris pusaka itu dibawa lari kearah
timur. Dan pencarian itu segera dilakukan melewati Tuban, Bangkalan, Pamekasan,
Sumenep dan akhirnya menyebrang selat Madura wilayah Besuki Kerajaan Blambangan.
Dari perjalanan pencarian itulah, setiap daerah persinggahan Empu Supo
menularkan ilmunya kepada masyarakat setempat, antara lain disebutkan, di
Pamekasan mencipta keris “ Gerre Manjeng”, di Banuaju (Sumenep) dikenal “ Ki
Gariming”, di Karangduak (kota Sumenep) “ Ki Murkali”.
Jadi tak heran, hasi binaan Empu Supo selama
persinggahannya banyak menurunkan keempuannya, diantaranya selain tempat-tempat
diatas, di Aeng Tongtong wilayah Kabupaten Sumenep hingga saat ini turunan
murid-murid Empu Supo masih bertahan dalam kehidupannya sebagai pande keris
yang merupakan pengrajin terkenal di Madura.
Selain keris pusaka, masih banyak bentuk
sekep-sekep lain yang juga memiliki kelebihan (kajunilan, Mdr) menurut
pemiliknya. Yang kerap dikenal dalam bentuk batu-batuan, ayat-ayat (isim)
atau benda-benda lain yang lebih mudah dan praktis bila digunakan setiap saat.
Meski demikian, tokoh-tokoh agama mengahawatirkan, bila suatu saat pemilik
(pencinta) justru terjerumus dalam kepercayaannya pada benda.
Beberapa pencinta pusaka
menyatakan, bahwa keris ataupun sekep lainnya memiliki nilai multifunsional.
Yaitu disamping untuk menjaga keselamatan hidup, juga berfungsi sebagai
penglaris dalam berdagang, pertanian, perindustrian, kedudukan, kepangkatan
atau meningkatkan taraf hidup, social maupun status. Untuk itu dalam kancah
modern ini, masih tampak dibeberapa tempat tertentu (keramat) dikunjungi para
pejabat (tertentu) untuk mendapatkan wangsit atau kepada para sesepuh, dukun
atau orang yang berilmu tinggi untuk minta “bekal”, baik berupa benda maupun
amalan-amalan.
Keampuhan pusaka sering ditunjukkan oleh para
pelaut Madura ketika terperangkap kedatangan angin puting beliung (ola’ taon,
Mdr) yang menghadang ditengah lautan. “Ola’ taon merupakan pusaran angin yang
membentuk memanjang dari atas kebawah, seperti ular naga yang siap melumat
benda-benda apa saja yang berada dibawahnya.
Ola’ taon, biasanya muncul pada akhir atau awal
tahun, yaitu ketika menjelang musim pemghujan turun. Ola’ taon ini sangat
ditakuti oleh para nelayan. Sebab apabila pusaran angin tu menukik dan
menyentuh laut, maka akan terjadi pergolakan gelombang laut yang bakal
memporak-porandakan perahu atau kapal yang berlayar. Meski demikian, para awak
pada umumnya telah membekali diri untuk menghalau pusaran angin “Ola’ taon”
itu. Yaitu apabila tampak benda gas itu menghadang disekitarnya, dengan
kemampuan pusaka (biasanya berbentuk keris) lalu diarahkan pada angin raksasa
itu (tentu dengan amalannya), maka putuslah tubuh “Ola’ taon” dan berpencar
serta menghembus kearah daratan. Suatu keanehan, bila pusaran angin itu pecah,
maka tidak akan menimbulkan bahaya, baik dilaut maupun di darat.
Jadi makna sekep, baik dalam bentuk senjata
tajam atau bentuk benda lainnya mengandung arti luhur, bukan untuk mencelakakan
orang lain, namun semata-mata sebagai isyarat agar lebih waspada dan hati-hati,
bukan untuk bersikap sombong, egois atau gagah-gagahan sebagaimana kerap
terlihat visualisasi selama ini.
Sebenarnya sekep mempunyai filsafat tersendiri,
yaitu pada umumnya sekep diselipkan dipinggang dalam posisi kebawah (merunduk),
yaitu bagian yang tajam berada dibawah. Hal ini mengisyaratkan agar pemilik
(pemakai) nya selalu memperhatikan kebawah. Namun kenyataan yang sering
terlihat, justru posisi tangkai yang berada diatas, dimanfaatkan untuk
mempercepat proses pencabutan. Hal ini tentu, pihak pemakai hanya kenal wujud
dan fisiknya saja, namun belum mengerti makna dan hakekat senjata disekep.
Kalangan orang Madura
tradisional, mengatakan “ Tulang rusuk laki-laki barisan kiri itu kurang
jumlahnya, tidak lengkap seperti barisan tulang rusuk bagian kanan, karena
sepotong tulang sudah diambil dan dijelmakan menjadi perempuan. Untuk memenuhi
kekurangan itu, seorang laki-laki akan utuh setelah dilengkapi sekep (celurit)
mirip tulang rusuk”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar