Malam satu Suro atau penanda
hari pertama sistem penanggalan Jawa juga bertepatan dengan 1 Muharram kalender Hijriah, selalu identik dengan
hal-hal mitis, gaib, dan klenik.
Di Jawa, nuansa mitis
begitu kuat pada berbagai ritual pada peringatan malam satu suro. Salah satu
teks Suluk Plencung merekam
hubungan orang Jawa dengan kekuatan magis.
“Apuranen sun
angetang,
lelembut ing Nusa Jawi,
kang rumeksa ing nagara,
para ratuning dhedhemit,
agung sawabe ugi,
yen apal sadayanipun,
kena ginawe tulak,
kinarya tunggu wong sakit,
kayu aeng lemah sangar dadi tawa”.
Bait di atas merupakan
bait pembuka dari 26 bait Suluk
Plencungmenggunakan metrum Sinom pada
aturan tembang Macapat.
Masing-masing metrum
tembang Macapat, tulis
Poedjasoebroto dalam Wayang Lambang
Ajaran Islam, memiliki penciptanya sendiri-sendiri, seperti Mijil; Kinanthi; Sinom; Asmaradhana;
Megatruh digubah Sunan Giri. Lalu Mijil dan Pocung digubah
Sunan Gunung Jati; Pangkur digubah
Sunan Muria; Durma digubah
Sunan Bonang; dan Maskumambangdigubah
Sunan Maja Agung.
Suluk Plencung digubah sebagai
mantra untuk seseorang ketika sedang melakukan perjalanan melintasi wilayah
asing, meminta restu kepadadhanyang atau
penguasa gaib wilayah tersebut.
Dhanyang, menurut James
Dananjaya dalam Folklor
Indonesia: ilmu gosip, dongeng dan lain-lain, adalah roh sakti memiliki
sifat mirip dengan dhemit.
Dia juga dihubungkan dengan tempat angker tertentu seperti pundhen, tempat orang berkhaul,
mempunyai sifat baik hati, dan melindungi.

Pada bait ke-8,
misalnya, tersua nama lelembut, Genawati, berkuasa di Goa siluman. Goa tersebut
merupakan tempat persinggahan Pangeran Diponegoro ketika melakukan pengembaraan
atau disebut lelono,
tahapan inisiasi masa remaja menuju dewasa.
Diponegoro mengembara
pada tahun 1805 mengikuti jejak sang leluhur, Panembahan Senapati, ke berbagai
tempat di Jawa, salah satu persinggahannya tak lain Goa Siluman, dekat Sungai
Oyo, tempat bersemayam lelembut bernama Dewi Genowati.
Goa Siluman, menurut
Peter Carey dalam Takdir: Riwayat
Pangeran Diponegoro 1785-1855, pernah disebut dalam Kidung Lalembut(Nyanyian Kepada Para
Roh) sebagai bagian dari istana para lelembut milik Ratu Kidul dengan wakil
Dewi Genowati.
Selain Genowati
penguasa Goa Siluman, tersua pula Kethek Putih penguasa Ardi Kendalisada atau
Gunung Kendalisada pada bait 12. Kethek Putih pada cerita pewayangan disebut
sebagai Hanoman.

Hanoman diceritakan
berjaga di puncak bukit Kendalisada untuk menjaga Rahwana, dipercaya terkubur
di kawah belerang, di lokasi kini dikenal sebagai reruntuhan Candi Gedong Songo
di lereng terjal Gunung Ungaran.
Suluk, meskipun ditembangkan, tidak semata-mata
berfungsi sebagai hiburan melainkan, “memiliki makna tersembunyi seperti meneguhkan
sesuatu bahkan sarana kritik. Itu bisa dipelajari jika suluk ini dikaji secara
benar,” terang Sunu Wasono, pengajar di fakultas Ilmu Budaya UI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar