Nama tokoh Sabdapalon adalah pandita
dan penasehat Brawijaya V, penguasa terakhir yang beragama Hindu dari kerajaan
Majapahit di Jawa (memerintah tahun 1453 – 1478 ).
Tidak diketahui apakah Sabdopalon
ini benar-benar ada, namun namanya disebut-sebut dalam Serat Darmagandhul,
suatu tembang macapat kesusastraan Jawa Baru berbahasa Jawa Ngoko.
Dalam Serat tersebut, disebutkan
bahwa Sabdapalon tidak bisa menerima sewaktu Brawijaya digulingkan pada tahun
1478 oleh tentara Demak dengan bantuan dari Walisongo (walaupun
pada umumnya dalam sumber-sumber sejarah dinyatakan bahwa Brawijaya digulingkan
oleh Girindrawardhana).
I
a lalu bersumpah akan kembali
setelah 500 tahun, saat korupsi merajalela dan bencana melanda, untuk menyapu
Islam dari Jawa dan mengembalikan kejayaan agama dan kebudayaan Hindu (dalam
Darmagandhul, agama orang Jawa disebut agama Buda). Serat Damarwulan dan Serat
Blambangan juga mengisahkan tokoh ini.
Pada tahun 1978, Gunung Semeru
meletus dan membuat sebagian orang percaya atas ramalan Sabdapalon tersebut.
Tokoh Sabdapalon dihormati di kalangan revivalis Hindu di Jawa serta di
kalangan aliran tertentu penghayat kejawen. Patung untuk menghormatinya dapat
dijumpai di Candi Ceto, Jawa Tengah.
Sabdapalon seringkali dikaitkan
dengan satu tokoh lain, Nayagenggong, sesama penasehat Brawijaya V. Sebenarnya
tidak jelas apakah kedua tokoh ini orang yang sama atau berbeda.
Ada yang berpendapat bahwa keduanya
merupakan penggambaran dua pribadi yang berbeda pada satu tokoh. Secara hakekat
nama “Sabdo Palon Noyo Genggong” adalah simbol dua satuan yang menyatu, yaitu :
Hindu – Budha (Syiwa Budha).
Dalam bait-bait terakhir ramalan
Joyoboyo (1135–1157) Sabda Palon juga disebut-sebut, yaitu bait 164 dan 173
yang menggambarkan tentang sosok Putra Betara Indra (berhubungan
dengan ramalan joyoboyo). Berikut isinya:
…; mumpuni sakabehing laku; nugel
tanah Jawa kaping pindho; ngerahake jin setan; kumara prewangan, para lelembut
ke bawah perintah saeko proyo kinen ambantu manungso Jawa padha asesanti
trisula weda; landhepe triniji suci; bener, jejeg, jujur; kadherekake
Sabdopalon lan Noyogenggong.
Artinya : …..; menguasai seluruh ajaran
(ngelmu); memotong tanah Jawa kedua kali; mengerahkan jin dan setan; seluruh
makhluk halus berada di bawah perintahnya bersatu padu membantu manusia Jawa
berpedoman pada trisula weda; tajamnya tri tunggal nan suci; benar, lurus,
jujur; didampingi Sabdopalon dan Noyogenggong.
nglurug tanpa bala; yen menang tan
ngasorake liyan; para kawula padha suka-suka; marga adiling pangeran wus teka;
ratune nyembah kawula; angagem trisula wedha; para pandhita hiya padha muja;
hiya iku momongane kaki Sabdopalon; sing wis adu wirang nanging kondhang;
genaha kacetha kanthi njingglang; nora ana wong ngresula kurang; hiya iku
tandane kalabendu wis minger; centi wektu jejering kalamukti; andayani indering
jagad raya; padha asung bhekti.
Artinya : menyerang tanpa pasukan; bila
menang tak menghina yang lain; rakyat bersuka ria; karena keadilan Yang Kuasa
telah tiba; raja menyembah rakyat; bersenjatakan trisula wedha; para pendeta
juga pada memuja; itulah asuhannya Sabdopalon; yang sudah menanggung malu
tetapi termasyhur; segalanya tampak terang benderang; tak ada yang mengeluh
kekurangan; itulah tanda zaman kalabendu telah usai; berganti zaman penuh
kemuliaan; memperkokoh tatanan jagad raya; semuanya menaruh rasa hormat yang
tinggi.
Mitologi
Sabda Palon Titisan Shang Hyang Bhatara Ismaya:
Mitologi ini sebenarnya memiliki
makna bahwa para penguasa yang diasuh (dimong) Sabda Palon itu merupakan
penguasa yang memiliki “kedaulatan spiritual”, yaitu penguasa yang Agung
Binathara. Penguasa yang dipatuhi oleh seluruh rakyatnya dan disegani oleh
penguasa-penguasa negara lain.
Cerita yang banyak diyakini oleh
para ahli kebatinan, tugas Sabda Palon terakhir adalah ngemong Prabu Brawijaya
di Majapahit. Sabda Palon memilih berpisah dengan momongannya, karena Prabu
Brawijaya pindah agama, dari Agama Siwa-Buddha (campuran Jawa-Hindu-Buddha)
menjadi Islam yang datang dari Arab.
Dengan begitu, Prabu Brawijaya
dianggap telah kehilangan kedaulatan spiritual-nya. Sabda Palon memilih
mengundurkan diri dari kedudukannya sebagai pamong raja kemudian bertapa tidur
di pusat kawah Gunung Merapi selama 500 tahun.
Selama Sabda Palon bertapa itu, tanah
Jawa tidak akan memiliki kedaulatan lagi, serta tidak dihormati oleh
bangsa-bangsa lain. Terbukti, bahwa sejak jaman Demak hingga Mataram Islam,
para Sultan-nya perlu memohon legitimasi kekuasaannya kepada ulama Mekah,
sedang para Sultan dari wilayah Sumatera dan Banten serta banyak lagi dari
Indonesia Timur, memohon legitimasinya dari Daulah Ottoman Turki.
Kesultanan Aceh, sebelum perang
melawan Belanda, sebenarnya adalah salah satu wilayah Kesultanan Turki itu.
Setelah itu Jawa dan Nusantara dijajah Belanda, Inggris dan Jepang.
Meskipun dapat dikaji seperti itu,
tetapi sebaiknya cerita mitologi Jawa tentang Sabda Palon itu jangan diartikan
sebagai penolakan Jawa terhadap Islam. Karena tidak ada ceritanya peradaban dan
kebudayaan Jawa itu menolak masuknya paham agama macam apa pun. Malah Jawa
biasanya dapat mendukung sehingga agama-agama yang masuk itu mencapai
keemasannya di tanah Jawa.
Tutunan Jawa tentang penyembahan
pribadi kepada Yang Maha Kuasa dibebaskan, terserah kepada pilihan
masing-masing. Mau menyembah dengan cara agama apa saja tidak akan pernah
disalahkan. Pokoknya, paham dasar yang harus dilaksanakan setiap manusia adalah
ketika hidup bermasyarakat bergaul dengan sesama makhluk Tuhan Yang Maha Agung,
jenis apa pun.
Kewajibannya, setiap orang
diharuskan ikut memperindah keindahan jagad dengan cara memelihara dan
melestarikan keselarasan (keharmonisan) antar sesama makhluk, dan mejauhkan
diri dari perselisihan.
Cerita Sabda Palon itu apa bila
benar-benar di dalami sungguh-sungguh, malah jelas menggambarkan kesalahan
Prabu Brawijaya dalam mengelola kedaulatan yang digenggamnya. Sebab Prabu
Brawijaya yang kaya-raya dan berkedudukan sebagai maharaja (diugung raja brana
lan kuwasa) lupa melaksanakan amanah kedaulatannya dengan benar.
Ceritanya, Prabu Brawijaya terakhir
memiliki selir yang banyak sekali, maka anaknya juga sangat banyak. Semua
anak-anak itu lalu diberi “kedudukan” mengurus pemerintahan negara Majapahit.
Oleh sebab itu, raja Majapahit lalu
hilang kewibawaannya. Negara besar itu menjadi ringkih. Akhirnya ketika para
Bupati Pesisir membantu Demak berperang dengan Majapahit, rakyat Majapahit
tidak mau membela atau tidak ikut mempertahankannya.
Sabda Palon, sebenarnya merupakan
simbul atau personifikasi kesetiaan rakyat kepada rajanya, kepada pemimpin
negaranya atau kepada pemerintahnya. Sabda Palon memilih pisah dari Prabu
Brawijaya, berarti rakyat sudah kehilangan kesetiaannya kepada raja Majapahit
itu. Istilahnya terjadi pembangkangan publik terhadap kepemimpinan Brawijaya,
tidak mau membela kerajaan ketika berperang melawan Demak dan Bupati-bupati
Pesisir.
Cerita itu disamarkan dengan
pernyataan, bahwa Sabda Palon akan bertapa tidur selama 500 tahun. Cerita itu
juga memuat pengertian, bahwa 500 tahun setelah runtuhnya Majapahit, rakyat
Jawa (Nusantara) akan tumbuh kembali kesadarannya sebagai bangsa terjajah dan
akan memiliki kesetiaan kembali kepada pemimpin bangsanya. Munculnya rasa
kebangsaan dan kesetiaan terhadap tanah air itu digambarkan tidak dapat
dibendung seperti meletusnya Gunung Merapi.
Ramalan
Sabda Palon Yang Sudah Diterjemahkan dari Bahasa Jawa Kuno Ke Bahasa Indonesia:
1. Ingatlah kepada kisah lama yang
ditulis di dalam buku babad tentang negara Mojopahit. Waktu itu Sang Prabu
Brawijaya mengadakan pertemuan dengan Sunan Kalijaga didampingi oleh
Punakawannya yang bernama Sabda Palon Naya Genggong.
2. Prabu Brawijaya berkata lemah
lembut kepada punakawannya: “Sabda-Palon sekarang saya sudah menjadi Islam.
Bagaimanakah kamu? Lebih baik ikut Islam sekali, sebuah agama suci dan baik.”
3. Sabda Palon menjawab kasar:
“Hamba tak mau masuk Islam Sang Prabu, sebab saya ini raja serta pembesar Dah
Hyang se tanah Jawa. Saya ini yang membantu anak cucu serta para raja di tanah
jawa. Sudah digaris kita harus berpisah.
4. Berpisah dengan Sang Prabu
kembali ke asal mula saya. Namun Sang Prabu kami mohon dicatat. Kelak setelah
500 tahun saya akan mengganti agama Buda lagi, saya sebar seluruh tanah Jawa.
Kira-kira dari bait dibawah inilah,
kejadian meletusnya gunung merapi yang sebelumnya di sebutkan sebagai tempat
bertapanya Sabda Palon di sangkut pautkan…
5. Bila ada yang tidak mau memakai,
akan saya hancurkan. Menjadi makanan jin setan dan lain-lainnya. Belum legalah
hati saya bila belu saya hancur leburkan. Saya akan membuat tanda akan
datangnya kata-kata saya ini. Bila kelak Gunung Merapi meletus dan memuntahkan
laharnya.
6. Lahar tersebut mengalir ke barat
daya. Baunya tidak sedap. Itulah pertanda kalau saya datang. Sudah mulai
menyebarkan agama Buda. Kelak Merapi akan bergelegar. Itu sudah menjadi takdir
Hyang Widi bahwa segalanya harus bergantian. Tidak dapat bila diubah lagi.
7. Kelak waktunya paling sengsara di
tanah Jawa ini pada tahun: Lawon Sapta Ngesthi Aji. Umpama seorang menyeberang
sungai sudah datang di tengah-tengah. Tiba-tiba sungainya banjir besar,
dalamnya menghanyutkan manusia sehingga banyak yang meninggal dunia.
8. Bahaya yang mendatangi tersebar
seluruh tanah Jawa. Itu sudah kehendak Tuhan tidak mungkin disingkiri lagi.
Sebab dunia ini ada ditanganNya. Hal tersebut sebagai bukti bahwa sebenarnya
dunia ini ada yang membuatnya.
9. Bermacam-macam bahaya yang
membuat tanah Jawa rusak. Orang yang bekerja hasilnya tidak mencukupi. Para
priyayi banyak yang susah hatinya. Saudagar selalu menderita rugi. Orang
bekerja hasilnya tidak seberapa. Orang tanipun demikian juga. Penghasilannya
banyak yang hilang di hutan.
