Rabu, 27 September 2017

Jejak Misteri Penghuni Gaib Gunung Lawu

Gunung Lawu
Misteri yang menyelimuti Gunung Lawu, seolah tidak ada habisnya. Selain keberadaan kabut misterius yang senantiasa menaungi sisi barat gunung ini, masih banyak hal yang terkait dengan misteri gunung yang berada di perbatasan wilayah Propinsi Jawa Timur dan Jawa Tengah ini.   Salah satunya adalah binatang-binatang yang diyakini sebagai binatang gaib penunggu kawasan ini.  

Misteri yang menyelimuti Gunung Lawu sendiri terjadi karena ada keyakinan bahwa gunung ini adalah punjer atau titik pusat yang menjadi penyeimbang energi di tanah Jawa.

Sehingga kemudian masyarakat meyakini bahwa gunung ini memancarkan energi yang sangat besar, yang berperan dalam menetralisir energi negatif di seluruh wilayah Pulau Jawa. Karena itulah, Gunung Lawu selanjutnya dipilih sebagai tempat ritual khusus oleh para penguasa tanah Jawa.

Mulai dari Prabu Airlangga, Prabu Brawijaya hingga para raja pecahan Mataram saat ini, dikabarkan selalu memilih Gunung Lawu sebagai tempat untuk mencari petunjuk secara gaib. Bahkan khusus untuk Prabu Brawijaya V, yang merupakan Raja Majapahit terakhir, dirinya memutuskan untuk menghabiskan masa hidupnya dengan menjadi pertapa di gunung ini.
Sedangkan raja-raja Mataram terutama Kasunanan Surakarta Hadiningrat, secara rutin selalu mengadakan labuhan atau larung sesaji di puncak gunung ini setiap tahun. Tujuannya adalah sebagai bentuk ucapan rasa syukur terhadap Sang Penguasa Alam, termasuk penguasa gaib Gunung Lawu.

Gunung Lawu sendiri memiliki ketinggian 3265 meter di atas permukaan laut. Gunung ini disebutkan memiliki tiga puncak yang sampai saat ini diyakini penuh dengan misteri. Dan misteri dari puncak-puncak itu terkait dengan keyakinan bahwa di sanalah para tokoh sakti jaman dulu melakukan tapa brata hingga kemudian muksa.

Masih dipertahankannya kearifan budaya lokal di kawasan Gunung Lawu, membuat berbagai peninggalan bersejarah di tempat ini tetap terjaga. Dan hal itu diyakini semakin menguatkan pancaran energi dari Gunung Lawu. Karena itulah ada keyakinan bahwa energi dari gunung ini adalah syarat mutlak bagi para pemimpin di tanah Jawa.

Artinya bahwa siapapun yang ingin jadi pemimpin di Jawa atau bahkan Indonesia, jangan sampai lupa untuk menjalankan ritual di Gunung Lawu. Bahkan tetap bertahannya berbagai situs peninggalan bersejarah di gunung ini juga diyakini tak lepas dari peran para penghuni gaibnya. Yang salah satunya adalah binatang-binatang gaib penghuni kawasan ini. Sebab para penjaga gaib inilah yang berperan dalam mempertahankan keutuhan alam dan pancaran energi yang ada di kawasan Gunung Lawu.

Penjaga Gaib
Gunung Lawu memang dihuni berbagai jenis binatang. Mulai dari beragam jenis burung, primata sampai mamalia besar dan kecil bisa dijumpai hidup di kawasan Gunung Lawu. Namun dari sekian banyak jenis binatang itu, masyarakat sekitar Gunung Lawu meyakini adanya tiga jenis binatang yang dianggap sebagai binatang gaib. Yaitu macan Lawu, burung jalak Lawu serta kiyongko, sejenis kelabang raksasa endemik Gunung Lawu.

