
dikenal dengan nama Tirtamaya.
Perpaduan yang kontras
inilah yang juga menautkan dua hamba Tuhan berlainan alam menjalin kisah kasih
asmara. Itu terjadi berabad lampau. Disinilah cikal bakal Mataram, Danang
Sutowijoyo Mas Bei Loring Pasar alias Panembahan Senopati. Di tempat inilah
sang Raja Agung setalah menjalani khalwat panjang bertemu dengan ratu siluman
yang kasmaran padanya. Dialah Ratu Laut Kidul. Mereka akhirnya dimabuk asmara.
Sungguh sebuah pertautan yang kini menjadi simbol kekuasaan di Tanah Jawa.
Peninggalan yang
terdiri dari petilasan berupa batu-batu raksasa bagaikan kuil-kuil alam. Mereka
seakan menjadi saksi bisu yang hingga sekarang masih mekar berdiri. Beberapa
tempat dikeramatkan, bahkan masih disakralkan keberadaannya, sehingga orang
harus mau menuruti sejumlah aturan gaib bila berada di tempat ini.
Dengan ditemani oleh seorang spiritualis, yakni Ki Cokro ST, kami sengaja ingin mencoba menelusuri tempat yang konon dianggap angker ini.
Ketika kami akan
memasuki wilayah kekuasaan Ratu Laut Kidul ini, sudah sangat terasa semerbak
aroma kehidupan gain seakan menjemput pengunjung yang akan bertamu. Batu-batu
raksasa, bagaikan kuil-kuil alam yang berserakan di sepanjang Sungai Wiroko.
Berabad silam,
disungai ini telah terjadi peristiwa-peristiwa luar biasa yang sulit diterima
akan sehat dati tokoh-tokoh besar masa lalu, yang menjadikan tempat ini untuk
menggembleng dirinya menjadi manusia pinilih. Dari tempat inilah telah lahir
raja-raja besar Tanah Jawa yang namanya sampai sekarang masih menebarkan aroma
mewangi.
Saking keramatnya
kawasan ini sehingga di depan gapura sudah tertulis jelas seperti aturan baku
bagi pengunjung untuk tidak melanggarnya, yang ditulis tebal. Diantaranya,
tidak mengenakan pakaian hijau, mengail ikan di sungai khayangan, merusak isi
peninggalan tempat ini, dan melakukan corat-coret. Ketika hal ini saya tanyakan
pada salah satu kuncennya, ternyata sudah berulang kali pengunjung yang datang
memakai pakaian hijau pasti kesurupan.
Lantas, mengapa
mengail ikan di sungai juga dilarang?
Menurut kepercayaan
yang berkembang, sungai ini adalah jalan raya menju ke Istana laut Kidul. Dan
ikan-ikan yang ada di sungai ini adalah maujudnya prajurit-prajurit Ratu Kidul.
Dan bagi siapa saja yang mengambil, itu berarti sudah siap menanggung resiko untuk
celaka.
Selanjutnya, saat
menyusuri jalan-jalan setapak menuju tempat keramat ini, peninggalan pertama
yang kami temui berupa batu besar yang membentuk goa. Tempat ini dinamakan Selo
Bethek., peziarah yang akan bertamu harus caos sesaji terlebih dahulu di tempat
ini. menurut aturan spiritual.
Dinamakan Selo Bethek,
konon dahulu tempat ini digunakan oleh Kyai Puju, penguasa wilayah setempat
untuk mengumpulkan bethek sebagai pagar dan kayu bakar. Kyai Apuju adalah orang
yang dimurkai oleh Panembahan Senopati, karena telah dianggap lancang, berani
mengintip dirinya saat berolah asmara dengan Ratu Kidul.
Setalah Panembahan
Senopati menjadi raja Mataram, Kyai Puju dijatuhi hukuman mati dan arwahnya
akhirnya menjadi pedhanyangan tempat Selo Bethek ini, sebagai penyesalan atas
kelancangannya.
Dalam alam spiritual,
tempat ini sebagai tempat melaporkan diri para tamu yang akan berkunjung ke
Dlepih, baik itu tamu manusia maupun tamu bangsa siluman. Dalam pandangan
batin, visualisasi Kyai Puju, lelaki paruh baya, mengenakan pakaian coklat
lurik, seperti kebanyakan wong karang pradesan zaman dahulu. Dia tersenyum dan
seakan mempersilahkan kami melanjutkan perjalanan.
Kurang lebih 15 meter
dari Selo Bethek, terdapat dua buah batu yang saling berhimpitan. Tempat ini
dikenal dengan nama Selo matangkep. Peziarah harus melewati lorong celah di
kedua batu raksasa ini.
Dalam pandangan batin,
tempat ini merupakan pintu gerbang menuju Dhayangan Dlepih. Gapura besar sangat
megah, seperti lawang gapit terpampang jelas. Dalam penglihatan gaib, nampak
satu barisan prajurit jaga siap berdiri, meyeleksi pengunjung yang
diperkenankan masuk. Tampang mereka ini sangar-sangar.
Saat kami akan masuk,
disambut oleh tamtama prajurit. Dua lelaki muda dan tampan mengenakan pakaian
hijau gadung mlati, dengan ikat kepala dableng. Dia begitu santun dan murah
senyum, seakan-akan sudah begitu kenal dengan kami. Mereka ini mengaku KI
Widaninggar dan Widaningrat. Merekalah yang dipercaya menjaga keamanan pintu
masuk tempat ini.

Menurut legenda, di
sinilah Panembahan Senopati dan Ratu Kidul berbulan madu. Mereka memadu kasih
dengan nafsu birahi yang membara. Setelah berolah lelah asmara mereka berdua
mandi di Kedung Nganten ini, sambil menggosok tubuhnya.
Kotoran tubuh
Panembahan Senopati yang lama bertapa begitu banyak. Ratu Kidul dengan sabar
membersihkannya. Kotoran yang jatuh ke sungai itu bukannya larut terbawa air,
tapi keajaiban alam terjadi. Konon, kotoran tubuh Panembahan Senopati yang
orang Jawa bilang bolot menjadi batu hitam yang banyak berceceran di sungai
Khayangan ini.
Memang tak gampang menemukan Watu Bolot. Katanya hanya orang-orang kepareng (berjodoh) saja yang dapat membawanya pulang. Dalam bahasa visualisasi penampakan, Sendang Nganten ini dijaga seekor ikan mas. Bila maujud ia berupa wanita muda yang cantik. Menurut pengakuannya, ia bernama Mas Nganten Widianingrum. Dan tuah air sendang ini menurut penjelasan Mas Nganten adalh melanggengkan pasangan dan daya tarik seksual antar pasangan. Sehingga sangat baik tuahnya untuk pasangan suami istri yang hubungannya renggang.
Saya justru lebih
tertarik untuk mencari Watu Bolot yang ada di sendang Nganten ini. dibantu
kolega yang menemani saya, saya mengaduk-aduk Kedung Nganten, namun tak
menemukan satupun batu yang dimaksud. Mungkin erasa kasihan dan ada kesungguhan
saya ada seorang bapak-bapak yang memanggil saya dan memberi bongkahan batu
kecil hitam. Yang dikatakan Watu Bolot.

Dari pertemuan ini akhirnya Panembahan
Senopati mendapat dukungan penuh Ratu Kidul, membantu melawan Pajang. Ia
akhirnya menjadi raja Mataram I yang bergelar Panembahan Senopati Ing Alogo
Sayidin Panotogomo Khalifatullah Ngabdul Rahman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar