Mahapatih Gajah Mada |
Pun halnya Majapahit,
dalam Kidung Sundayana juga digambarkan saat itu mengadakan persiapan
penyambutan tamunya dari kerajaan Sunda yang tak kalah besarnya pula.
Digambarkan juga raja Hayam Wuruk beserta dua pamannya, Bhre Kahuripan dan Bhre
Daha sudah berkumpul di Bale Agung beserta para menteri dengan penuh suka cita.
Tapi sayangnya, semua yang awalnya suka cita tersebut mendadak masygul ketika
melihat raut wajah Gajah Mada yang menyiratkan rasa kecewa. Bahkan, Gajah Mada
tidak sungkan dengan mencela Hayam Wuruk dengan mengatakan bahwa kurang tepat
raja merendahkan diri menyongsong seorang raja bawahan.
Siapa yang tahu apakah
orang-orang Sunda itu tidak datang sebagai musuh yang menyamar sebagai sahabat?
Gajah Mada mempersilakan Hayam Wuruk agar tinggal di keraton dan menunggu.
Hayam Wuruk yang saat itu terbilang masih belia, usianya belum genap tujuh
belas tahun, menurut saja kepada keinginan Gajah Mada dengan memerintahkan
semua agar kembali ke keraton dan membatalkan semua upacara penyambutan. Para
menteri terkejut ketika mendengar perintah tak terduga itu, tetapi mereka takut
kepada raja dan patih sehingga semua diam saja tidak menentangnya.
Setelah memaparkan
secara panjang lebar perselisihan yang terjadi antara Patih Sunda bernama
Anepaken dan pejabat tinggi Sunda dengan Gajah Mada yang berujung pada pecahnya
perang, yang diikuti bela pati permaisuri, putri raja, dan istri para mantri
Sunda yang melakukan bunuh diri di atas jenazah suami-suami mereka. Setelah
itu, secara panjang lebar digambarkan bagaimana penyesalan Hayam Wuruk atas
peristiwa itu, yang membuatnya ingin mengikuti jejak mempelainya ke alam baka,
yang dilanjutkan upacara mendoakan arwah para korban.
Langkanya catatan
historis dari peristiwa Bubat yang memalukan yang seperti sengaja
ditutup-tutupi itu, pada gilirannya menimbulkan banyak tanda tanya yang
berujung pada munculnya berbagai spekulasi yang melahirkan berbagai varian
cerita bersifat historiografi ataupun lisan seperti cerita bahwa Gajah Mada
berasal dari Galuh, cinta terpendam Gajah Mada terhadap Dyah Pitaloka, dan
bahkan kisah saling cinta antara Gajah Mada dan Dyah Pitaloka.
Lepas dari pembenaran
cerita-cerita semacam itu, dalam aspek kesejarahan langkanya catatan-catatan
historis tentang peristiwa tragis di Bubat, telah menimbulkan sejumlah
pertanyaan yang tidak mudah dijawab seperti berapakah sesungguhnya jumlah
rombongan dari kerajaan Sunda yang gugur dalam peristiwa tersebut? Adakah
pejabat atau prajurit Sunda yang mengiringi raja Sunda masih hidup setelah
peristiwa tersebut? Di-dharma-kan di manakah jenazah raja Sunda beserta
permaisuri dan putri serta pengiringnya?
Sekalipun Kidung Sunda
menggambarkan kehadiran rombongan Raja Sunda dengan hitungan kapal-kapal besar
sejumlah 200 ditambah kapal-kapal kecil sampai 2.000 buah, tidak ada penjelasan
terperinci tentang berapa jumlah pasti rombongan raja Sunda yang terbunuh dalam
peristiwa Bubat. Kidung Sunda hanya mencatat adanya 300 prajurit pengawal yang
mengiringi patih Anepaken ditambah sejumlah pejabat penting kerajaan Sunda saat
berselisih dengan Gajah Mada.
Selain itu, Kidung
Sunda mencatat bahwa dari sejumlah prajurit pengawal raja yang sudah bertekad
untuk gugur bersama sang raja, ternyata masih ada yang hidup, yang digambarkan
sebagai mantri Sunda bernama Pitar yang pura-pura mati di antara jenazah para
korban dan membiarkan dirinya ditangkap pasukan Majapahit. Setelah dibebaskan
pasukan Majapahit, Pitar dikisahkan melapor kepada permaisuri raja Sunda dan
putrinya tentang peristiwa tragis yang dialami sang raja beserta semua
pengikutnya, yang membuat permaisuri, selir, putri, dan istri para mantri Sunda
sepakat untuk melakukan bela pati, dengan bunuh diri di atas jenazah
suami-suami mereka.
Dari cerita mantri
Sunda bernama Pitar, dapat disimpulkan bahwa setelah peristiwa tragis dialami
raja Sunda di Bubat, pasukan Majapahit di bawah Hayam Wuruk datang ke medan
tempur Bubat. Pasukan inilah yang menemukan Pitar dan kemudian menangkap,
tetapi kemudian membebaskannya. Itu menunjukkan bahwa tidak semua pasukan
Majapahit di bawah komando Gajah Mada. Bahkan, pada akhir cerita Kidung Sunda
digambarkan bagaimana semua orang Majapahit di bawah Bhre Kahuripan dan Bhre
Daha, paman Hayam Wuruk, menyalahkan Gajah Mada, kemudian memerintahkan untuk
membunuh patih tersebut.
Kidung Sunda tidak
sedikit pun memberitakan letak pasti para korban Bubat di-dharma-kan. Kidung
Sunda hanya menuturkan bahwa jenazah putri raja Sunda ditemukan di pesanggrahan
dan bukan di Bubat. Sementara dalam cerita tutur yang berkembang dikisahkan bahwa
putri Sunda di-dharma-kan di lingkungan keraton Majapahit di suatu tempat yang
dinamai Citra Wulan (Rembulan yang cantik. Sekarang tersisa pada nama toponimis
Trowulan).
Di kompleks situs
Trowulan terdapat satu reruntuhan candi yang dikenal penduduk dengan nama Candi
Kenconowungu, yaitu nama seorang ratu wanita Majapahit dalam dongeng yang
biasanya dipentaskan dalam cerita Damarwulan. Apakah yang dikenal Candi
Kenconowungu itu sebenarnya pen-dharma-an putri Sunda? Perlu dilakukan
penelitian lebih dalam.
Sementara masih dalam
kompleks situs Trowulan tidak jauh dari Candi Kenconowungu, terdapat tempat
bernama Sentanarajya (Keluarga Kerajaan. Sekarang tersisa pada nama toponimis
Sentanareja) di mana ditemukan situs Sumur Upas (sumur beracun). Apakah di Sentanareja
ini raja Sunda beserta permaisuri dan selir di-dharma-kan? Perlu diadakan
penelitian lebih lanjut.
Akibat psikologis dari
peristiwa Bubat yang seperti sengaja ditutupi itu, sampai sekarang menjadikan
masyarakat Sunda secara umum memiliki asumsi bahwa dalam peristiwa Bubat itu
raja Sunda beserta seluruh rombongannya gugur tak bersisa. Timbulnya asumsi
semacam itu dapat dipahami karena sejak pecahnya peristiwa memilukan tersebut
hubungan Majapahit dengan Sunda dapat dikatakan terputus.
Perang Bubat |
Apa yang terjadi di
Majapahit tidak banyak diketahui pihak Sunda, demikian sebaliknya. Namun di
balik semua asumsi tentang habis tanpa sisanya rombongan Sunda dalam peristiwa
Bubat, perlu dilakukan penelitian untuk memperjelas apakah asumsi tersebut
memiliki dasar yang bisa dibenarkan secara historis.
Lepas dari benar dan
tidaknya asumsi-asumsi seputar habisnya rombongan raja Sunda dalam peristiwa
Bubat, di tengah masyarakat Jawa berkembang cerita-cerita lisan dan catatan
historiografi yang disertai silsilah genealogi keluarga-keluarga bangsawan
keturunan Majapahit yang mengaitkan genealogi sejumlah keluarga feodal Jawa
dengan orang-orang Sunda yang terlibat dalam peristiwa Bubat.
Cerita-cerita itu
berkembang secara turun-temurun di dalam keluarga-keluarga yang memiliki
hubungan dengan raja-raja Majapahit akhir, terutama keturunan Sri Prabu
Kertawijaya (Maharaja Majapahit 1447-1451) yang masyhur dikenal dengan nama
Prabu Brawijaya V.
Dalam naskah ”Tedhak
Poesponegaran” (catatan silsilah genealogis keturunan Kyai Tumenggung
Poespanegara, Bupati Gresik pertama, 1688-1696) diperoleh penjelasan bahwa Kiai
Tumenggung Poespanegara adalah keturunan kesepuluh Maharaja Majapahit Sri Prabu
Kertawijaya.
Dijelaskan dalam
naskah tersebut bahwa Sri Prabu Kertawijaya adalah putra Prabu Brawijaya IV Sri
Prabu Wikramawardhana dari seorang selir putri Sunda bernama Citraresmi. Dari
perkawinan itu lahir Ratu Puteri Suhita dan adiknya Dyah Kertawijaya yang kelak
menjadi Sri Prabu Kertawijaya. Tidak ada penjelasan tentang siapa putri Sunda
bernama Citraresmi itu kecuali cerita lisan keluarga bahwa putri yang menjadi
leluhur keturunan Sri Prabu Kertawijaya itu adalah putri seorang Sunda bernama
Sutraja. Senapati Sutraja yang dikisahkan gugur dalam peristiwa Bubat, rupanya
meninggalkan seorang istri yang mengandung yang dijadikan abdi oleh Bhre
Paguhan Singhawardhana, ayahanda dari Prabu Wikramawardhana.
Meski tidak ada
catatan resmi tentang selir Prabu Wikramawardhana bernama Citraresmi yang
melahirkan Ratu Stri Suhita dan Sri Kertawijaya, yang pasti nama Citraresmi,
Suhita, dan Kertawijaya bukanlah nama yang lazim digunakan di Jawa pada masa
Majapahit maupun masa sesudahnya.
Sumber lain yang
berhubungan dengan orang-orang Sunda yang terkait peristiwa Bubat adalah
silsilah genealogi keturunan Aria Damar, Adipati Palembang. Dalam semua
historiografi Jawa, disebutkan bahwa Aria Damar adalah putra Sri Prabu
Kertawijaya dengan seorang perempuan bernama Endang Sasmitapura. Aria Damar
dibesarkan oleh ibu dan uwaknya, Ki Kumbarawa di pertapaan Wanasalam (nama
hutan di selatan Majapahit). Selama menjalankan tugas sebagai panglima perang
Majapahit, Aria Damar dikisahkan memiliki empat istri. Dari istri bernama Sagung
Ayu Tabanan lahir putra bernama Arya Jasan yang menurunkan raja-raja Tabanan di
Bali.
Dari istri bernama
Wahita lahir putra bernama Arya Menak Sunaya yang menurunkan raja-raja Madura.
Dari istri bernama Nyi Sahilan lahir putra bernama Raden Sahun Pangeran
Pandanarang yang menurunkan bupati-bupati Semarang dan Sunan Tembayat. Dari
istri Cina bernama Retno Subanci lahir putra bernama Raden Kusen yang setelah
dewasa menjadi Adipati Terung yang menurunkan bupati-bupati di Jawa Tengah,
Jawa Timur, dan Jawa Barat.
Dalam silsilah
genealogi keturunan Aria Damar diperoleh penjelasan tentang kakek Aria Damar
dari pihak ibu, yang bernama Kaki Palupa. Siapakah Kaki Palupa? Dalam cerita
lisan dituturkan bahwa Kaki Palupa adalah seorang kepala prajurit Sunda yang selamat
dari peristiwa pembunuhan Bubat karena memiliki ilmu bhairawa.
Kaki Palupa dikisahkan
tinggal di hutan Wanasalam dan mendirikan pertapaan di sana. Dari pernikahan
Kaki Palupa dengan Nyi Palupuy, lahir Ki Kumbarawa dan Endang Sasmitapura.
Lepas dari benar dan tidaknya kisah tersebut dengan fakta sejarah, yang pasti
nama Palupa, Palupuy, Kumbarawa, dan Endang Sasmitapura bukanlah nama yang
lazim digunakan di Jawa pada masa Majapahit maupun masa sesudahnya.
Berdasarkan uraian
singkat di atas, dapat ditarik sejumlah simpulan dari cerita yang berkaitan
dengan peristiwa Bubat yang berhubungan dengan pelacakan jejak sejarah atas
peristiwa tragis tersebut.
Pertama, dalam
peristiwa Bubat tidak semua pengiring raja Sunda yang digelari nama anumerta
Sri Maharaja Linggabhuwana Sang Mokteng Bubat tersebut, gugur. Sebagian mereka
tinggal bersama keluarga raja Majapahit dan keluarga-keluarga keturunan Sunda
yang tinggal di Majapahit semenjak masa Sri Kertarajasa atau Raden Wijaya atau
juga Jaka Sesuruh yang berasal dari kerajaan Sunda – merintis berdirinya
Kerajaan Majapahit.
Kedua, dengan naik
tahtanya Prabu Sri Suhita (Maharani Majapahit 1427 – 1447) yang diteruskan Sri
Prabu Kertawijaya (Maharaja Majapahit 1447-1451), tahta Majapahit yang
ditegakkan orang Sunda bernama Raden Wijaya atau Jaka Sesuruh, kembali diduduki
oleh raja-raja keturunan Sunda.
Fakta historis terkait
sisa peninggalan Prabu Stri Suhita yang terabadikan dalam wujud kompleks Candi
Sukuh di kaki Gunung Lawu dan peninggalan Sri Prabu Kertawijaya dalam wujud
kompleks Candi Cetho, menunjukkan ciri aneh yang sangat berbeda dengan
candi-candi peninggalan Majapahit lain, baik dalam hal susunan, struktur, ragam
hias, simbol-simbol ikonografis, jenis cerita relief, bahkan pantheon dewa-dewa
yang justru menunjukkan kemiripan dengan arca Sanghyang Dengdek di Gunung
Pulasari Banten, arca Caringin, arca Gunung Raksa, dan arca Pulau Panaitan.
Bernet Kempers (1959),
Soekmono (1973) dan Nigel Bullough (1995) yang tidak cukup mengetahui bahwa
Suhita dan Kertawijaya berdarah Sunda, menyikapi keanehan yang terdapat pada
Candi Sukuh dan Candi Cetho dengan simpulan bahwa pada era kedua maharaja kakak
beradik itu, terdapat tanda-tanda kebangkitan kembali anasir animisme lama
berupa pemujaan arwah leluhur.
Ketiga, di antara
puluhan silsilah genealogi yang dimiliki keluarga-keluarga bangsawan Jawa yang
mengaku keturunan Majapahit, semuanya bertemu pada tokoh historis Sri Prabu
Kertawijaya atau Brawijaya V, yang dalam sejumlah versi digambarkan memiliki 24
orang istri dan 117 orang putra dan putri.
Itu dapat disimpulkan,
ibarat pepatah ”mati satu tumbuh seribu”, gugurnya Maharaja Sunda beserta
rombongan dalam peristiwa Bubat, tidaklah melenyapkan sama sekali pengaruh
Sunda di Majapahit, melainkan malah memunculkan maharaja-maharaja Majapahit
berdarah Sunda seperti Prabu Stri Suhita, Sri Prabu Kertawijaya beserta
putra-putra dan cucu-cucunya seperti Bhre Wengker Hyang Purwawisesa
(1456-1466), Bhre Pandan Salas (1466-1468), Sri Prabu Singha Wikramawarddhana
(1468-1474), Sri Prabu Natha Girindrawarddhana (1478-1486).
Bahkan, saat tahta Majapahit jatuh ke tangan Bhre Wijaya yang
muncul dari garis keturunan Bhre Pamotan Sang Sinagara, kekuasaan Majapahit
diakhiri oleh serangan yang dilakukan oleh putra dan cucu Sri Prabu Kertawijaya
yang berkuasa di Demak: Raden Patah dan Sultan Trenggana.