Hal yang paling
mendasar dari tradisi adalah adanya informasi yang diteruskan dari generasi ke
generasi baik tertulis maupun lisan, karena tanpa adanya ini, suatu tradisi
dapat punah. Selain itu, tradisi juga dapat diartikan sebagai kebiasaan bersama
dalam masyarakat manusia, yang secara otomatis akan mempengaruhi aksi dan
reaksi dalam kehidupan sehari-hari para anggota masyarakat itu.
Dalam falsafah hidup
masyarakat Jawa, berbakti kepada kedua orang tua dan para leluhur yang
menurunkan adalah suatu ajaran yang diagungkan. Dalam tradisi masyarakat Jawa,
ungkapan rasa berbakti, tidak hanya diucapkan dalam ikrar doa-doa puji-pujian
yang ditujukan kepada leluhurnya. Salah satu wujud nyata rasa berbakti tersebut
adalah berupa sesaji, yang dimaksud sebagai persembahan atas segala rasa hormat
dan rasa terimakasih tak terhingga kepada para leluhur yang telah wafat. Yang
mana semasa hidupnya telah banyak berjasa memberikan warisan ilmu, harta benda,
dan lingkungan alam yang terpelihara dengan baik sehingga masih dapat kita
nikmati sampai saat ini dan memberikan manfaat untuk kebaikan hidup kita.
Berikut ini adalah
beberapa contoh menu persembahan sebagai ungkapan rasa menghormati kepada
leluhur (sesaji). Masing-masing uborampe mempunyai ciri khas dan makna yang
dalam. Tanpa memahami makna, rasanya persembahan sesaji akan terasa hambar dan
mudah menimbulkan prasangka buruk, dianggap sesat, tak ada tuntunannya, dan
syirik. Tetapi semua prasangka itu tentu datang dari hasil pemikiran yang tak
cukup informasi untuk mengenal dan memahami apa makna hakekat di balik semua
itu.
Kembang
Atau bunga. Bermakna
filosofis agar kita dan keluarga senantiasa mendapatkan “keharuman” dari para
leluhur. Keharuman merupakan kiasan dari berkah-safa’at yang berlimpah dari
para leluhur, dapat mengalir (sumrambah) kepada anak turunnya.
Kembang Setaman
Uborampe ini sangat
fleksibel, cakupannya luas dan dimanfaatkan dalam berbagai acara ritus dan
kegiatan spiritual. Kembang setaman versi Jawa terdiri dari beberapa jenis
bunga. Yakni, mawar, melati, kanthil, dan kenanga.
Adapun makna-makna
bunga tersebut yang sarat akan makna filosofis adalah sbb :
Kembang Kanthil (kanthi laku, tansah kumanthil)
Atau simbol pepeling
bahwa untuk meraih ngelmu iku kalakone kanthi laku. Lekase kalawan kas, tegese
kas iku nyantosani. Maksudnya, untuk meraih ilmu spiritual serta meraih
kesuksesan lahir dan batin, setiap orang tidak cukup hanya dengan memohon-mohon
doa. Kesadaran spiritual tak akan bisa dialami secara lahir dan batin tanpa
adanya penghayatan akan nilai-nilai luhur dalam kehidupan sehari-hari (lakutama
atau perilaku yang utama).
Bunga kanthil berarti
pula, adanya tali rasa, atau tansah kumanthil-kanthil, yang bermakna pula kasih
sayang yang mendalam tiada terputus. Yakni curahan kasih sayang kepada seluruh
makhluk, kepada kedua orang tuanya dan para leluhurnya. Bukankah hidup ini pada
dasarnya untuk saling memberi dan menerima kasih sayang kepada dan dari seluruh
makhluk?
Kembang Mlathi (rasa melad saka njero ati)

Kembang Kenanga (keneng-a)
Atau gapailah..!
Segala keluhuran yang telah dicapai oleh para pendahulu. Berarti generasi
penerus seyogyanya mencontoh perilaku yang baik dan prestasi tinggi yang
berhasil dicapai para leluhur semasa hidupnya. Kenanga, kenang-en ing
angga. Bermakna filosofis agar supaya anak turun selalu mengenang, semua
“pusaka” warisan leluhur berupa benda-benda seni, tradisi, kesenian,
kebudayaan, filsafat, dan ilmu spiritual yang banyak mengandung nilai-nilai
kearifan lokal (local wisdom).
Kembang Mawar (mawi – arsa)
Dengan kehendak atau
niat. Menghayati nilai-nilai luhur hendaknya dengan niat. Mawar, atau awar-awar
ben tawar. Buatlah hati menjadi “tawar” alias tulus. Jadi niat tersebut
harus berdasarkan ketulusan, menjalani segala sesuatu tanpa pamrih (tapa
ngrame) sekalipun pamrih mengharap-harap pahala. Pahala tetap saja “upah”
yang diharapkan datang dari Tuhan apabila seseorang melakukan suatu perbuatan
baik. Pamrih pahala ini tetap saja pamrih, berarti belum mencapai ketulusan
yang tiada batas atau keadaan rasa tulus pada titik nihil, yakni duwe
rasa, ora duwe rasa duwe (punya rasa tidak punya rasa punya)
sebagaimana ketulusan Tuhan/kekuatan alam semesta dalam melimpahkan anugrah
kepada seluruh makhluk.
Mawar Merah dan Mawar Putih
Mawar melambangkan
proses terjadinya atau lahirnya diri kita ke dunia fana. Yakni lambangdumadine
jalma menungsa melalui langkah Triwikrama. Mawar merah melambangkan
ibu. Ibu adalah tempat per-empu-an di dalam mana jiwa-raga kita diukir. Dalam
bancakan weton dilambangkan juga berupa bubur merah (bubur manis gula jawa).
Dlingo dan Bengle
Keduanya termasuk
rempah-rempah, atau empon-empon. Bengle bentuk luarnya mirip jahe. Tetapi
baunya sangat menyengat dan bisa membuat puisng. Sedangkan dalamnya berwarna
kuning muda. Karena baunya yang mblengeri sehingga di Indonesia jenis rempah
ini tidak digunakan sebagai bumbu masak. Sebaliknya di negeri Thailand rempah
ini termasuk sebagai bumbu masak utama.
Entah apa sebabnya,
bengle dan dlingo merupakan rempah yang sangat tidak disukai oleh bangsa
lelembut. Sehingga masyarakat Jawa sering memanfaatkannya sebagai sarana
penolak bala atau gangguan berbagai makhluk halus. Anda dapat membuktikannya
secara sederhana. Bila ada orang gila yang dicurigai karena ketempelan mahluk
halus, atau jika ada seseorang sedang kesurupan, coba saja anda ambil bengle,
atau parutan bengle, lalu oleskan di bagian tubuhnya mana saja, terutama di
bagian tengkuk.
Anda akan melihat
sendiri bagaimana reaksinya. Biasanya ia akan ketakutan atau berteriak histeris
lalu sembuh dari kesurupan. Dalam tradisi Jawa, jika ada orang meninggal dunia
biasanya disiapkan parutan bengle dicampur dengan sedikit air digunakan sebagai
pengoles bagian belakang telinga. Gunanya untuk menangkal sawan.
Dlingo dan Bengle,
walaupun keduanya sangat berbeda bentuk dan rupanya, tetapi baunya seolah
matching, sangat serasi dan sekilas baunya hampir sama. Dlingo dan bengle
bermanfaat pula sebagai sarana memasaang pagar gaib di lingkungan rumah
tinggal. Dengan cara ; dlingo dan bengle ditusuk bersama seperti sate, lalu di
tanam di setiap sudut pekarangan atau rumah.
Akhir kata, sampai di sini dulu pelajaran berharga yang kini
sering dianggap remeh bagi yang merasa diri telah suci dan kaya pengetahuan. Di
balik semua itu sejatinya memuat nilai adiluhung sebagai “pusaka” warisan
leluhur, nenek moyang kita, nenek moyang bangsa ini sebagai wujud sikapnya yang
bijaksana dalam memahami jagad raya dan segala isinya. Doa tak hanya diucap
dari mulut. Tetapi juga diwujudkan dalam bergai simbol dan lambang supaya
hakekat pepeling/ajaran yang ada di dalamnya mudah diingat-ingat untuk selalu
dihayati dalam perilaku kehidupan sehari-hari. Ajaran adiluhung yang di
dalamnya penuh arti, sarat dengan filsafat kehidupan. Kaya akan makna alegoris
tentang moralitas dan spiritualitas dalam memahami jati diri alam semesta,
jagad nusantara, serta jagad kecil yang ada dalam diri kita pribadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar