Candi Sukuh terletak di lereng Gunung Lawu, tepatnya di Desa Berjo, Kecamatan Ngargoyoso,
kabupaten Karanganyar , Jawa Tengah. Candi Sukuh dilaporkan pertama kali
ditemukan oleh Residen Surakarta, Johnson, 1815, dalam keadaan runtuh. Penemuan
di masa kekuasaan Inggris itu, di masa Gubernur Jenderal Thomas Stanford
Raffles, yang juga menyusun bahan-bahan untuk buku The History of Java. Nah,
pada kesempatan kali ini saya akan bagikan kunjungan saya ke candi yang
dibangun pada periode akhir kerajaan Majapahit tersebut.
Banyak hal yang
dikaitkan pada candi ini, diantaranya , yakni tentang mitos untuk mengetes
keperawanan, sebagian juga ada yang mengatakan bahwa candi ini adalah candi
porno. Dan yang tak kalah menghebohkan juga, candi sukuh ini dikaitkan dengan
pendatang asing yang bernama alien itu, mitos ini bisa jadi karena bentuk candi
sukuh ini mirip piramida Mesir atau di Amerika Selamatan, hingga peradabatan
Sumeria.
Jika kita kebetulan
berkunjung kesana, hal – hal diatas dapat kita maklumi. Tidak sedikit wujud
menyimpang dari arsitektur Hindu seperti candi-candi lain di Jawa Tengah.
Bentuk-bentuknya aneh dan asing, seperti manusia bersayap dan makhluk berkepala
besar.
Hingga kini, misteri
tersebut belum terjawab tuntas secara ilmiah. Dari sini masuklah sejumlah
spekulasi, bahkan kisah-kisah fiksi. Jika kita membuka situs video YouTube,
misalnya ada sejumlah tayangan yang mengulas Sukuh sebagai bagian peradaban
kuno yang memiliki ''guru'' yang sama: aliens.
Spekulasi ini
kebanyakan berdasarkan pada sebuah patung manusia berkepala burung yang
mengenakan heml. Ada pendapat yang mengatakan patung tersebut dibelakangnya ada
baling – balingnya. Tapi kita rasa tidak mungkin kebudayaan dibangun dengan
makna yang dangkal, termasuk Candi Sukuh. Sejarah juga tidak mencatat semua
perkembangan pemikiran dan kebudayaan manusia. Bisa saja ada pertemuan atau
peniruan antar-kebudayan yang tidak dicatat dalam sejarah.
Tanpa desas-desus
tentang aliens pun, sejatinya kompleks Candi Sukuh sudah menarik. Keistimewaan
telah tampak dari gapura paduraksa yang menjadi pintu ke teras pertama dari
tiga tingkat kompleks Sukuh. Sepintas bentuk gapura ini mirip pylon, gapura
piramida Mesir. Namun keunikannya tidak cuma itu: setiap sisi gapura dihiasi
dengan relief dan patung dari pelbagai wujud.
Bagian atas pintu
gapura terdapat kepala kala berjanggut panjang yang tidak ditemui di candi
Hindu lain. Kanan dan kiri dari sisi depan dan belakang gapura dihiasi relief
sosok raksasa. Penggambarannya berbeda namun aksinya sama: memangsa.
Di sebelah kiri ada
gapura buta aban wong atau gapura raksasa memakan manusia. Sisi kanannya, si
raksasa menggigit ekor ular --"Gapura Buta Anahut Buntut". Persis di
sisi sebaliknya juga ada relief dengan laku sejenis. Relief itu merupakan
candra sengkala, yakni sistem penanda tahun Saka yang menggunakan kata dan
gambar sebagai simbol angka. Meski beda gambar, semua relief punya makna
sengkala sama. Tiap kata dari kalimat itu secara berturut-turut mewakili angka
9,5,3 dan 1. Sesuai dengan aturan candra sengkala yang menyusun angka dari
belakang, maka terbaca angka tahun 1359 Saka atau 1437 Masehi. Tahun ini
menandai selesainya pembangunan gapura.
Sisi samping gapura
juga dihiasi patung unik. Satu makhluk dengan kedua sayap terbentang. Kakinya
mencengkeram ular berkepala ganda. Sayangnya, kepala makhluk yang menghadap ke
depan terpenggal dan hilang. Ornamen Arca ini terbilang detail. Garis-garis
gurat sayap dan sisik leher jelas terlihat. Namun, relief di lantai gapura
menjadi puncak keunikan gapura ini: relief bermotif lingga dan yoni. Wujudnya
digambarkan dengan jelas sebagai pertemuan penis dan vagina di dalam untaian
menyerupai rantai.
Menariknya, relief
lingga yoni di lantai gapura juga menunjukkan candra sengkala serupa. Bunyinya,
"Wiwara Winirasa Anahut Jalu''. Artinya, lubang rasa (kenikmatan) yang
menelan penis.
Di gapura utama
berkembang mitos: perempuan dapat diketahui status keperawanannya dari melewati
gapura ini. Jika lewat dan gaunnya robek, perempuan itu diyakini sudah tidak
gadis. Tangga dan pintu gapura lebarnya kurang dari satu meter. Kini pintu
dipasangi kusen kayu dan digembok. Ini untuk menghindari praktik dari
kepercayaan akan mitos uji keperawanan perempuan di pintu gapura.
Selepas gapura, di
sisi kanan teras pertama, terdapat beberapa batu persegi sisa bangunan yang
tidak diketahui. Tiga di antaranya memuat relief: manusia yang menunggang kuda,
gambar kerbau, dan manusia yang menaiki gajah dan diiringi babi hutan.
Sebuah gapura dengan
enam anak tangga menjadi pintu ke teras kedua. Beda dengan gapura utama, gapura
ini tanpa atap sehingga mirip gerbang bentar seperti ditemui di candi-candi di
Jawa Timur. Kedua sisi di pintu gapura juga pendek sehingga gapura ini terkesan
tidak utuh. Hanya berupa susunan batu persegi, tanpa ornamen dan relief. Jalan
di tengah dua gapura tambah sempit, sekira 75-80 sentimeter, daripada jalan di
gapura pertama.
Kondisi gapura menuju
teras ketiga, yakni bagian utama,tidak jauh beda. Di teras kedua ini, di ujung
kanan, dipasang susunan batu yang memuat relief tiga sosok. Antara lain relief
yang dipercaya sebagai Bima dengan dengan latar belakang aneka senjata, gajah
yang menggigit ekor hewan, dan seorang pandai besi. Relief ini pernah
dipamerkan di Amerika Serikat dan Belanda, 1991.
Tingkat-tingkat pada
Candi Sukuh melambangkan perjalanan hidup manusia. Teras pertama menggambarkan
dunia bawah. Kehidupan dunia yang serba sulit karena melekatnya nafsu dan dosa
pada diri manusia. Ini digambarkan dengan sejumlah patung dan relief raksasa
yang sedang memangsa.
Relief alat kelamin di
pintu masuk juga langsung memberikan kesan Candi Sukuh sebagai situs dengan
unsur seksualitas. Namun dalam adat Jawa, lingga dan yoni melambangkan
kesuburan sekaligus mengingatkan asal usul manusia sebagai bagian
kesadaran sangkan paraning dumadi —asal dan tujuan kehidupan.
Di masa dahulu ini tidak tabu, seperti nama dan panggilan orang Jawa yang
merujuk organ kelamin.
Selain itu, lingga dan
yoni tersebut dikaitkan pula dengan ritus suwuk. Ini metode pengusiran roh
jahat yang melibatkan alat kelamin manusia. Dalam kepercayaan sebagian
masyakarat Jawa, roh jahat bisa mengganggu manusia. Bentuknya, muncul peristiwa
di luar nalar.
Gangguan roh jahat
juga dialami bayi. Ia bisa menangis tak keruan tanpa sebab. Untuk itu, biasanya
sang ibu melakukan suwuk, yakni mengusap wajah si bayi dengan tangan yang
sebelumnya diusapkan di vagina. Adapun sang bapak memutari rumah dalam kondisi
telanjang.
Seperti yang sudah
saya narasikan di atas, gapura utama ini juga berkembang mitos: perempuan dapat
diketahui status keperawanannya kalau melewati gapura ini. Apabila lewat dan
gaunnya robek, perempuan itu dipastikan sudah tidak gadis. Sayangnya, sekarang
gerbang tersebut dikunci untuk menghindari praktek yang sarat mitos itu.
Alasan utamanya mitos
tersebut keliru. Sebenernya, mitos itu berkaitan dengan ungkapan dalam tradisi
Jawa ''kendo kembene'' atau lepas kembennya; mengacu pada busana perempuan Jawa
zaman itu. Istilah ini untuk menunjukkan status perempuan yang sudah tidak
lajang.
