Selasa, 09 Mei 2017

Mengintip Kebiasaan Raja Mataram Di Panggung Krapyak

Panggung Krapyak merupakan bentuk bangunan peninggalan  kerajaan Mataram. Kini keberadaannya di jadikan sebagai tempat wisata sejarah. Selain sebagai penguji  wawasan sejarah, Anda akan melihat bagaimana kebiasaan para raja masa dahulu.
Panggung Krapyak berada di Jalan KH Ali Maksum. Anda bisa mendatanginya dengan melaju ke selatan dari Alun-Alun Kidul, melewati Plengkung Gading dan Jalan DI Panjaitan. Panggung Krapyak akan ditemukan setelah melaju kurang lebih 3 kilometer, berada tepat di tengah jalan. Posisinya persis dekat pondok pesantren terbesar di Yogyakarta, Ponpes Ali Maksum.
Bangunan yang terbuat dari bahan bata merah ini berukuran 17,6 meter x 15 meter. Ketinggiannya mencapai 10 meter. Usianya telah mencapai 142 tahun. Meski tetap berdiri kokoh, bangunan ini sudah beberapa kali dipugar.

Arsitekturnya cukup unik. Setiap sisi bangunan memiliki sebuah pintu dan dua buah jendela. Pintu dan jendela hanya berupa sebuah lubang. Bagian bawah pintu dan jendela berbentuk persegi. Sedangkan atasnya melengkung.
Secara sepintas, dilihat dari jarak 5 meter, bangunan ini mirip penjara. Beberapa ruangnya terdapat teralis besi. Sementara ruang-ruang lainnya tampak biasa saja.
Dalam sejarahnya, Panggung Krapyak merupakan tempat persinggahan para raja Mataram yang gemar berburu. Kawasan ini sebelumnya hutan belantara. Di hutan ini konon banyak binatang-binatang liar yang menjadi incaran para raja. Salah satunya rusa. Dalam bahasa Jawa, rusa disebut menjangan. Karean itu, panggung ini juga dikenal sebagai Kandang Menjangan oleh warga sekitar.

Raden Mas Jolang dan Sultan Hamengkubuwono adalah dua raja yang tercatat gemar berburu. Pada 1613, Raden Mas Jolang mengalami kecelakaan dalam perburuan. Akhirnya ia diberi gelar Panembahan Seda Krapyak (raja yang meninggal di hutan Krapyak).
 


Misteri Alam Gaib Pajajaran di Curug Pangeran

Mungkin sebagian masyarakat belum banyak yang tahu di balik keindahan alam yang tersaji di kawasan Curug Pangeran. Konon, dahulunya merupakan tempat patilasan seorang raden yang merupakan sahabat karib anak Prabu Siliwangi, Raden Kian Santang. Hal tersebut disampaikan oleh salah seorang warga Desa Gunungsari, Pamijahan, Bogor, Jawa Barat,
"Curug Pangeran, dulunya merupakan tempat patilasan seorang pangeran yang adalah temannya Raden Kian Santang, masih dari Kerajaan Pajajaran juga," ucap Zaenal.
Dan yang lebih mengejutkannya lagi, tidak sedikit dari warga sekitar curug pada setiap malam Jumat selalu mendengar segerombolan orang mandi dan memainkan musik tradisional Sunda yang menggema begitu jelas di sekitar kampung.
"Setiap malam Jumat, warga masih suka mendengar kerumunan orang yang sedang bermain degungan, jaipong, dan bunyi kereta kencana. Karena itu, nama curug itu dinamakan Curug Pangeran," pungkasnya.
Selain itu, Zaenal dan warga lainnya juga meyakini bahwa air terjun tersebut memiliki khasiat yang sama seperti Curug Cigamea dan Curug Kondang. Beliau menuturkan, kepercayaan masyarakat sekitar adalah tentang khasiat air terjun, yang apabila ada seseorang susah jodoh dan mandi di sana, akan segera mendapatkan jodoh.
"Aliran curug ini satu tempat, yakni dari Curug Pangeran, turun ke Curug Kondang, turun ke Curug Goa Lumut, dan terakhir ke Curug Cigamea. Semua itu satu aliran. Karena itu, Curug Pangeran memiliki khasiat yang sama seperti Curug Cigamea dan Curug Kondang," pungkasnya. 


Makna Kehidupan Dibalik Tembang “Cublak-Cublak Suweng”

Pada zaman dahulu para Wali Songo ketika menjalankan misi berdakwah dan menyebarkan agama Islam di tanah Jawa dengan cara yang unik, mereka memadukan ajaran Islam dengan kesenian dan budaya masyarakat lokal yang sudah ada.
Selain Sunan Kalijaga, Sunan Giri juga me

miliki jiwa berkesenian yang tinggi. Sunan Giri mensyiarkan ajaran Islam melalui tembang dan dolanan anak-anak, "Cublak-Cublak Suweng" salah satunya.
"Cublak-Cublak Suweng" adalah salah satu tembang karya Sunan Giri, lagu ini banyak digunakan sebagai salah satu permainan tradisonal Jawa.
Meski dijadikan tembang dolanan, "Cublak-Cublak Suweng" ternyata syarat akan makna yang mendalam, Sunan Giri memang sengaja menulis tembang ini untuk menjadi filsafat hidup yang akan berguna bagi masyarakan Jawa khususnya anak-anak.
Berikut ini lirik dan makna tembang "Cublak-Cublak Suweng" yang dilansir dari berbagai sumber.
Lirik:
Cublak-cublak suweng, suwenge teng gelenter, mambu ketundhung gudel, pak empo lera-lere, sopo ngguyu ndhelikake, Sir-sir pong dele kopong, Sir-sir pong dele kopong, sir-sir pong dele kopong.
Makna:
Cublak Suweng = tempat Suweng. Suweng adalah anting perhiasan wanita Jawa. Jadi, Cublak-cublak suweng, artinya ada tempat harta berharga, yaitu Suweng (Suwung, Sepi, Sejati) atau Harta Sejati.
Suwenge Teng Gelenter = suweng berserakan. Harta Sejati itu berupa kebahagiaan sejati sebenarnya sudah ada berserakan di sekitar manusia.
Mambu (baunya) Ketundhung (dituju) Gudel (anak Kerbau).
Maknanya, banyak orang berusaha mencari harta sejati itu. Bahkan orang-orang bodoh (diibaratkan Gudel) mencari harta itu dengan penuh nafsu ego, korupsi dan keserakahan, tujuannya untuk menemukan kebahagiaan sejati.
Pak empo (bapak ompong) Lera-lere (menengok kanan kiri). Orang-orang bodoh itu mirip orang tua ompong yang kebingungan. Meskipun hartanya melimpah, ternyata itu harta palsu, bukan Harta Sejati atau kebahagiaan sejati. Mereka kebingungan karena dikuasai oleh hawa nafsu keserakahannya sendiri.
Sopo ngguyu (siapa tertawa) Ndhelikake (dia yg menyembunyikan). menggambarkan bahwa barang siapa bijaksana, dialah yang menemukan Tempat Harta Sejati atau kebahagian sejati. Dia adalah orang yang tersenyum-sumeleh dalam menjalani setiap keadaan hidup, sekalipun berada di tengah-tengah kehidupan orang-orang yang serakah.
Sir (hati nurani) pong dele kopong (kedelai kosong tanpa isi). Artinya di dalam hati nurani yang kosong. Maknanya bahwa untuk sampai kepada Tempat Harta Sejati (Cublak Suweng) atau kebahagiaan sejati, orang harus melepaskan diri dari kecintaan pada harta benda duniawi, mengosongkan diri, rendah hati, tidak merendahkan sesama, serta senantiasa memakai rasa dan mengasah tajam Sir-nya hati nuraninya.
Pesan Moral:
untuk mencari harta janganlah menuruti hawa nafsu tetapi semuanya kembali ke hati nurani yang bersih. Tidak dipengaruhi hawa nafsu.. Dengan hati nurani akan lebih mudah menemukannya, tidak tersesat jalan hingga lupa akan akhirat.


Senin, 08 Mei 2017

Mitos Ritual Pesugihan “Sebrah Lonte”

Ritual hubungan intim dengan selingkuhan, pada saat menjalani laku  ritual  di Gunung Kemukus, tidak hanya menjadi mitos kontroversi yang kian hari kian menarik untuk di kupas dan di simak. Meski kerap cerita tersebut di tulis berdasarkan versi mitos dan sejarah, tetapi terkait dengan cara ritual melakukan hubungan seks dengan selingkuhan di Gunung Kemukus, rupanya  selalu  memiliki daya tarik untuk di simak. Proses ritual seperti itu, di kalangan masyarakat Jawa di kenal dengan istilah ‘ Pesugihan Sebrah Lonte’ .
Jika menelisik lebih dalam di beberapa versi cerita  yang beredar di masyarakat sekitar Gunung Kemukus, menyoal perjalanan hidup  Pangeran Samudro dan R.A. Ontrowulan, rupanya kisah hidup merekalah yang menjadi panutan para pelaku ritual pada saat mereka ngalap berkah untuk tujuan keduniawian.
Sebagai obyek wisata religi yang terletak di Kecamatan Sumberlawang, Sragen. Gunung Kemukus berada di tepi luapan waduk Kedung Ombo. Oleh sebab itu apabila debit air waduk dalam posisi penuh, para pelaku ritual harus menyeberangi waduk dengan menggunakan jasa perahu milik warga, untuk lalu lintas keluar masuk Gunung Kemukus.
Gunung setinggi kurang lebih 300meter dari atas permukaan air laut ini, berada di kawasan bukit kapur. Pada saat musim kemarau datang, penduduk hanya mengandalkan hasil pertanian tanaman jagung. Sedangkan pada saat musim hujan barulah mereka bercocok tanam padi. Selain hasil dari bercocok tanam, mencari ikan di waduk juga menjadi salah satu mata pencaharian penduduk desa di sekitar Gunung Kemukus.
Para pelaku ritual yang datang ke Gunung Kemukus biasanya ramai pada waktu malam Jumat Pon, dikarenakan pada malam itu adalah malam pasaran Gunung Kemukus.
Obyek wisata religi yang menjadi andalan Pemerintah Daerah Kabupaten Sragen ini memang penuh kontroversi dan dilematis. Di satu sisi menjadi aset pemasukan bagi pemerintah daerah dan warga desa sekitar yang mengandalkan hasil dari obyek wisata Gunung Kemukus. Namun di sisi yang lain Gunung Kemukus  menjadi ajang prostitusi.
Tahun 70an, prostitusi di Gunung Kemukus memang tak semarak era 90an. Seiring dengan banyaknya para peziarah yang datang menjalani laku ritual Gunung Kemukus, lambat laun berbagai aktifitas di sekitar Gunung Kemukus semakin komplek. Kawasan perbukitan yang dulunya sepi,  jauh dari aktifitas penduduk desa, sekarang mulai ramai dan marak dikunjungi para pelaku ritual. Sampai pada tahun 90an, keberadaan Gunung Kemukus semakin hari semakin bertambah ramai.
Para perempuan yang semula menjual diri dengan cara kasak kusuk, di era tahun 90an mereka sudah mulai berani terang terangan. Bahkan para mucikari mulai menampung mereka di warung warung yang di jadikan sebagai tempat penampungan di Gunung Kemukus.
Kawasan Gunung Kemukus yang semula sepi, mulai berubah menjadi  perkampungan milik warga dan pendatang. Banyak pendatang yang mulai mengontrak tanah dan rumah untuk kegiatan hiburan malam dan prostitusi. Merebaknya prostitusi di Gunung Kemukus di picu adanya kepercayaan  ritual perselingkuhan atau hubungan seks yang harus mereka lakukan setiap kali menjalani ritual di  Gunung Kemukus. Hal ini di lakukan agar mereka ( para pelaku ritual ) bisa mendapatkan kesuksesan dan kekayaan.
Kepercayaan seperti itu akhirnya menjadi salah satu fakor  merebaknya prostitusi di Gunung Kemukus. Di awali dari pasangan selingkuh dengan melakukan hubungan intim di Gunung Kemukus, akhirnya para pelaku ritual yang tak memliki pasangan selingkuh memakai jasa para wanita tuna susila untuk diajak berhubungan intim, agar bisa mendapatkan kekayaan.
Tak jarang ada juga perempuan yang mengaku warga sekitar mau di ajak kencan oleh para pelaku ritual, demi  harapan kerberhasilan mendapatkan kekayaan. Karena jika berhasil, para pelaku ritual tidak akan mungkin melupakan jasa peerempuan ini. Perselingkuhan dengan cara melakukan hubungan intim di Gunung Kemukus, akhirnya membuat banyak wanita dari daerah lain datang dan menetap di Gunung Kemukus.
Rumah warga yang semula berfungsi sebagai rumah tangga biasa, banyak yang di sewa di alihkan fungsikan  menjadi rumah bordil, kafe dan rumah inap. Bahkan beberapa rumah di jadikan tempat untuk pub dan karaoke. Obyek wisata yang semula sakral dan religi mulai berubah menjadi komplek prostitusi, seiring dengan merebaknya mitos  hubungan intim dengan selingkuhan di Gunung Kemukus  bisa mendatangkan kekayaan.
Ritual yang semula dipakai sebagai upaya untuk ngalap berkah, memohon berkah kemurahan rejeki kepada Tuhan, akhirnya berubah menjadi tempat  untuk berburu kekayaan dengan cara selingkuh dan berhubungan intim. Sampai  akhirnya, Pemerintah Kabupaten Sragen  menyapu bersih prostitusi di Gunung Kemukus.
Adanya ritual hubungan intim dengan selingkuhan bukan tanpa alasan, karena mitos perjalanan hidup Pangeran Samudro dengan Nyai Ontrowulan di beberapa versi cerita tak lepas dari kontroversi cerita perselingkuhan. Berasal dari mitos inilah akhirnya menjadi sebuah cara ritual yang dipercaya bisa mendatangkan kekayaan. Karena bagi para pelaku ritual, tak sedikit orang orang  yang berhasil memperoleh kekayaan usai mereka melakukan ritual hubungan intim dengan perselingkuhan di Gunung Kemukus selama tujuh kali malam Jumat. Puncaknya, jika kesuksesan duniawi sudah mereka peroleh, maka salah satu pasangan yang sukses tidak boleh melupakan pasanganya.
Dalam beberapa versi cerita dikisahkan, Joko Samudro atau yang lebih di kenal dengan nama Pangeran Samudro adalah salah seorang putra Prabu Brawijaya V, yang lahir dari ibu selir bernama R.A.Ontrowulan, atau yang kerap dipanggil Nyai Ontrowulan. Namun ada juga yang mengatakan bahwa Nyai Ontrowulan sebenarnya ibu tiri Pangeran Samudro, yang kemudian keduanya jatuh cinta.
Dikisahkan, pada saat kerajaan Majapahit runtuh, Pangeran Samudro tidak ikut melarikan diri bersama dengan saudara-saudaranya. Pangeran Samudro memilih pergi ke Demak dan belajar ilmu agama kepada Sunan Kalijaga. Beberapa lama berguru dengan Sunan Kalijaga,  Pangeran Samudro kemudian di suruh oleh Sunan Kalijaga pergi berguru kepada Kiai Ageng Gugur dilereng  Gunung Lawu, tepatnya berada di daerah Jumantono.
Di desa yang sekarang bernama Desa Pandan Gugur, Pangeran Samudro menimba ilmu agama dan filsafat kepada Ki Ageng Gugur, guru yang tak lain adalah kakaknya sendiri. Setelah beberapa tahun berguru kepada Ki Ageng Gugur, Pangeran Samudro kemudian kembali pulang ke Demak Bintara. Dalam perjalanan pulang ke Demak Bintara,  Pangeran Samudro didampingi oleh dua orang abdi setia sembari menyebarkan siar di setiap tempat yang disinggahinya.
Namun saat berada dalam  perjalanan, Pangeran Samudro jatuh sakit sampai akhirnya meninggal dunia. Dua orang abdi Pangeran Samudo lalu menyampaikan kabar berita duka  ke Kerajaan Demak. Mendengar berita kematian saudaranya, Sultan Demak Bintoro lantas menyuruh kedua orang abdi tersebut menguburkan jasad Pangeran Samudro di tempat beliau wafat.
Oleh kedua orang abdinya, Pangeran Samudro kemudian di makamkan di sebuah bukit yang selalu tampak kabut hitam pada saat musim kemarau dan penghujan datang. Kabut yang menyerupai  bentuk kukusan itu, akhirnya menjadi nama bukit yang kemudian di sebut dengan nama Gunung Kemukus
Mendengar kabar kematian putranya, Nyai  Ontrowulan kemudian memutuskan untuk pergi melihat makam Pangeran Samudro. Setibanya di makam, Nyai Ontrowulan merebahkan diri dan memperoleh petunjuk ghaib. Dalam petunjuk ghaib tersebut, Pangeran Samudro berpesan’ Kalau ingin bertemu dengannya, Nyai Ontrowulan di haruskan lebih dahulu mensucikan diri di sendang yang tak jauh dari Gunung Kemukus.
Usai mensucikan diri di sendang, Nyai Ontrowulan mengurai dan mengibaskan rambutnya. Dari kibasan rambut Ontrowulan berjatuhan bunga bunga penghias rambut. yang kemudian tumbuh menjadi pohon Nagasari.
Usai menyucikan diri di sendang,  Ontrowulan kemudian muksa jiwa dan raganya. Sedangkan Sendang yang pernah di pakai untuk sesuci,  sekarang di kenal dengan nama Sendang Ontrowulan.
Di versi yang lain juga di kisahkan, runtuhnya kerajaan Majapahit pada  tahun 1478 di gantikan kerajaan Demak yang dipimpin oleh Raden Patah. Konon di ceritakan Raden Patah mempunyai putra bernama Pangeran Samudro yang berperilaku kurang terhormat, karena jatuh cinta kepada ibunya sendiri, R.A.Ontrowulan.
Namun  cinta Pangeran Samudro rupanya juga diterima oleh ibunya. Ketika Raden Patah mengetahui hubungan ibu dan anak tersebut, Pangeran Samudro dicari dan diburu sampai di Gunung Kemukus. Sementara itu, Ontrowulan yang terlanjur  jatuh cinta kepada anaknya, nekad meninggalkan Demak untuk mencari anaknya.
Pencarian Ontrowulan akhirnya di pertemukan dengan Pangeran Samudro, lalu terjadilah suatu pertemuan yang menyedihkan. Keduanya melakukan hubungan intim yang seharusnya tidak boleh dilakukan oleh seorang ibu dan anak..
Sementara itu, kisah perburuan Pangeran Samudro terus berlanjut oleh para prajurit Demak. Sampai akhirnya keberadaan mereka berdua di ketahui di Gunung Kemukus dan berhasil  di bunuh oleh prajurit Demak.. Tetapi pada detik detik terakhir sebelum menghembuskan nafas  terakhirnya Pangeran Samudro berucap ,
Bagi siapa saja yang mempunyai keinginan atau cita-cita, untuk mendapatkannya harus dengan sungguh-sungguh, mantap, teguh pendirian, dan dengan hati yang suci. Jangan tergoda oleh apa pun, harus terpusat pada yang dituju atau yang diinginkan. Dekatkan dengan apa yang menjadi kesenangannya, seperti akan mengunjungi idamanya (  Dhemenane, Pacar gelap; selingkuhan )”.
 Di versi yang lainnya lagi juga diceritakan, Pangeran Samudro adalah putra tertua istri resmi Prabu Brawijoyo dari kerajaan Majapahit. Setelah menginjak dewasa, Pangeran Samudro di suruh pergi ke dunia luar untuk mengumpulkan berbagai pengalaman yang kelak akan ia pergunakan di kehidupan nantinya. Beberapa tahun berada di dunia luar,  Pangeran Samudro kemudian kembali ke istana dan ia jatuh cinta kepada salah seorang selir ayahnya yang bernama R.A. Ontrowulan.
Karena ketampananya, cinta Pangeran Samudro kemudian diterima. Ketika mengetahui anaknya mencintai selirnya, Prabu Brawijaya sangat marah dan mengusir Pangeran Samudro beserta Ontrowulan keluar dari keraton. Keduanya lantas menetap di Gunung Kemukus sebagai suami-istri yang bahagia.
Tak jauh dari puncak Gunung Kemukus, terdapat sebuah sendang yang sangat disukai oleh R.A. Ontrowulan. Di sendang itu pula Ontrowulan seringkali menghabiskan waktunya duduk bermeditasi sepanjang hari. Menurut cerita, konon sendang tersebut dibuat dengan cara menancapkan sebatang tongkat ke dalam tanah. Sedangkan pohon-pohon besar yang menjadi hutan lebat di sekeling sendang, diyakini oleh penduduk desa berasal dari bunga-bunga pengikat rambut R.A.Ontrowulan.
Kian hari kebahagian mereka terus berjalan, sampai pada suatu ketika Ontrowulan ingin pergi bertapa di sebuah tempat yang jauh untuk waktu yang lama, Pangeran Samudro yang kesepian di tinggal Ontrowulan, lantas jatuh sakit dan meninggal dunia. Oleh penduduk desa, jenazahnya kemudian dimandikan di sendang dan dimakamkan .
Ketika kembali dari bertapa, Ontrowulan lebih dulu mampir mandi di Sendang kemudian pergi ke puncak Gunung Kemukus menemui suaminya. Namun alangkah kagetnya, saat mengetahui penduduk desa baru saja menguburkan jasad suaminya.. Perasaan sedih menusuk hatinya, sampai akhirnya Ontrowulun turut menyusul suaminya.
Beberapa tahun sejak kepergianya,  Pangeran Samudro menampakkan diri secara ghaib dalam penglihatan tokoh tetua adat desa. Saat itu Pangeran Samodra berpesan pada tetua desa,  bahwa ia akan memenuhi keinginan setiap orang yang datang ziarah ke makamnya dengan membawa bunga, namun dengan syarat bahwa orang itu harus memiliki pasangan.
Konon dari mitos ini  para pelaku ritual mempercayai, jika mereka datang dengan pasangan menjalani ritual di makam Pangeran Samodra, maka keberhasilan akan cepat di capai. Makna pasangan di artikan selingkuhan bagi para pelaku ritual yang belum memiliki pasangan maupun yang sudah memiliki pasangan. Sedangkan mendekatkan diri pada kesenangan yang di tuju, di tafsirkan sebagai tujuan perselingkuhan, tak lain hanyalah untuk  hubungan intim.
Mitos ini semakin lama semakin berkembang dan men-tradisi dikalangan para pelaku ritual. Karena di dukung dengan banyaknya para pelaku ritul yang berhasil sukses memiliki kekayaan usai mereka menjalani laku ritual dengan pasangan selingkuh. Oleh karena itu tak dipungkiri, di era tahun 70an banyak pelaku ritual yang melakukan hubungan intim di sekitar makam, usai mereka menjalani ritual di Gunung Kemukus.
Namun seiring dengan merebaknya aktifitas di sekitar makam, dan semakin banyaknya tempat yang bisa di sewa untuk melakukan hubungan intim, makin lama Gunung Kemukus berubah menjadi prostitusi berbalut wisata religi. .
‘Kondisi seperti itu sekarang sudah mulai berubah, sejak segala kegiatan prostitusi yang ada Gunung Kemukus di tutup secara resmi oleh aparat pada akhir tahun 2014’ Ujar Warti, salah seorang pemilik rumah di sekitar makam.
‘Secara tegas Pemerintah Kabupaten Sragen melarang aktifitas dan kegiatan Prostitusi di Gunung Kemukus’ Tambahnya
Tak dipungkiri, sampai saat ini keyakinan ritual dengan selingkuhan bisa mendatangkan kekayaan di Gunung Kemukus memang sudah mentradisi di kalangan para pelaku ritual. Bahkan penduduk sekitar menganggap hal tersebut adalah sesuatu hal yang biasa, karena mitos yang melekat di Gunung Kemukus
Padahal jika di cermati lebih jauh makna ucapan Pangeran Samodra sebelum beliau meninggal bisa di artikan, bahwa untuk mendapatkan sebuah keinginan, seseorang harus teguh dan sungguh sungguh melakukannya, mantab, tidak goyah dan tergoda oleh segala godaan, harus konsentrasi kepada sesuatu yang dituju agar bisa mendapatkanya. Dekatkan dengan yang menjadi kesenangan, bahwa segala daya upaya tersebut haruslah sesuatu yang dekat dengan apa yang di harapkan, perbanyak doa dan permohonan kepada Tuhan, agar memudahkan meraih keinginan..  