Untuk macan Lawu atau harimau yang hidup di Gunung Lawu, termasuk jenis macan tutul dan saat ini diduga populasinya masih cukup banyak. Karena pada saat-saat tertentu, keberadaan binatang buas ini masih diketahui oleh warga sekitar Gunung Lawu, melintas di kawasan ini. Bahkan di beberapa tempat, binatang ini juga dikabarkan kerap memangsa ternak milik warga.
Namun harimau yang satu ini bukanlah sosok yang dimaksud sebagai penjaga gaib Gunung Lawu. Sebab, meski memang endemik Gunung Lawu, namun binatang tersebut keberadaannya memang nyata. Sehingga terkadang masih bisa dilacak keberadaannya.
Sedangkan sosok harimau gaib yang disebut-sebut sebagai penjaga Gunung Lawu konon berjenis harimau Jawa dengan ciri kulit tubuh bermotif loreng. Keberadaan harimau yang satu ini memang disebut-sebut telah punah. Sehingga dalam beberapa peristiwa kemunculannya, hal itu dipandang sebagai sebuah kejadian mistis.

Disebut demikian, karena dalam beberapa peristiwa yang dialami warga sekitar Gunung Lawu, kemunculan harimau ini selalu diikuti dengan hal-hal yang bersifat mistis. Di antaranya adalah kemunculannya dalam kondisi menggendong mayat ataupun muncul di beberapa tempat keramat.

Untuk harimau yang satu ini, memang diyakini bukan binatang biasa. Karena keberadaannya dikaitkan dengan sosok penguasa gaib Gunung Lawu, yaitu Sunan Lawu. Bahkan karena begitu istimewanya binatang yang satu ini, beberapa punden yang ada di kawasan Gunung Lawu, juga menempatkan sosok harimau ini sebagai salah satu danyangan. Sehingga kemudian juga diperlakukan secara khusus oleh para pelaku ritual yang datang ke tempat itu.

Salah satu punden yang menempatkan sosok macan Lawu sebagai danyangan adalah komplek punden Eyang Boncolono, yang berada di sekitar kawasan Cemara Kandang. Di sini sosok harimau yang diwujudkan dalam sebuah patung berukuran besar mendapat sebutan Eyang Singo Sinebahing Dilah. Dan sebagai sosok yang dikeramatkan, punden ini selalu menjadi salah satu jujugan para pelaku ritual, selain di cungkup Eyang Boncolono sendiri.

Macan Lawu sendiri diyakini sudah ada sebelum sosok Sunan Lawu ada. Sebab binatang ini diduga sebagai salah satu penjaga gaib kawasan Gunung Lawu. Karena itulah, dia akan muncul saat ada orang-orang yang berniat jahat.
Seperti konon saat pasukan Kerajaan Demak mengejar Prabu Brawijaya V yang mengungsi ke Gunung Lawu.

Pertapaan Boncoloyo
Jenis binatang yang kedua adalah burung jalak Lawu, yang kerap muncul mengikuti para pendaki saat melakukan perjalanan menuju puncak Gunung Lawu. Jalak Lawu sendiri sebenarnya sosok mahluk yang nyata. Artinya dia memang benar-benar salah satu jenis burung endemik Gunung Lawu.

Bagi para pendaki yang menjelajah kawasan Gunung Lawu, keberadaan burung yang masuk dalam keluarga Turdus Poliocephalus itu memang sangat membantu. Sebab dia akan menunjukkan jalan ke arah puncak Gunung Lawu, sehingga para pendaki tidak tersesat.
Dan hal yang sama konon juga dialami oleh Prabu Brawijaya saat memutuskan menghabiskan masa hidup Gunung lawu. Begitu masuk kawasan gunung ini, dia disambut oleh seekor buruk jalak gading sebutan lain jalak Lawu.

Burung ini lantas berubah wujud menjadi seorang manusia yang mengaku bernama Wangsa Menggala, dan selanjutnya mengantarkan Prabu Brawijaya menuju puncak Gunung Lawu.
Cerita inilah yang kemudian membuat sosok burung jalak Lawu mendapatkan pandangan yang istimewa bagi masyarakat di sekitar Gunung Lawu. Yang mana tidak ada orang yang berani mengusik kehidupan burung ini. Sehingga membuat burung ini tidak pernah takut dengan kehadiran manusia di dekatnya.