Tingkat kedua mewakili
tahap semi sakral. Manusia disadarkan untuk menghilangkan kesulitan hidup dengan
menggelar ritual pensucian diri. Makna ini dihadirkan dengan ketiga relief
tersebut. Dalam epos Mahabharata, ada lakon Bima Suci, yang menceritakan Bima
diperintahkan untuk mencari air suci.
Adapun dalam
kepercayaan Jawa Kuno, pandai besi atau empu punya kemampuan magis untuk
memberkati orang biasa. Penyucian itu dapat dilakukan dengan pengetahuan
yang dilambangkan Ganesha, dewa ilmu pengetahuan. Relief ini sekaligus candra
sengkala "Gajah Wiku Anahut Buntut'' atau tahun 1378 Saka (1456 Masehi).
Tingkat ketiga menjadi
bagian utama Candi Sukuh. Wilayah ini dianggap paling suci karena dipercaya
sebagai gambaran akhir perjalanan manusia mencapai swargaloka. Tingkat ini pula
yang paling banyak memajang artefak.
Bangunan utama jelas
adalah candi ''piramida''. Ini karena bentuk dasarnya simetris 15 x 15 meter
dan mengerucut ke atas. Kalau saya tak salah hitung panjang itu setara dengan
45 batu persegi yang menyusun sisi terluar-paling bawah dan terus ditumpuk ke
atas. Dengan begitu, keempat sudutnya sebetulnya bertemu di satu titik puncak
sehingga mirip piramida.
Namun bagian atas
candi datar sehingga sepintas menyerupai piramida terpotong. Di tengah candi
terdapat anak tangga dengan lorong sempit menuju bagian atas tersebut. Di sini
dijumpai yoni dan sisa-sisa umpak batu, serta bagian depan memiliki ornamen
mirip ular.
Dengan kondisi itu,
peneliti menduga, bagian atas candi digunakan untuk ritual. Saat ini pun
sejumlah ritual masih digelar. Ini terlihat dengan adanya sisa-sisa bunga dan
dupa di cerukan yoni. Asumsinya, tidak mungkin ritual di zaman itu tanpa
bangunan sebagai pelindung atau atap. Bangunan itu diduga berbahan kayu dan
diletakkan di umpak batu yang kini tersisa.
Menurut pemandunya, di
sisi atas candi yang menghadap ke barat ini juga ditemukan lingga. Namun demi
alasan keamanan, lingga tersebut dipindahkan di Museum Nasional, Jakarta
—tahunnya ia lupa. Candi utama ''dijaga'' tiga kura-kura raksasa. Punggung
patung kura-kura ini pipih dan datar karena digunakan sebagai altar. Di depan kura-kura
terdapat candi perwara dengan liang kecil, tempat sebuah arca tanpa kepala.
Dahulu, ini tempat abu Kiai Sukuh alias Kipacitra, leluhur desa. Sisa-sisa
bunga dan sesajen masih tampak di liang ini.
Ketiga bentuk bangunan
(candi utama, perwara, dan kura-kura) kembali diidentikkan dengan tiga tingkat
dunia. Namun tafsir berikutnya mengaitkan ketiga bangunan itu dengan legenda
Samudramanthana.
Ini kisah tentang
pengadukan lautan oleh para dewa (dilambangkan lingga di candi utama) di
sekitar Gunung Mandara (disimbolkan dengan perwara) untuk menemukan tirta
amarta atau air kehidupan. Untuk menjaga agar gunung tidak ikut tenggelam, Dewa
Wisnu menjelma menjadi kura-kura Apuka seperti arca kura-kura di sekitar candi.
Ketiga bangunan ini
diapit dua panggung batu. Masing-masing memuat relief dengan makna cerita yang
tidak berhubungan. Panggung sisi kiri setidaknya memuat lima relief dan patung.
Di sudut kiri depan, terdapat tonggak batu setinggi satu meter yang memuat
sosok bersayap dan berparuh dengan dua perempuan —dari ciri rambut dan bentuk
badannya.
Ketiganya ditafsirkan
sebagai Garuda, ibunya Winata, dan Dewi Kadru. Dalam legenda, Winata menjadi
budak dari Kadru karena kalah bertaruh tentang warna ekor kuda Uchaiswara,
salah satu hewan yang keluar selama proses Samudramanthana.
