Jumat, 20 Oktober 2017

Memaknai Symbolicum Manusia Jawa

Hampir ratusan warga dari berbagai daerah dalam balutan busana serba putih, larut dalam keheningan prosesi ruwatan sukerta di Bangsal Sasanamulya Keraton Kasunanan Solo. Ritus tradisional yang diinisiasi Direktorat Jenderal (Ditjen) Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) ini, lebih diarahkan sebagai bentuk pelestarian tradisi yang selama ini masih berkembang di masyarakat.
Ketua Pelaksana Ruwatan Sukerta, KGPH Dipokusumo, menjawab wartawan, di sela acara, Sabtu (14/10/2017), mengungkapkan, banyak nilai-nilai yang dapat diraih dari tradisi berusia ribuan tahun ini, baik dalam dimensi sosial, edukasi, maupun refleksi diri. Di balik ritual ruwatan sebagai bentuk  penyucian diri dari segala kesalahan, termaktub simbol-simbol kearifan lokal yang mesti dimaknai sekaligus diaplikasikan dalam keseharian.
Dalam hidup dan kehidupan manusia Jawa, tambah putera Sinuhun Pakoe Boewono XII ini, penuh dengan simbol-simbol, hingga banyak ahli menyebut manusia Jawa sebagai homosymbolicum. Dalam ritus ruwatan misalnya, disertakan beberapa uborampe aneka hasil pertanian dari kelompok pala kependhem, pala kesampar, maupun pala gemantung. "Ini merupakan simbol untuk merefleksikan masa lalu, masa sekarang, dan masa mendatang yang mengingatkan manusia pada asal usul dan kemana kelak akan berpulang," ujarnya.
Pemaknaan atas simbol-simbol tersebut, menurut pria yang akrab dispa Gusti Dipo, kadang memang sangat rumit dan memerlukan perenungan lebih jernih. Karenanya, dia berharap, peserta ruwatan masal, tidak sekadar  mengikuti alur upacara, justru yang terpenting memahami simbol-simbol yang tersirat pada seluruh rangkaian upacara, serta mengamalkannya dalam hidup sehari-hari. Jika merasa pernah melakukan kesalahan di masa lalu, mestinya tak lagi mengulang perbuatan tersebut, sekaligus memoperbaiki bagi kehidupan yang akan datang.
Sedangkan prosesi ruwatan di nDalem Sasanamulya ini, diawali dengan kirab seluruh peserta yang mengenakan pakaian serba putih, dari nDlaem Suryoamijayan ke Bangsal Sasanamulya, bertarak sekitar 400 meter, sebelum menjalani ritus inti, berupa siraman dan potong rambut. "Ruwatan sudah menjadi sebuah tradisi bagi masyarakat Indonesia, bahkan hampir seluruh bangsa di dunia memiliki tradisi sejenis dengan bentuk dan nama saling berbeda," jelas Irjen Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Daryanto.
Di sisi lain, Walikota Solo, FX Hadi Rudyatmo menyebutkan, sebagai sebuah tradisi, ruwatan tidak perlu saling dipertentangkan, sebab prosesi tersebut secara prinsip bermuara pada permohonan kepada Sang Pencipta. "Ini merupakan sebuah prosesi penyucian diri dari segala kotoran yang ada pada diri manusia, sehingga ke depan bisa hidup lebih bersih dan bahagia," ujarnya


Tidak ada komentar:

Posting Komentar