Perilaku unik burung jalak Lawu yang nyaris tidak pernah takut dnegan keberadaan manusia di sekitarnya ini, juga semakin menguatkan keyakinan bahwa burung ini bukanlah burung biasa. Masyarakat semakin meyakini kalau burung tersebut memang jelmaan sosok penjaga gaib Gunung Lawu. Yang akan menuntun siapa saja yang berniat baik, menuju ke puncak Gunung Lawu.

“Salah satu syarat agar selamat saat naik ke Gunung Lawu adalah hati yang bersih. Sebab kalau tidak, maka bukan tidak mungkin akan dapat musibah yang salah satunya tersesat. Dan bagi mereka yang memang berniat baik, biasanya akan dipandu oleh jalak Lawu, sehingga tidak tersesat. Makanya tidak ada orang yang berani mengganggu keberadaan burung itu,” jelas Ki Cokro ST, seorang spiritualis Indonesia saat sedang melalukan olah batin di Gunug  Lawu beberapa waktu lalu.

“Kalau ada orang yang berani mengganggu atau bahkan membunuh burung ini (jalak Lawu), maka bisa dipastikan dia akan tersesat, meskipun sebenarnya sudah hapal jalan di kawasan Gunung Lawu. Namun bagi mereka yang sudah kerap datang ke Gunung Lawu, pasti akan mematuhi peraturan tidak tertulis yang berlaku di kawasan ini, yang salah satunya tidak mengusik keberadaan burung jalak Lawu,” sambung  Ki Cokro ST.

Selain harimau dan burung jalak Lawu, di Gunung Lawu juga ada satu jenis binatang lagi yang diyakini sebagai sosok penjaga gaib kawasan ini, yaitu kiyongko. Kiyongko sendiri adalah salah satu keluarga serangga dari jenis kelabang. Namun berbeda dengan kelabang pada umumnya, tubuh kiyongko jauh lebih besar dan bisa mencapai panjang hingga lebih dari 30 cm.

Hal lain yang membedakan dengan kelabang pada umumnya, adalah bentuk tubuh kiyongko yang cenderung membulat, beda dengan tubuh kelabang yang pipih. Ruas tubuh kiyongko juga tidak terlalu banyak, sehingga jumlah kakinya terlihat lebih sedikit, meskipun ukurannya lebih besar.

Kiyongko juga diyakini memiliki bisa yang sangat kuat. Bahkan di ujung-ujung kakinya juga terdapat bisa yang bisa membuat lumpuh mangsanya. Dan hal lain yang menjadi perbedaan paling mencolok antara kiyongko dan kelabang adalah kemampuannya berdiri dan meloncat seperti seekor ular. Yang mana hal itu bisa memudahkannya dalam menangkap mangsa.
Keyakinan bahwa kiyongko adalah salah satu binatang gaib penjaga Gunung Lawu tak lepas dari legenda yang berkembang di kawasan ini.

Konon menceritakan bahwa dahulu di lereng Gunung Lawu pernah hidup sosok pertapa sakti yang bernama Ki Ageng Sabuk Janur.
Pada suatu ketika desa tempat tinggal Ki Ageng Sabuk Janur tiba-tiba mengalami kekeringan. Sumur serta sungai mengering, tanaman banyak yang mati dan upaya warga untuk mencari sumber air juga tidak berhasil. Hal ini akhirnya mendorong Ki Ageng Sabuk Janur untuk turun tangan.

Dari penyelidikan yang dilakukannya, ternyata sumber air yang selama ini mengairi pemukiman warga tertutup sebongkah batu berukuran sangat besar. Dan di bawah batu itu melilit seekor kelabang raksasa yang menjaganya.

Kelabang berukuran sebesar batang pohon kelapa itupun langsung menyerang Ki Ageng Sabuk Janur, saat disuruh meninggalkan batu tempat tinggalnya. Pertempuran dahsyat pun terjadi di antara keduanya hingga berhari-hari. Hal ini terjadi karena selain berukuran sangat besar, kelabang itu diceritakan sangat kuat dan sakti. Sehingga Ki Ageng Sabuk Janur sampai kewalahan menghadapinya.

