![]() |
Kitab Kuni, Ilustrasi |
Bagi seorang lelaki
lajang sebelum abad ke-20 mencari ilmu membangun rumah tangga ideal, terlebih
berkaitan dengan pengetahuan di atas ranjang.
Di Bugis, dikenal
istilah Assikalaibineng merupakan teks beraksara lontara dan
bahasa Bugis-Makassar berisi berbagai aspek mengenai hubungan seks.
Substansi teks Assikalaibineng,
menurut Muhlis Hadrawi, pengajar Departemen Bahasa dan Sastra Bugis-Makassar
FIB Universitas Hasanuddin Makassar, pada “Astrologi dan Seksualitas Dalam
Naskah Bugis”, makalah Seminar Internasional Pernaskahan Nusantara 2017,
mencakup konsep hubungan seks, pengetahuan alat reproduksi, tahap atau prosedur
hubungan seks , doa-doa, mantra-mantra seks, teknik perangsangan (foreplay),
gaya dan gerakan persetubuhan, teknik sentuhan titik awal seksual perempuan,
penentuan jenis kelamin anak, pengendalian kehamilan, waktu baik dan buruk
berhubungan seks, tata cara pembersihan tubuh, pengobatan kehamilan, serta
lakuan-lakuan seks lainnya.
Meski Assikalaibineng berisi
beragam pengetahuan tentang hubungan seks, di masa lalu tak semua pria bisa
memperoleh dan membacanya. “Berbeda dengan teks-teks profan, kepemilikan
pengetahuanAssikalaibineng lebih terkonsetrasi pada lapisan
masyarakat elit, bangsawan dan santri. Kalangan bangsawan dan elit sosial Bugis
lainnya menjadikannya sebagai salah satu simbol pengetahuan eksklusif,” ungkap
Hadrawi.
Motif kepemilikan Assikalaibineng serupa
dengan motif kaum aristokrat Bugis dan Makassar penganut aliran tarekat
Khalwatiyah Syekh Yusuf. Raja Bone XXIII, La Tenri Tappu Ahmad Salih Syamsuddin
(1775-1812) menurut Martin van Bruinessen pada The Tariqa Khalwatiyya
in South Celebes, disebut sebagai salah seorang raja penganut tarekat
Khalwatiyah. Tetapi sang raja menghalangi masyarakat awam mempelajarinya agar
pengetahuan spiritualnya tetap menjadi hak istimewa seorang raja dan kalangan
istana.
Kalangan santri,
lanjut Hadrawi, paling berjasa mengembangkan pengetahuan Assikalaibineng,
kemudian menjadikannya sebagai strategi untuk bersentuhan dengan birokrasi
kerajaan hingga puncaknya berhasil mengintegrasikan hukum syariat Islam ke
dalam sistem hukumpangadereng Bugis dan Makassar, menjadi sistem
hukum adat Sara` dan Rahim.
Berbeda dengan kitab
berisi pengetahuan seksual seperi Serat Centhini,Assikalaibineng,
terang Hadrawi pada “Narratives of Sexuality in Bugis and Makassar
Manuscripts”, IJAPS, Vol. 12 tahun 2016, merupakan tuntunan bagi keluarga
menjalankan hubungan suami-istri dengan pengendalian nilai-nilai budaya Bugis
dan sejalan dengan semangat nilai-nilai Islam.
“Konsep Assikalaibineng tidak
memandang seks sebagai perilaku kacau dan bebas nilai, melainkan sebuah
perbuatan manusia dengan nilai ideal berdasar pada nilai-nilai budaya Bugis dan
sejalan dengan agama Islam,” imbuh Hadrawi.

Pada naskah bertajuk Bunga
Rampai Keagamaan dan Nikah Batin, koleksi ANRI Makassar berkode rol 33/40,
tersua peringatan kepada suami agar memperhatikan kondisi istri ketika akan
mengajak melakukan kegiatan suci bersenggama.
“Narekko maelono
patinroi pogauqni riolo`, Nasengengngi alena ricarinnai silaong riauni, Narekko
mupatinroni pogaukenni nasengengngi alena ripatinro jemma ripaluppungi madeceng.
(Jika kau menjelang tidur maka lakukanlah, Ia menganggap dirinya disayangi dan
dicintai, Tapi, jika ia tidur dan kau bangunkan, maka dia menganggap dirinya
sebagai budak, tak disayangi,” pada teks kode rol 33/40.
Setelah selesai,
jangan buru-buru apalagi berpisah kamar karena akan menyakiti hati sang istri.
Tidurlah bersama sang istri di dalam satu sarung setelah melakukan
persetubuhan, sehingga dalam ungkapan Bugis dikenal pappuji pulana atau
‘cinta dan kasih sayang suami kekal dan tidak berubah’.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar