Gunung Kawi termasuk
lokasi pesugihan paling populer di Indonesia dan Asia Tenggara. Meskipun belum
ada data valid seputar orang yang berhasil kaya setelah melakukan ritual
pesugihan di sana ataupun orang yang gagal menjadi kaya setelah ritual.Persoalan
lainnya adalah ada orang-orang yang bertindak seolah-olah membantu melancarkan
urusan Anda di Gunung Kawi, tetapi malah berakibat menguras uang Anda.
Khususnya terkait biaya selametan, ubo rampe dan sebagainya.
Dalam hal ini,
dibutuhkan kehati-hatian untuk mereka yang datang dengan tujuan ritual. Jika
Anda berkunjung sebagai seorang wisatawan yang hendak menikmati keindahan
panorama Gunung Kawi, tentu tidak menjadi masalah.
Di sisi lain, daun
dewandaru yang menjadi harapan diri ingin kaya, juga sering menjadi permainan
orang tertentu. Daun itu sengaja dilemparkan orang hingga menjadi rebutan. Jadi
bukan daun yang jatuh dari pohon. Informasi ini saya dapatkan dari orang yang
pernah berziarah ke Gunung Kawi.
Sesuatu yang mungkin
sudah difahami bagi orang yang berziarah ke Gunung Kawi adalah adanya sebuah
Padepokan yang menjadi rumah tinggal Eyang Jugo semasa hidupnya. Padepokan itu
terletak di desa Jugo, Kesamben, Blitar.
Ada banyak orang yang
mengetahui Padepokan Eyang Jugo ini, namun tidak banyak peziarah yang
mengunjunginya.
Dengan kata lain, para
peziarah Gunung Kawi, khususnya yang bertujuan mencari pesugihan, tidak serta
merta mengunjungi padepokan ini di Blitar. Melainkan langsung menuju makam
keramat Eyang Jugo di Gunung Kawi, Malang.
Inilah yang kemudian
menjadi problematika tersendiri bagi peziarah yang datang langsung ke Gunung
Kawi tanpa menyempatkan diri mengunjungi Padepokan Eyang Jugo.
Sementara itu, bagi
para peziarah yang pernah datang ke Padepokan Eyang Jugo justru mengaku merasa
lebih mantap saat berziarah ke Gunung Kawi. Terutama menyangkut tata cara dan
prasyarat ritual yang harus dipenuhi.
Betapa tidak, ada
banyak cerita seputar peziarah yang kehabisan bekal hingga tidak dapat pulang
ke daerahnya masing-masing. Hal ini tentu sangat menyedihkan. Semua itu terjadi
disebabkan orang tersebut tidak mengetahui banyaknya calo yang menjerat dirinya
dengan biaya selametan yang besar dan tidak masuk akal.
Bahkan yang lebih
menyedihkan adalah upaya orang-orang tertentu yang dengan sengaja mengambil
keuntungan dengan cara yang tidak wajar.
Ambil contoh, adanya
prasyarat hewan kambing kendit (hitam) yang di tumbalkan secara hidup-hidup.
Maksudnya, seorang peziarah Gunung Kawi yang ingin mengikuti ritual pesugihan
diharuskan membeli seekor kambing kendit untuk kemudian dilepas dalam keadaan
hidup ke arah hutan.
Pada kenyataannya,
kambing kendit tersebut disemir cat warna hitam lalu dilepas ke hutan. Jadi
bukan asli kambing berwarna hitam. Ketika kambing itu dilepas ke hutan, tentu
tidak berapa lama kemudian akan kembali ke kandangnya atau diambil kembali oleh
pemilik kambing tersebut.
Harga hewan tersebut
ada yang mencapai puluhan juta rupiah per ekornya. Di atas harga pasaran yang
umum berlaku.
Daun
Dewandaru
Menjadi kaya berarti
harus kejatuhan daun dewandaru. Jika tidak kejatuhan daun dewandaru, maka Anda
tidak akan pernah menjadi kaya. Inilah salah satu mitos penting di Gunung Kawi.
Daun dewandaru berasal
dari pohon dewandaru. Di Gunung Kawi, daun ini menjadi harapan seseorang yang
ingin kaya. Dikisahkan, apabila seseorang tirakat di bawah pohon dewandaru dan
kejatuhan daun dewandaru, maka dapat dipastikan dirinya akan kaya raya. Inilah
mitos yang sudah berurat akar bagi para peziarah dengan tujuan pesugihan.
Akan tetapi, tidak
semua orang kejatuhan daun dewandaru tersebut. Padahal mereka sudah berharap
penuh kejatuhan daun tersebut. Uniknya, ada orang-orang tertentu yang dengan
sengaja melemparkan daun tersebut hingga menjadi rebutan. Seolah-olah daun itu
jatuh dengan sendirinya.
Meskipun demikian,
saya pun mendapat cerita menarik seputar daun dewandaru ini. Seorang kerabat
saya bercerita seputar keunikan kisah daun dewandaru ini.
“Saya mendapat cerita
ini dari ayah saya. Kisah tentang daun dewandaru yang membuat seorang perempuan
menjadi kaya raya,” kata Dipo.
Dipo menceritakan
bahwa saat Ayahnya berusia remaja (sekitar akhir tahun 1960-an), memiliki
seorang teman sekolah yang ekonominya tergolong kaya. Keakraban Sang Ayah
dengan temannya itu (sebut saja: Sugih) membuatnya sering bermain ke rumah
Sugih.
Orang tua Sugih
terbilang kaya pada masanya. Selain memiliki areal persawahan yang luas,
penggilingan padi dan kendaraan lebih dari satu. Padahal, pada masa itu
masyarakat sedang berada dalam tingkat ekonomi yang memprihatinkan.
Suatu ketika, Sang
Ayah berkunjung ke rumah Sugih dan bermain seperti biasanya. Ketika itu,
orangtua Sugih berada di rumah dan sedang berbincang dengan kerabat-kerabatnya.
“Saat itu, ayah saya
mendengar ibunda Sugih berbicara tentang daun dewandaru. Inilah yang membuat
ayah saya tertarik dan ikut mendengarkan semua cerita ibunda Sugih,” kata Dipo.
Dikisahkan, ibunda
Sugih hidup dalam kondisi ekonomi yang pas-pasan. Suaminya hanya petani biasa,
sama seperti masyarakat lain di desanya. Karena itulah, perempuan ini pun pergi
ke Gunung Kawi untuk mengadu peruntungan. Dia ingin mengikuti ritual pesugihan
semata-mata demi meningkatkan ekonomi keluarganya.
Tentu saja niat
mengubah nasib patut dipuji dan dihargai. Sebagaimana terjadi pada masa
sekarang, ada banyak isteri yang mengadu nasib ke negeri orang menjadi Buruh
Migran Indonesia (BMI).
Ibunda Sugih pun pergi
ke Malang dan melakukan ritual di Gunung Kawi. Bagian penting dari ritual itu
adalah tirakat di bawah pohon dewandaru. Ibunda Sugih tidak sendirian berada di
bawah pohon itu. Ada banyak peziarah yang juga melakukan hal yang sama. Mereka
bersama-sama duduk di bawah pohon sambil menunggu jatuhnya daun dewandaru.
Entah doa apa yang
dibaca Ibunda Sugih di bawah pohon keramat itu. Tiba-tiba saja, dia merasa ada selembar
daun dewandaru yang jatuh ke pundaknya. Tetapi, pada saat yang bersamaan,
sejumlah orang yang berada di dekatnya pun melihat daun dewandaru itu jatuh di
pundak Ibunda Sugih.
Mereka pun berteriak,”
Daun dewandaru jatuh, daun dewandaru jatuh!”
Tentu saja mereka
mendekati Ibunda Sugih dan berupaya merebut daun dewandaru itu. Beberapa orang,
kebanyakan kaum pria, menggeledah pakaian Ibunda Sugih untuk mendapatkannya.
Ibunda Sugih hanya
bisa menangis pilu saat pria-pria rakus itu meraba tubuhnya, membuka BH secara
kasar, mengangkat gaun pakaiannya. Bahkan membuka celana dalamnya hingga nyaris
telanjang bulat, seolah hendak diperkosa. Memeriksa dengan teliti dimana daun
dewandaru itu berada.
Tetapi upaya pria-pria
rakus itu gagal mendapatkan daun dewandaru di tubuh Ibunda Sugih. Mereka pun
mencari-cari di tanah di tempat Ibunda Sugih duduk tirakat.
Selanjutnya, Ibunda
Sugih pulang ke rumahnya di Blitar sambil menangis tersedu-sedu sepanjang
jalan. Dia tidak menyangka dirinya akan mendapat perlakuan tidak senonoh dari
para peziarah lain yang juga sama-sama ingin menjadi kaya. Betapa beratnya
dirinya menerima perlakuan semacam ini.
Lantas dimana daun
dewandaru itu?
Inilah yang tidak
diketahui para pria rakus itu. Setiba di rumah, Ibunda Sugih masuk ke dalam kamar
dan membuka celana dalamnya. Lalu dia mengambil daun dewandaru itu dari dalam
vaginanya.
Rupanya, sesaat
setelah daun dewandaru itu jatuh menimpa pundaknya, seketika Ibunda Sugih
mengambil daun dewandaru itu dan memasukkannya ke dalam liang vaginanya.
Itulah sebabnya tidak
seorang pun para pria rakus itu menyadarinya. Padahal, para pria jahanam itu
sudah berhasil menelanjanginya.
Dipo melanjutkan
cerita bahwa Ayahnya yang masih remaja itu mendengar langsung cerita Ibunda
Sugih seputar daun dewandaru yang membuatnya menjadi orang kaya raya pada
masanya.
Ketika itu, Sang Ayah
pun mulai tertarik dengan kisah hidup keluarga kaya itu. Sang Ayah tidak
tertarik dengan cerita pesugihannya, melainkan dampak yang terjadi
setelah kaya raya.
“Ayah saya mengatakan
bahwa keluarga Ibunda Sugih sering mendapat musibah,” kata Dipo.
“Ada diantara anaknya
yang meninggal kecelakaan, ada juga yang gila. Bahkan yang menyedihkan, ekonomi
keluarga kaya itu pun hancur lebur,” lanjut Dipo.
Dipo mengungkapkan,
keluarga Ibunda Sugih memang hidup dalam kekayaan. Tetapi jika dihitung hanya
sekitar 10 hingga 15 tahun saja hidup dalam kekayaan. Setelah itu yang terjadi
hanya cerita duka yang berujung hidup dalam kemiskinan.
Dua diantara anak
Ibunda Sugih meninggal dalam kecelakaan. Bahkan sahabat Ayahnya yang biasa
mengajaknya bermain ke rumahnya itu menjadi gila.
“Mungkin ini yang
disebut karma buruk kekayaan Gunung Kawi,” kilah Dipo.
Kisah yang diceritakan
Dipo Ningrat ini sangat menarik bagi saya. Betapa tidak, nama Gunung Kawi yang
sangat populer itu juga diakui oleh salah satu konglomerat di negeri ini.
Sebagaimana tertulis
dalam sebuah situs, pengusaha Ong Hok Liong mencatat keberhasilannya dalam
arsip di Museum Sejarah Bentoel di Malang, Jawa Timur.
Singkat cerita, usaha
rokok Ong Hok Liong sedang terpuruk. Beliau pun melakukan tirakat di Gunung
Kawi. Pada suatu malam, dirinya bermimpi melihat bentul (talas).
Dia lalu bertanya
kepada juru kunci makam yang lalu menganjurkan agar merek rokoknya diberi nama
Bentoel (ejaan lama).Sejak itulah, usaha Ong meningkat drastis hingga
menempatkannya menjadi konglomerat negeri ini.
Ini adalah cerita umum
yang mungkin masyarakat sudah mengetahuinya. Cerita ini pula yang semakin
menjadi daya tarik Pesugihan Gunung Kawi. Apalagi tercatat nama konglomerat
lain yang juga ritual di gunung ini, seperti Lim Sioe Liong (Sudono Salim)
pemilik Bank BCA.
Namun demikian, jika
kita mau jujur. Sesungguhnya kekayaan mereka tidak lama. Kini kita tahu bahwa
saham Bentoel tidak lagi dimiliki keluarga Ong. Begitupula saham BCA tidak
dimiliki keluarga Lim.
Dengan kata lain,
mereka tidak lagi memiliki perusahaan yang dibangunnya dari hasil pesugihan
itu. Bisnis Ong Hok Liong dan Lim Sioe Liong sudah hancur. Meskipun generasi
berikutnya dari keluarga itu tidak miskin dalam arti yang riil, tetapi tetaplah
bahwa nama besar kedua orang itu telah jatuh pada titik terendah.
Sebagaimana Lim Sioe
Liong yang jatuh bisnisnya disaat mereka masih hidup. Bahkan Lim Sioe Liong
menetap di Singapura sekadar menghindari hutang trilyunan rupiah. (Ingat resesi
ekonomi pada akhir 1997 yang membuat banyak konglomerat negeri ini berguguran
dan terlibat hutang. Justru Negara yang harus menanggung hutang itu).
Ini adalah bukti
nyata, bahwa pesugihan, apapun bentuknya, tetap tidak berkah dan membawa karma
buruk.
Kembali ke awal
tulisan. Kunjungan saya bersama Dipo Ningrat dan Uda ke Padepokan Eyang Jugo
disambut hangat juru kunci bernama Suharto. Beliau adalah pewaris penerus juru
kunci makam sebelumnya.
Secara halus, Suharto
menolak berbicara tentang pesugihan yang dikaitkan dengan nama Eyang Jugo.
Dalam pandangan Suharto, sosok Eyang Jugo adalah seorang ksatria, relijius dan
bertakwa kepada Tuhan.
Hal itu bukan sesuatu
yang aneh. Sebab Eyang Jugo adalah salah satu diantara para panglima perang
pasukan Pangeran Diponegoro. Tentunya kita sudah mengetahui tingkat spiritualitas
Pangeran Diponegoro
Ketika Pangeran
Diponegoro terdesak hingga akhirnya ditangkap, beberapa panglimanya ini
melarikan diri ke berbagai daerah, termasuk Eyang Jugo.
Eyang Jugo menetap di
Kesamben Blitar dengan menyamarkan identitasnya agar tidak terlacak intelijen
Belanda.
Masyarakat desa dimana
dia tinggal memanggilnya dengan sebutan Kaki Tua. Sosok ini dikenal sebagai
seorang yang memiliki kemampuan spiritual tinggi hingga cukup disegani. Beliau
dikenal sebagi orang suci, berbudi luhur, sering membantu orang dan welas asih dengan
sesamanya.
Hingga suatu ketika,
datanglah dua orang pejabat tinggi Kerajaan Mataram ke desa tersebut. Mereka
hendak mencari Panembahan Jugo. Tentu saja tidak seorang pun masyarakat yang
mengenalnya.
Tetapi anehnya, ketika
kedua orang itu hendak pergi meninggalkan desa tersebut, tiba-tiba saja
dikejutkan dengan suara beraneka ragam binatang. Hewan peliharaan masyarakat,
seperti ayam, kambing, sapi, kerbau, bebek di desa itu mengeluarkan suara
membuat bising telinga. Masyarakat desa heran.
Kedua orang pejabat
tinggi itu pun menghentikan langkahnya. Keduanya lalu membalikkan tubuhnya
menghadap arah desa tadi.
Seketika keduanya
bersimpuh di tanah, seolah sedang menghormat seseorang. Saat itulah masyarakat
mengetahui bahwa sosok Kaki Tua yang tinggal di desa itu adalah Panembahan
Jugo.
“Eyang Jugo itu orang
bijak, suka menolong dan membantu sesama,” kata Suharto seraya tersenyum.
“Kebaikannya inilah
yang kemudian diasumsikan bahwa dia dapat mendatangkan kekayaan. Padahal itu
sesuatu yang tidak mungkin,” lanjutnya.
Suharto mengaku sedih
jika nama Eyang Jugo selalu dikaitkan dengan Pesugihan Gunung Kawi. Memang
benar, Eyang Jugo dimakamkan di Gunung Kawi. Tetapi itu tidak lantas dirinya
memberi kekayaan bagi para peziarah yang datang ke makamnya.
“Jika Anda ingin
mengetahui secara lengkap tentang siapa sesungguhnya Eyang Jugo,silahkan datang
ke padepokan ini. Saya siap menjelaskannya secara lebih jernih kepada
pengunjung,” katanya lagi.
Suharto mengisahkan
bahwa pada awalnya makam Eyang Jugo di Gunung Kawi tidak dikenal sebagai tempat
pesugihan hingga datangnya sosok pria dari daratan Cina bernama Tamyang.
Suharto mengaku
mengenal Tamyang. Tentu saja saat dirinya masih kecil. Tamyang ini biasa datang
ke padepokan Eyang Jugo menemui ayahnya yang saat itu menjadi juru kunci.
Dikisahkan, Eyang Jugo
pernah melakukan perjalanan ke daratan Cina. Suatu ketika, dia bertemu dengan
seorang perempuan hamil yang kehilangan suaminya. Lalu Eyang Jugo membantu
ekonomi janda yang hidup dalam kemiskinan ini.
Tentu saja perempuan
ini sangat senang dan berterima kasih dengan bantuan Eyang Jugo. Sesuatu yang
sudah menjadi tabiat Eyang Jugo dalam membantu sesama.
Ketika Eyang Jugo
hendak kembali ke Pulau Jawa, dia berpesan kepada janda itu agar jika anaknya
sudah besar kelak disuruh datang ke Gunung Kawi di Pulau Jawa. Anak dari janda
miskin inilah yang diberi nama: Tamyang.
Pada era tahun
40-an, datanglah Tamyang ke Gunung Kawi. Tentu saja dia hanya melihat makam
Eyang Jugo, sebab Eyang Jugo sudah wafat beberapa tahun sebelumnya.
Tamyang ingin membalas
jasa Eyang Jugo yang telah berbuat baik kepada ibunya di daratan Cina. Itulah
sebabnya, dia merawat makam itu dengan baik.
Pria Cina yang biasa
berpakaian hitam-hitam mirip pendekar silat ini merawat makam Eyang Jugo dan
membangun tempat berdoa dengan gaya Cina.
Sejak itulah, peziarah
semakin ramai mengunjungi Gunung Kawi. Tetapi anehnya dengan tujuan mencari
pesugihan dan bukan belajar bagaimana menjadi orang bijak seperti Eyang Jugo.