Namun akhirnya dengan senjata andalannya berupa cemeti atau cambuk dari janur (daun kelapa), Ki Ageng Sabuk Janur berhasil mengalahkan kelabang tersebut. Binatang itupun selanjutnya memindahkan batu besar yang menutupi sumber air, serta menjadi pengikut Ki Ageng Sabuk Janur.

Oleh Ki Ageng Sabuk Janur, kelabang yang oleh masyarakat setempat disebut Kiyongko itu diperintahkan menjaga kawasan Gunung Lawu, terutama di wilayah perairannya.
Kisah legenda pertempuran Ki Ageng Sabuk Janur dengan kiyongko juga diwujudkan dalam bentuk kesenian tari yang menjadi salah satu kesenian andalan wilayah Kecamatan Ngargoyoso.

Dan kesenian yang dimainkan secara kolosal inipun kerap ditampilkan dalam berbagai ajang kebudayaan baik di tingkat lokal maupun nasional.
Sampai saat ini binatang kiyongko masih kerap terlihat di sekitar bongkahan-bongkahan batu yang ada di sepanjang jalur sungai yang ada di kawasan Gunung Lawu. Namun demikian, sosok binatang ini diyakini sangat bernuansa mistis. Sebab bila sengaja dicari, keberadaannya tidak akan pernah bisa ditemukan. Meski sebelumnya terlihat di suatu tempat.

“Kemunculan kiyongko cenderung bernuansa mistis. Sebab dia hanya muncul sekehendak htinya sendiri. Bahkan saat kita berusaha mencarinya di suatu tempat yang selama ini kita yakini sebagai tempat tinggalnya, maka sampai kapanpun kita tidak akan pernah menemukannya,” ungkap Ki Cokro ST

Kemunculan kiyongko pada dasarnya sebagai sebuah bentuk peringatan terhadap para pengunjung Gunung Lawu agar tidak merusak lingkungan, terutama kawasan sumber air. Dengan demikian maka kelestarian lingkungan di kawasan gunung ini senantiasa terjaga dengan baik.

Konon, kalau di sekitar sungai sampai ada kiyongko yang keluar, berarti kawasan di mana kiyongko itu muncul adalah kawasan yang harus dijaga. Sehingga jangan sampai kita melakukan hal-hal yang bersifat merusak di tempat itu. Sebab kiyongko ini akan siap menyerang. Dan kalau sampai meyerang, bisa dipastikan nyawa taruhannya. Karena upas (bisa) kiyongko ini sangat kuat   

Karena itulah  bagi para pendaki atau seseorang yang melalukan ritual,  agar senantiasa menjaga perilaku saat hendak berpetualang di Gunung Lawu. Hendaknya senantiasa menjaga lingkungan, agar terhindar dari kemungkinan buruk. Yang muncul akibat serangan mahluk-mahluk gaib, penjaga Gunung Lawu.


Kerbau “Bule” Kyai Slamet Pusaka Keraton Solo

Kebo Bule Kyai Slamet. Bukan sembarang kerbau, karena hewan ini termasuk pusaka penting milik keraton. Dalam buku Babad Solo karya Raden Mas (RM) Said, leluhur kebo bule  adalah hewan klangenan atau kesayangan Paku Buwono II, sejak istananya masih di Kartasura, sekitar 10 kilometer arah barat keraton yang sekarang.

Menurut seorang pujangga kenamaan Keraton Kasunanan Surakarta, Yosodipuro, leluhur kerbau dengan warna kulit yang khas, yaitu bule (putih agak kemerah-merahan) itu, merupakan hadiah dari Kyai Hasan Beshari Tegalsari Ponorogo kepada Paku Buwono II, yang diperuntukkan sebagai cucuk lampah (pengawal) dari sebuah pusaka keraton yang bernama Kyai Slamet saat beliau pulang dari mengungsi di Pondok Tegalsari ketika terjadi pemberontakan pecinan yang membakar Istana Kartasura.
Sekadar catatan, sampai sekarang pihak keraton tidak pernah bersedia menjelaskan apa bentuk pusaka Kyai Slamet ini.

“Karena bertugas menjaga dan mengawal pusaka Kyai Slamet, maka masyarakat menjadi salah kaprah menyebut kebo bule ini sebagai Kebo Kyai Slamet,’’ kata Wakil Pengageng Sasono Wilopo Keraton Surakarta, Kanjeng Raden Aryo (KRA) Winarno Kusumo,
Konon, saat Paku Buwono II mencari lokasi untuk keraton yang baru, tahun 1725, leluhur kebo-kebo bule  tersebut dilepas, dan perjalanannya diikuti para abdi dalem keraton, hingga akhirnya berhenti di tempat yang kini menjadi Keraton Kasunanan Surakarta –sekitar 500 meter arah selatan Kantor Balai Kota Solo.
Bagi masyarakat Solo, dan kota-kota di sekitarnya, seperti Karanganyar, Sragen, Boyolali, Klaten, Sukoharjo, dan Wonogiri, Kebo Bule Kyai Slamet bukan lagi sebagai hewan yang asing. Setiap malam 1 Sura menurut pengganggalan Jawa, atau malam tanggal 1 Muharam menurut kalender Islam (Hijriah), sekawanan kebo keramat ini selalu dikirab, menjadi cucuk lampah sejumlah pusaka keraton.

Ritual kirab malam 1 Sura itu sendiri berlangsung tengah malam, biasanya tepat tengah malam, tergantung “kemauan” dari kebo Kyai Slamet. Sebab, adakalanya kebo keramat baru keluar dari kandang selepas pukul 01.00. Kirab pusaka ini sepenuhnya memang sangat tergantung pada kebo keramat Kyai Slamet. Jika saatnya  tiba,  biasanya tanpa harus digiring kawanan kebo bule akan berjalan dari kandangnya menuju halaman keraton.  Peristiwa ini sangat ditunggu-tunggu masyarakat. Ribuan orang tumpah ruah di sekitar istana, juga di jalan-jalan yang akan dilalui kirab. Masyarakat meyakini akan mendapat berkah dari keraton jika  menyaksikan kirab.


Kawanan kerbau keramat akan berada di barisan terdepan, mengawal  pusaka keraton Kyai Slamet yang dibawa para abdi dalem keraton. Dan yang menarik adalah orang-orang menyikapi kekeramatan kerbau Kyai Slamet sedemikian rupa, sehingga  cenderung tidak  masuk akal. Mereka berjalan mengikuti kirab, saling berebut berusaha menyentuh atau menjamah tubuh kebo bule. Tak cukup menyentuh tubuh kebo, orang-orang tersebut terus berjalan di belakang kerbau, menunggu sekawanan kebo bule buang kotoran. Begitu kotoran jatuh ke jalan, orang-orang pun saling berebut  mendapatkannya.  Tidak masuk akal memang. Tapi mereka meyakini bahwa kotoran sang kerbau akan memberikan berkah, keselamatan, dan  rejeki berlimpah. Mereka menyebut berebut kotoran tersebut sebagai sebagai tradisi ngalap berkah atau mencari berkah Kyai Slamet.


Mantra Penguasa Alam Gaib Tanah Jawa

Malam satu Suro atau penanda hari pertama sistem penanggalan Jawa juga bertepatan dengan 1 Muharram kalender Hijriah, selalu identik dengan hal-hal mitis, gaib, dan klenik.
Di Jawa, nuansa mitis begitu kuat pada berbagai ritual pada peringatan malam satu suro. Salah satu teks Suluk Plencung merekam hubungan orang Jawa dengan kekuatan magis.
“Apuranen sun angetang,
lelembut ing Nusa Jawi,
kang rumeksa ing nagara,
para ratuning dhedhemit,
agung sawabe ugi,
yen apal sadayanipun,
kena ginawe tulak,
kinarya tunggu wong sakit,
kayu aeng lemah sangar dadi tawa”.


Bait di atas merupakan bait pembuka dari 26 bait Suluk Plencungmenggunakan metrum Sinom pada aturan tembang Macapat.
Masing-masing metrum tembang Macapat, tulis Poedjasoebroto dalam Wayang Lambang Ajaran Islam, memiliki penciptanya sendiri-sendiri, seperti Mijil; Kinanthi; Sinom; Asmaradhana; Megatruh digubah Sunan Giri. Lalu Mijil dan Pocung digubah Sunan Gunung Jati; Pangkur digubah Sunan Muria; Durma digubah Sunan Bonang; dan Maskumambangdigubah Sunan Maja Agung.
Suluk Plencung digubah sebagai mantra untuk seseorang ketika sedang melakukan perjalanan melintasi wilayah asing, meminta restu kepadadhanyang atau penguasa gaib wilayah tersebut.
Dhanyang, menurut James Dananjaya dalam Folklor Indonesia: ilmu gosip, dongeng dan lain-lain, adalah roh sakti memiliki sifat mirip dengan dhemit. Dia juga dihubungkan dengan tempat angker tertentu seperti pundhen, tempat orang berkhaul, mempunyai sifat baik hati, dan melindungi.
Suluk Plencung, digubah pada Sabtu Pahing, tanggal 10 Dulkidah 1719 tarikh Jawa, dengan bunyi sengkalan: Trusing Rat Pa??ita Raja, atau jika dikonversikan ke penanggalan Masehi bertepatan dengan 19 Juli 1791, memuat nama-nama lelembut dan cerita sejarah.
Pada bait ke-8, misalnya, tersua nama lelembut, Genawati, berkuasa di Goa siluman. Goa tersebut merupakan tempat persinggahan Pangeran Diponegoro ketika melakukan pengembaraan atau disebut lelono, tahapan inisiasi masa remaja menuju dewasa.
Diponegoro mengembara pada tahun 1805 mengikuti jejak sang leluhur, Panembahan Senapati, ke berbagai tempat di Jawa, salah satu persinggahannya tak lain Goa Siluman, dekat Sungai Oyo, tempat bersemayam lelembut bernama Dewi Genowati.
Goa Siluman, menurut Peter Carey dalam Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro 1785-1855, pernah disebut dalam Kidung Lalembut(Nyanyian Kepada Para Roh) sebagai bagian dari istana para lelembut milik Ratu Kidul dengan wakil Dewi Genowati.
Selain Genowati penguasa Goa Siluman, tersua pula Kethek Putih penguasa Ardi Kendalisada atau Gunung Kendalisada pada bait 12. Kethek Putih pada cerita pewayangan disebut sebagai Hanoman.
Hanoman, catat Ki Kasidi Hadiprayitno dalam Bharata Yudha: Dimensi Religi dan Budaya dalam Serat Bratayuda, dianggap pernah bertapa di gunung Kendalisada di dekat Bawen, Kabupaten Semarang.
Hanoman diceritakan berjaga di puncak bukit Kendalisada untuk menjaga Rahwana, dipercaya terkubur di kawah belerang, di lokasi kini dikenal sebagai reruntuhan Candi Gedong Songo di lereng terjal Gunung Ungaran.
Suluk, meskipun ditembangkan, tidak semata-mata berfungsi sebagai hiburan melainkan, “memiliki makna tersembunyi seperti meneguhkan sesuatu bahkan sarana kritik. Itu bisa dipelajari jika suluk ini dikaji secara benar,” terang Sunu Wasono, pengajar di fakultas Ilmu Budaya UI.


Senin, 11 September 2017

Aksi Gus Cokro ST Menarik Pusaka dari Alam Gaib

Keris berbagai ukuran, batu akik berbagai jenis, tombak, pedang kecil, hingga tongkat dari kuningan berkepala naga. Benda-benda itu didatangkan dari alam gaib oleh para pemburu benda bertuah. Ada yang menarik pusaka itu dengan ritual merapal mantra dan wiridan dibantu tenaga dalam, ada yang meminta bantuan jin jika benda yang akan ditarik berukuran besar dan penunggunya atau khodamnya memiliki tenaga yang kuat.
Memang sulit dicerna logika, tapi ini nyata. Di era modern dan serba canggih, ada segelintir orang yang memiliki keahlian unik, menyenangi benda-benda bertuah atau yang mereka sebut pusaka. Tak sekadar bendanya, tapi cara mendapatkannya yang membuat pusaka itu istimewa.

Gus Cokro ST yang menyebut dirinya sebagai spiritualis, salah satu yang mengoleksi benda-benda pusaka itu. Jumlahnya mencapai ratusan, dari ukuran kecil berupa batu seperti batu akik, hingga keris dan tombak berukuran di atas satu meter. Dia mengaku mulai tertarik dengan pusaka dan proses tarik pusaka sejak masih mudal. Pria asal Jombang, Jawa Timur ini  mengaku  belajar ilmu supranatural dari banyak kyai dan tokoh-tokoh sakti di jawa Timur, bahkan, kini Gus Cokro ST saban hari banyak disambangi oleh masyarakat lain yang ingin berkonsultasi mengenai hal-hal yang bernuansa supranatural.
“Melalui kekuatan mata batin, bisa kami rasakan atau ketahui,  benda-benda pusaka itu tertanam di mana. Setelah diketahui lokasinya, baru kami lakukan prosesi penarikan pusaka tersebut,” jelas Gus Cokro ST.
Dia melanjutkan, upaya penarikan pusaka  bisa dilakukan dengan jarak jauh dan bisa di tempat lokasi keberadaan benda pusaka itu sendiri, Gus Cokro ST dibantu beberapa asistennya melakukan prosesi ritualnya dan beberapa waktu kemudian ia mendapatkan sebuah batu seperti batu akik dari Gunung Lawu. "Saya memakai jurus-jurus seperti orang lagi menarik sesuatu, dibantu olah kekeuatan serempak yang dilakukan oleh asisten saya,” tuturnya.
Bunyi benda jatuh dari tempat di mana Gus Cokro ST menjalankan prosesi rutualnya, Nampak sebuah batu  berukuran kecil itu berhasil ditarik. Gus Cokro ST  pun mendapatkan sebuah tombak yang jatuh di pahanya saat dia duduk bersila. Dari kejadian itu, Gus Cokro ST akhirnya sering melakukan perburuan pusaka  di tempat lokasi yang dinggapnya memiliki nuansa keramat. Hingga kini koleksi pusaka hasil tarikan dari alam gaib yang dimiliki Gus Cokro S, kurang  lebih berjumlah 76. ”Semua koleksi ini kami dapat dari hasil penarikan dari alam gaib, kata Gus Cokro ST menjelaskan.  
Sejak muda memang Gus Cokro ST, sangat  rajin mengunjungi tempat-tempat yang dikeramatkan seperti kuburan, gunung, batu besar, dan pohon besar untuk melihat apakah ada pusaka di tempat itu. "Sebelum menarik benda itu, saya menggunakan mata batin untuk menerawang apa bentuk bendanya, bagus tidak, apakah ada pemiliknya," kata. Gus Cokro ST sambil menyebut menarik benda pusaka bisa diibaratkan dengan menarik truk besar dengan tambang sendirian.
Khodam penunggu pusaka
Setiap pusaka atau benda yang ditarik dari alam gaib, biasanya memiliki penunggu atau khodam. Khodam adalah makhluk gaib bisa berasal dari jenis makhluk halus apa saja, namun yang paling umum adalah dari jenis jin. Oleh pemilik pusaka, khodam ini bisa dimintai bantuannya untuk tujuan tertentu atau diharapkan tuahnya.
Gus Cokro ST mengakui soal khodam penunggu pusaka ini. Di alam gaib, pusaka ini banyak jumlahnya dan siapa saja bisa mengambilnya tergantung sanggup atau tidak orang yang menginginkan.
"Kalau tidak ada pemiliknya bisa langsung ditarik, dipindahkan ke alam nyata. Kalau kita tidak kuat nariknya bisa pakai bantuan jin. Kita dialog dulu dengan khodam penunggu pusaka itu sebelum pusakanya kita ambil," jelasnya.
Benda pusaka, lanjut dia, bisa berada di mana saja tidak mesti di tempat keramat. Untuk pusaka yang ada khodamnya, Gus Cokro ST mengatakan, dibutuhkan perawatan tertentu. Bukan untuk menyembah ke khodam, tapi perawatan dilakukan ibarat seseorang punya peliharaan yang mesti diperhatikan dan diberi makan.
"Menghormati khodam dengan kita mengasih minyak, wewangian. Kalau mau pembersihan pakai jeruk nipis biar karat-karat luntur lalu dilap yang kering," tokoh spiriritual asal Jombang ini.
Selama ini 'penghuni' yang ada di dalam pusakanya tidak pernah mengganggu. Hanya saja Gus Cokro ST pernah beberapa hari sakit karena salah satu pusakanya belum beradaptasi dengan dirinya. Dia merasa panas dan emosinya kerap memuncak. Namun setelah empat hari berlalu keadaan itu kembali normal. Menurut dia, penghuni pusaka itu belum bisa menyesuaikan diri dengan Gus Cokro ST.
Dari sekian banyak pusaka yang dikoleksi, ada beberapa yang memiliki bentuk unik. Seperti tempat lilin dari perak dan keris sepanjang 1,2 meter yang berbentuk seperti ikan. Semua pusaka memiliki khasiat atau tuah masing-masing. "Kebanyakan fungsi umum untuk keselamatan. Sisanya ke pangkat, jabatan, pengasihan, rezeki, dan penangkal santet," jelasnya.