10. Bumi sudah berkurang hasilnya.
Banyak hama yang menyerang. Kayupun banyak yang hilang dicuri. Timbullah
kerusakan hebat sebab orang berebutan. Benar-benar rusak moral manusia. Bila
hujan gerimis banyak maling tapi siang hari banyak begal.
11. Manusia bingung dengan
sendirinya sebab rebutan mencari makan. Mereka tidak mengingat aturan negara
sebab tidak tahan menahan keroncongannya perut. Hal tersebut berjalan disusul
datangnya musibah pagebluk yang luar biasa. Penyakit tersebar merata di tanah
Jawa. Bagaikan pagi sakit sorenya telah meninggal dunia.
12. Bahaya penyakit luar biasa. Di
sana-sini banyak orang mati. Hujan tidak tepat waktunya. Angin besar menerjang
sehingga pohon-pohon roboh semuanya. Sungai meluap banjir sehingga bila dilihat
persis lautan pasang.
13. Seperti lautan meluap airnya
naik ke daratan. Merusakkan kanan kiri. Kayu-kayu banyak yang hanyut. Yang hidup
di pinggir sungai terbawa sampai ke laut. Batu-batu besarpun terhanyut dengan
gemuruh suaranya.
14. Gunung-gunung besar bergelegar
menakutkan. Lahar meluap ke kanan serta ke kiri sehingga menghancurkan desa dan
hutan. Manusia banyak yang meninggal sedangkan kerbau dan sapi habis sama
sekali. Hancur lebur tidak ada yang tertinggal sedikitpun.
15. Gempa bumi tujuh kali sehari,
sehingga membuat susahnya manusia. Tanahpun menganga. Muncullah brekasakan yang
menyeret manusia ke dalam tanah. Manusia-manusia mengaduh di sana-sini, banyak
yang sakit. Penyakitpun rupa-rupa. Banyak yang tidak dapat sembuh. Kebanyakan
mereka meninggal dunia.
16. Demikianlah kata-kata Sabda
Palon yang segea menghilang sebentar tidak tampak lagi diriya. Kembali ke
alamnya. Prabu Brawijaya tertegun sejenak. Sama sekali tidak dapat berbicara.
Hatinya kecewa sekali dan merasa salah. Namun bagaimana lagi, segala itu sudah
menjadi kodrat yang tidak mungkin diubahnya lagi.
Ramalan ini bukan hal yang baru lagi
namun masih menyisakan tanya dan rasa penasaran. Mari kita renungkan sesaat
tentang kejadian meletusnya Gunung Merapi pada tahun 2006, dimana untuk pertama
kalinya ditetapkan tingkat statusnya menjadi yang tertinggi: “Awas Merapi”.
Saat kejadian itu lahar merapi
keluar bergerak ke arah “Barat Daya”. Pada hari itu tanggal 13 Mei 2006 adalah
malam bulan purnama bertepatan dengan Hari Raya Waisyak (Budha) dan Hari Raya
Kuningan (Hindu). Secara hakekat nama “Sabdo Palon Noyo Genggong” adalah simbol
dua satuan yang menyatu, yaitu : Hindu – Budha (Syiwa Budha).
Di dalam Islam dua satuan ini
dilambangkan dengan dua kalimat Syahadat. Apabila angka tanggal, bulan dan
tahun dijumlahkan, maka : 1 + 3 + 5 + 2 + 6 = 17 ( 1 + 7 = 8 ). Angka 17 kita
kenal merupakan angka keramat. 17 merupakan jumlah raka’at sholat lima waktu di
dalam syari’at Islam. 17 juga merupakan lambang hakekat dari “bumi sap pitu”
dan “langit sap pitu” yang berasal dari Yang Satu, Allah SWT.
Sedangkan angka 8 merupakan lambang
delapan penjuru mata angin. Di Bali hal ini dilambangkan dengan apa yang kita
kenal dengan “Sad Kahyangan Jagad”. Artinya dalam kejadian ini delapan kekuatan
dewa-dewa menyatu, menyambut dan menghantarkan Sang Hyang Ismoyo (Sabdo Palon)
untuk turun ke bumi.
Di dalam kawruh Jawa, Sang Hyang
Ismoyo adalah sosok dewa yang dihormati oleh seluruh dewa-dewa. Dan gunung
Merapi di sini melambangkan hakekat tempat atau sarana turunnya dewa ke bumi
(menitis).