Menyimak Ramalan Sabdo Palon Mengenai Tanah Jawa

Nama tokoh Sabdapalon adalah pandita dan penasehat Brawijaya V, penguasa terakhir yang beragama Hindu dari kerajaan Majapahit di Jawa (memerintah tahun 1453 – 1478 ).
Tidak diketahui apakah Sabdopalon ini benar-benar ada, namun namanya disebut-sebut dalam Serat Darmagandhul, suatu tembang macapat kesusastraan Jawa Baru berbahasa Jawa Ngoko.

Dalam Serat tersebut, disebutkan bahwa Sabdapalon tidak bisa menerima sewaktu Brawijaya digulingkan pada tahun 1478 oleh tentara Demak dengan bantuan dari Walisongo (walaupun pada umumnya dalam sumber-sumber sejarah dinyatakan bahwa Brawijaya digulingkan oleh Girindrawardhana).
I
a lalu bersumpah akan kembali setelah 500 tahun, saat korupsi merajalela dan bencana melanda, untuk menyapu Islam dari Jawa dan mengembalikan kejayaan agama dan kebudayaan Hindu (dalam Darmagandhul, agama orang Jawa disebut agama Buda). Serat Damarwulan dan Serat Blambangan juga mengisahkan tokoh ini.

Pada tahun 1978, Gunung Semeru meletus dan membuat sebagian orang percaya atas ramalan Sabdapalon tersebut. Tokoh Sabdapalon dihormati di kalangan revivalis Hindu di Jawa serta di kalangan aliran tertentu penghayat kejawen. Patung untuk menghormatinya dapat dijumpai di Candi Ceto, Jawa Tengah.

Sabdapalon seringkali dikaitkan dengan satu tokoh lain, Nayagenggong, sesama penasehat Brawijaya V. Sebenarnya tidak jelas apakah kedua tokoh ini orang yang sama atau berbeda.
Ada yang berpendapat bahwa keduanya merupakan penggambaran dua pribadi yang berbeda pada satu tokoh. Secara hakekat nama “Sabdo Palon Noyo Genggong” adalah simbol dua satuan yang menyatu, yaitu : Hindu – Budha (Syiwa Budha).

Dalam bait-bait terakhir ramalan Joyoboyo (1135–1157) Sabda Palon juga disebut-sebut, yaitu bait 164 dan 173 yang menggambarkan tentang sosok Putra Betara Indra (berhubungan dengan ramalan joyoboyo). Berikut isinya:
…; mumpuni sakabehing laku; nugel tanah Jawa kaping pindho; ngerahake jin setan; kumara prewangan, para lelembut ke bawah perintah saeko proyo kinen ambantu manungso Jawa padha asesanti trisula weda; landhepe triniji suci; bener, jejeg, jujur; kadherekake Sabdopalon lan Noyogenggong.

Artinya : …..; menguasai seluruh ajaran (ngelmu); memotong tanah Jawa kedua kali; mengerahkan jin dan setan; seluruh makhluk halus berada di bawah perintahnya bersatu padu membantu manusia Jawa berpedoman pada trisula weda; tajamnya tri tunggal nan suci; benar, lurus, jujur; didampingi Sabdopalon dan Noyogenggong.
nglurug tanpa bala; yen menang tan ngasorake liyan; para kawula padha suka-suka; marga adiling pangeran wus teka; ratune nyembah kawula; angagem trisula wedha; para pandhita hiya padha muja; hiya iku momongane kaki Sabdopalon; sing wis adu wirang nanging kondhang; genaha kacetha kanthi njingglang; nora ana wong ngresula kurang; hiya iku tandane kalabendu wis minger; centi wektu jejering kalamukti; andayani indering jagad raya; padha asung bhekti.

Artinya : menyerang tanpa pasukan; bila menang tak menghina yang lain; rakyat bersuka ria; karena keadilan Yang Kuasa telah tiba; raja menyembah rakyat; bersenjatakan trisula wedha; para pendeta juga pada memuja; itulah asuhannya Sabdopalon; yang sudah menanggung malu tetapi termasyhur; segalanya tampak terang benderang; tak ada yang mengeluh kekurangan; itulah tanda zaman kalabendu telah usai; berganti zaman penuh kemuliaan; memperkokoh tatanan jagad raya; semuanya menaruh rasa hormat yang tinggi.

Mitologi Sabda Palon Titisan Shang Hyang Bhatara Ismaya:
Mitologi ini sebenarnya memiliki makna bahwa para penguasa yang diasuh (dimong) Sabda Palon itu merupakan penguasa yang memiliki “kedaulatan spiritual”, yaitu penguasa yang Agung Binathara. Penguasa yang dipatuhi oleh seluruh rakyatnya dan disegani oleh penguasa-penguasa negara lain.
Cerita yang banyak diyakini oleh para ahli kebatinan, tugas Sabda Palon terakhir adalah ngemong Prabu Brawijaya di Majapahit. Sabda Palon memilih berpisah dengan momongannya, karena Prabu Brawijaya pindah agama, dari Agama Siwa-Buddha (campuran Jawa-Hindu-Buddha) menjadi Islam yang datang dari Arab.

Dengan begitu, Prabu Brawijaya dianggap telah kehilangan kedaulatan spiritual-nya. Sabda Palon memilih mengundurkan diri dari kedudukannya sebagai pamong raja kemudian bertapa tidur di pusat kawah Gunung Merapi selama 500 tahun.

Selama Sabda Palon bertapa itu, tanah Jawa tidak akan memiliki kedaulatan lagi, serta tidak dihormati oleh bangsa-bangsa lain. Terbukti, bahwa sejak jaman Demak hingga Mataram Islam, para Sultan-nya perlu memohon legitimasi kekuasaannya kepada ulama Mekah, sedang para Sultan dari wilayah Sumatera dan Banten serta banyak lagi dari Indonesia Timur, memohon legitimasinya dari Daulah Ottoman Turki.

Kesultanan Aceh, sebelum perang melawan Belanda, sebenarnya adalah salah satu wilayah Kesultanan Turki itu. Setelah itu Jawa dan Nusantara dijajah Belanda, Inggris dan Jepang.
Meskipun dapat dikaji seperti itu, tetapi sebaiknya cerita mitologi Jawa tentang Sabda Palon itu jangan diartikan sebagai penolakan Jawa terhadap Islam. Karena tidak ada ceritanya peradaban dan kebudayaan Jawa itu menolak masuknya paham agama macam apa pun. Malah Jawa biasanya dapat mendukung sehingga agama-agama yang masuk itu mencapai keemasannya di tanah Jawa.

Tutunan Jawa tentang penyembahan pribadi kepada Yang Maha Kuasa dibebaskan, terserah kepada pilihan masing-masing. Mau menyembah dengan cara agama apa saja tidak akan pernah disalahkan. Pokoknya, paham dasar yang harus dilaksanakan setiap manusia adalah ketika hidup bermasyarakat bergaul dengan sesama makhluk Tuhan Yang Maha Agung, jenis apa pun.

Kewajibannya, setiap orang diharuskan ikut memperindah keindahan jagad dengan cara memelihara dan melestarikan keselarasan (keharmonisan) antar sesama makhluk, dan mejauhkan diri dari perselisihan.

Cerita Sabda Palon itu apa bila benar-benar di dalami sungguh-sungguh, malah jelas menggambarkan kesalahan Prabu Brawijaya dalam mengelola kedaulatan yang digenggamnya. Sebab Prabu Brawijaya yang kaya-raya dan berkedudukan sebagai maharaja (diugung raja brana lan kuwasa) lupa melaksanakan amanah kedaulatannya dengan benar.
Ceritanya, Prabu Brawijaya terakhir memiliki selir yang banyak sekali, maka anaknya juga sangat banyak. Semua anak-anak itu lalu diberi “kedudukan” mengurus pemerintahan negara Majapahit.

Oleh sebab itu, raja Majapahit lalu hilang kewibawaannya. Negara besar itu menjadi ringkih. Akhirnya ketika para Bupati Pesisir membantu Demak berperang dengan Majapahit, rakyat Majapahit tidak mau membela atau tidak ikut mempertahankannya.

Sabda Palon, sebenarnya merupakan simbul atau personifikasi kesetiaan rakyat kepada rajanya, kepada pemimpin negaranya atau kepada pemerintahnya. Sabda Palon memilih pisah dari Prabu Brawijaya, berarti rakyat sudah kehilangan kesetiaannya kepada raja Majapahit itu. Istilahnya terjadi pembangkangan publik terhadap kepemimpinan Brawijaya, tidak mau membela kerajaan ketika berperang melawan Demak dan Bupati-bupati Pesisir.
Cerita itu disamarkan dengan pernyataan, bahwa Sabda Palon akan bertapa tidur selama 500 tahun. Cerita itu juga memuat pengertian, bahwa 500 tahun setelah runtuhnya Majapahit, rakyat Jawa (Nusantara) akan tumbuh kembali kesadarannya sebagai bangsa terjajah dan akan memiliki kesetiaan kembali kepada pemimpin bangsanya. Munculnya rasa kebangsaan dan kesetiaan terhadap tanah air itu digambarkan tidak dapat dibendung seperti meletusnya Gunung Merapi.

Ramalan Sabda Palon Yang Sudah Diterjemahkan dari Bahasa Jawa Kuno Ke Bahasa Indonesia:



1. Ingatlah kepada kisah lama yang ditulis di dalam buku babad tentang negara Mojopahit. Waktu itu Sang Prabu Brawijaya mengadakan pertemuan dengan Sunan Kalijaga didampingi oleh Punakawannya yang bernama Sabda Palon Naya Genggong.

2. Prabu Brawijaya berkata lemah lembut kepada punakawannya: “Sabda-Palon sekarang saya sudah menjadi Islam. Bagaimanakah kamu? Lebih baik ikut Islam sekali, sebuah agama suci dan baik.”

3. Sabda Palon menjawab kasar: “Hamba tak mau masuk Islam Sang Prabu, sebab saya ini raja serta pembesar Dah Hyang se tanah Jawa. Saya ini yang membantu anak cucu serta para raja di tanah jawa. Sudah digaris kita harus berpisah.

4. Berpisah dengan Sang Prabu kembali ke asal mula saya. Namun Sang Prabu kami mohon dicatat. Kelak setelah 500 tahun saya akan mengganti agama Buda lagi, saya sebar seluruh tanah Jawa.

Kira-kira dari bait dibawah inilah, kejadian meletusnya gunung merapi yang sebelumnya di sebutkan sebagai tempat bertapanya Sabda Palon di sangkut pautkan…

5. Bila ada yang tidak mau memakai, akan saya hancurkan. Menjadi makanan jin setan dan lain-lainnya. Belum legalah hati saya bila belu saya hancur leburkan. Saya akan membuat tanda akan datangnya kata-kata saya ini. Bila kelak Gunung Merapi meletus dan memuntahkan laharnya.

6. Lahar tersebut mengalir ke barat daya. Baunya tidak sedap. Itulah pertanda kalau saya datang. Sudah mulai menyebarkan agama Buda. Kelak Merapi akan bergelegar. Itu sudah menjadi takdir Hyang Widi bahwa segalanya harus bergantian. Tidak dapat bila diubah lagi.

7. Kelak waktunya paling sengsara di tanah Jawa ini pada tahun: Lawon Sapta Ngesthi Aji. Umpama seorang menyeberang sungai sudah datang di tengah-tengah. Tiba-tiba sungainya banjir besar, dalamnya menghanyutkan manusia sehingga banyak yang meninggal dunia.

8. Bahaya yang mendatangi tersebar seluruh tanah Jawa. Itu sudah kehendak Tuhan tidak mungkin disingkiri lagi. Sebab dunia ini ada ditanganNya. Hal tersebut sebagai bukti bahwa sebenarnya dunia ini ada yang membuatnya.

9. Bermacam-macam bahaya yang membuat tanah Jawa rusak. Orang yang bekerja hasilnya tidak mencukupi. Para priyayi banyak yang susah hatinya. Saudagar selalu menderita rugi. Orang bekerja hasilnya tidak seberapa. Orang tanipun demikian juga. Penghasilannya banyak yang hilang di hutan.

10. Bumi sudah berkurang hasilnya. Banyak hama yang menyerang. Kayupun banyak yang hilang dicuri. Timbullah kerusakan hebat sebab orang berebutan. Benar-benar rusak moral manusia. Bila hujan gerimis banyak maling tapi siang hari banyak begal.

11. Manusia bingung dengan sendirinya sebab rebutan mencari makan. Mereka tidak mengingat aturan negara sebab tidak tahan menahan keroncongannya perut. Hal tersebut berjalan disusul datangnya musibah pagebluk yang luar biasa. Penyakit tersebar merata di tanah Jawa. Bagaikan pagi sakit sorenya telah meninggal dunia.

12. Bahaya penyakit luar biasa. Di sana-sini banyak orang mati. Hujan tidak tepat waktunya. Angin besar menerjang sehingga pohon-pohon roboh semuanya. Sungai meluap banjir sehingga bila dilihat persis lautan pasang.

13. Seperti lautan meluap airnya naik ke daratan. Merusakkan kanan kiri. Kayu-kayu banyak yang hanyut. Yang hidup di pinggir sungai terbawa sampai ke laut. Batu-batu besarpun terhanyut dengan gemuruh suaranya.

14. Gunung-gunung besar bergelegar menakutkan. Lahar meluap ke kanan serta ke kiri sehingga menghancurkan desa dan hutan. Manusia banyak yang meninggal sedangkan kerbau dan sapi habis sama sekali. Hancur lebur tidak ada yang tertinggal sedikitpun.

15. Gempa bumi tujuh kali sehari, sehingga membuat susahnya manusia. Tanahpun menganga. Muncullah brekasakan yang menyeret manusia ke dalam tanah. Manusia-manusia mengaduh di sana-sini, banyak yang sakit. Penyakitpun rupa-rupa. Banyak yang tidak dapat sembuh. Kebanyakan mereka meninggal dunia.