Perburuan pusaka yang dilakukan oleh Gus Cokro ST ini sudah berjalan kurang lebih 13 tahun yang lalu. Kendati demikian toh Gus Cokro ST, masih memiliki ambisi untuk melakukan proses ritual di Gunung Agung, bali untuk menarik pusaka ampuh peninggalan Ratu Calon Arang.  

Memburu Keris Pusaka di Gunung Tidar

Pusaka keris dikenal sebagai senjata khas msyarakat Jawa. Di era kerajaan, seperti Mataram, hampir semua raja dan pasukannya menggunakan senjata itu untuk berperang melawan musuh. Seiring pergantian jaman, banyak keris yang terkubur lantaran banyak peristiwa bencana yang meluluhlantakkan seluruh isi kerajaan. Nilai sejarah dan bentuknya yang cukup artistik membuat Gus Cokro ST  , salah seorang spiritulis  mengatakan jika keris kuno menandakan bahwa kehidupan di jaman kerajaan telah mengenal teknologi. Hal itu bisa dilihat dari cara pembuat keris (empu) dalam membuat lekukan keris. 

Keris yang lama terkubur itu konon memiliki kekuatan gaib. Keris yang terpendam dalam tanah tidak hanya terkubur oleh tanah semata. Konon ribuan makhluk gaib akan mendekati keris itu dan menjaga bahkan akan mendiami keris yang juga memiliki pamor yang berbeda. Dalam praktisi supranatural, Gus Cokro ST menuturkan jika keris kuno yang terkubur itu bisa dimunculkan dengan kekuatan gaib. Ia pun bercerita tentang tempat-tempat yang biasanya banyak terdapat keris kuno dan juga benda-benda mustika lainnya.


Untuk membuktikannya, beberpa waktu yang lalu Gus Cokro ST mencoba melakukan prosesi rituial untuk   penarikan keris pusaka di wilayah Gunung Tidar, Jawa Tengah.  Di salah satu tempat yang konon terkenal angker itu, terlihat jelas proses penarikan keris dan benda mustika secara gaib.  Gus Cokro ST membuktikan jika penarikan keris dengan bantuan gaib ternyata bisa dilakukan. Dua buah keris Mataram Baru tiba-tiba muncul secara gaib. Sulit dipercaya memang. Namun demikian, semua itu tergantung kehendak Tuhan. Jika memang dikehendaki, dengan usaha dan doa, apa yang kita inginkan niscaya akan terkabul.