16. Demikianlah kata-kata Sabda Palon yang segea menghilang sebentar tidak tampak lagi diriya. Kembali ke alamnya. Prabu Brawijaya tertegun sejenak. Sama sekali tidak dapat berbicara. Hatinya kecewa sekali dan merasa salah. Namun bagaimana lagi, segala itu sudah menjadi kodrat yang tidak mungkin diubahnya lagi.
Ramalan ini bukan hal yang baru lagi namun masih menyisakan tanya dan rasa penasaran. Mari kita renungkan sesaat tentang kejadian meletusnya Gunung Merapi pada tahun 2006, dimana untuk pertama kalinya ditetapkan tingkat statusnya menjadi yang tertinggi: “Awas Merapi”.

Saat kejadian itu lahar merapi keluar bergerak ke arah “Barat Daya”. Pada hari itu tanggal 13 Mei 2006 adalah malam bulan purnama bertepatan dengan Hari Raya Waisyak (Budha) dan Hari Raya Kuningan (Hindu). Secara hakekat nama “Sabdo Palon Noyo Genggong” adalah simbol dua satuan yang menyatu, yaitu : Hindu – Budha (Syiwa Budha).

Di dalam Islam dua satuan ini dilambangkan dengan dua kalimat Syahadat. Apabila angka tanggal, bulan dan tahun dijumlahkan, maka : 1 + 3 + 5 + 2 + 6 = 17 ( 1 + 7 = 8 ). Angka 17 kita kenal merupakan angka keramat. 17 merupakan jumlah raka’at sholat lima waktu di dalam syari’at Islam. 17 juga merupakan lambang hakekat dari “bumi sap pitu” dan “langit sap pitu” yang berasal dari Yang Satu, Allah SWT.

Sedangkan angka 8 merupakan lambang delapan penjuru mata angin. Di Bali hal ini dilambangkan dengan apa yang kita kenal dengan “Sad Kahyangan Jagad”. Artinya dalam kejadian ini delapan kekuatan dewa-dewa menyatu, menyambut dan menghantarkan Sang Hyang Ismoyo (Sabdo Palon) untuk turun ke bumi.
Di dalam kawruh Jawa, Sang Hyang Ismoyo adalah sosok dewa yang dihormati oleh seluruh dewa-dewa. Dan gunung Merapi di sini melambangkan hakekat tempat atau sarana turunnya dewa ke bumi (menitis).  



Ngangah, Ritual Pemanggil Roh Harimau


Bagi masyarakat Kerinci,Jambi harimau merupakan sahabat karib. Hidup berdampingan tanpa mengganggu satu sama lain.
Bahkan harimau sangat dihormati oleh warga kabupaten berjargon Sejuk Aman Kenanga Tertib Indah (Sakti) alam Kerinci.
Pasalnya, masyarakat Kerinci meyakini harimau merupakan titisan nenek moyang mereka yang ditugaskan menjaga kelestarian hutan rimba gunung rayo. Masyarakat pun menggelari harimau dengan sebutan Inyik, Ninek atau Tuo yang artinya leluhur/orang yang dituakan.
Kelestarian hubungan itu terus terjaga sejak zaman dulu hingga saat ini. Nah, untuk memuliakan dan menjaga hubungan batin antara harimau dan masyarakat, tak jarang warga dusun menggelar upacara adat untuk menghormati harimau. Salah satunya upacara Ngangah.
Meskipun jarang terjadi, perilaku adat masyarakat

kerinci terhadap raja hutan itu terus terjaga.
Seperti ritual adat masyarakat Pulau Tengah, Kerinci, Jambi. Ritual tersebut dinamakan Tari Ngangah yang berarti menghibur roh harimau.
Tarian itu digelar manakala ditemukan seekor harimau mati dihutan. Dengan maksud agar gerombolan harimau tidak turun gunung dan mengganggu warga. Diketahui pagelaran terakhir saat festival Danau Kerinci 2005.

Dalam prakteknya, setiap gerakan yang tersaji mengandung pesan moral yang sangat dalam. Harimau yang mati ditutupi kain putih layaknya manusia, Harimau kemudian ditandu menuju balai adat. Diletakkan ditempat yang agak tinggi dan ditegakkan seperti harimau yang masih hidup.
Selanjutnya, ketua adat akan membaca mantra diiringi bunyi yang berasal dari Terawak (bebunyian dari tempurung) yang berfungsi untuk menjemput roh harimau, petanda ritual dimulai.
Diyakini dengan adanya ritual adat ini, roh harimau akan mendengar dan datang menjelma. Kepercayaan masyarakat harimau berkuping tanah, pendengarannya menembus setiap jejak langkah, setelah kain putih dibuka satu per satu berbagai jenis benda kemudian diletakkan dihadapan harimau sebagia tebusan.
Prinsipnya adalah melunasi, hilang belang diganti belang, hilang taring diganti taring, hilang ekor diganti ekor, hilang mata diganti mata. Dalam ritual itu taring diganti dengan keris, kuku diganti dengan sebilah pedang, ekor diganti dengan tombak, suaranya diganti dengan pukulan gong, warna matanya dengan benda keras yang berkilat seperti kelopak betung (pelepah bambu bagian dalam) dan belangnya diganti warna kain.
Setelah prosesi itu, harimau mati diarak keliling kampung diiringi dengan peragaan tarian, silat pisau, silat pedang dan gerakan yang menyerupai harimau.
Ditengah ritual itulah tiba-tiba banyak warga yang kesurupan dan bertingkah mirip gerakan harimau, kejadian inilah yang diyakini warga sebagai tanda kedatangan roh leluhur yang menjelma masuk kedalam raga.
Untuk menyadarkan yang kesurupan para ketua adat pun cukup membaca mantra khusus. Setelah itu harimau akan dikubur di pinggiran desa.