Padahal, Kadru menang
karena curang. Kadru, ibu para naga, meminta anak-anaknya agar menyemburkan
bisa, sehingga warna ekor kuda menjadi hitam sesuai dengan taruhannya. Atas
nahas itu, Garuda meruwat ibunya dengan memohon tirta amarta kepada para dewa.
Untuk mendapatkan
tirta amarta, Garuda harus menempuh ujian dengan menumpas angkara murka. Ihwal
ini digambarkan dengan relief di sisi kanan depan. Garuda, dengan ilustrasi
lumayan detail dari sayap, kepala, ekor, hingga kaki yang memiliki taji
mencengkeram gajah dan kura-kura.
Relief pada bagian
dinding yang tidak utuh dibaca sebagai petilan epos Ramayana. Fragmen kisah
mana tidak jelas. Rujukan pada Ramayana, kata pemandunya, ditunjukkan oleh
salah satu sosok pada relief yang mirip Anoman.
Bagian relief paling
menarik dari panggung ini ada di relief di tugu batu setinggi tiga meter.
ilustrasi paling mencolok adalah bentuk cembung dengan ujung sedikit terbuka
dan menyerupai tapal kuda yang ditafsirkan sebagai rahim. Di dalamnya ada dua
sosok berhadapan: satu gagah besar, satu lagi lebih kecil dengan wujud kaya
ornamen.
Mereka Bima dan Dewa
Ruci dari lakon Bima Suci. Lakon ini berkisah tentang pencarian air suci yang
bermuara pada penemuan jatidiri sekaligus Ilahi. Di bawahnya, di ''mulut rahim'',
ada relief-relief lain: sebuah rumah dengan sosok manusia membawa manusia yang
lebih kecil, serta dua wujud manusia sedang tarik menarik sesuatu.
Ukuran kepala
manusia-manusia itu tidak proporsional, lebih besar daripada tubuhnya. Ini
adalah penggambaran riwayat manusia yang dilahirkan, diasuh ibunya, lalu
menjadi rebutan antara sisi baik dan buruk dari sifat manusia.
Di atas ''rahim'',
juga masih ada sejumlah relief. Antara lain lima wujud manusia, pohon, seekor
burung yang berhadapan dengan berbagai senjata, serta sebuah rumah. Konon,
inilah Garuda yang berhasil membawa tirta amarta ke rumah para dewa.
Panggung batu sisi
kanan memiliki tugu batu menyerupai obelisk. Ada relief wujud manusia
mengenakan mahkota dan menggenggam trisula ganda. Di sekitar platform ini,
berbatasan dengan perwara dan arca kura-kura, ada satu arca yang sering jadi
rujukan bahwa Sukuh adalah candi erotis bahkan porno.
Patung ini berwujud
manusia tanpa kepala yang menggenggam penis dengan ukuran besar, tidak sesuai
dengan proporsi tubuhnya. Arca ini bisa dianggap sebagai Dwarapala. Secara
etimologis, ''dwara'' berarti lubang dan ''pala'' adalah pemukul atau gada
sebagai kiasan dari alat kelamin pria. Dwarapala bisa dimaknai sebagai penutup
lubang atau penjaga.
Beberapa dwarapala
''biasa'' -sosok raksasa menyangga gada-- berdiri di pelataran candi utama.
Kondisinya sudah aus. Ciri khas Dwarapala Sukuh polos tanpa ornamen dan
aksesoris. Tubuh raksasa dan senjata gada tidak dihias dengan ukiran seperti
lazimnya Dwarapala di candi lain. Ia hanya setinggi perut orang dewasa.
Di pelataran candi
juga berdiri dua patung yang sungguh menarik perhatian. Bukan hanya karena
tinggi dan besar tubuhnya melampaui manusia. Melainkan lantaran keduanya adalah
Garuda, makhluk setengah manusia separuh burung, yang sedang mengangkat tangan
dengan sayap terkembang. Keduanya sama-sama kehilangan kepala. Masing-masing
menunjukkanangka tahun 1363 dan 1364 Saka (1441-1442 Masehi).
Perbedaannya terlihat
pada kaki: jika satu Garuda berkaki manusia, lainnya berkaki burung; lengkap
dengan cakar dan tajinya. Di belakang salah satu patung tertulis prasasti.
Isinya, antara lain tentang seorang raja yang gugur mempertahankan kerajaan
dalam sebuah pertempuran. Juga kalimat tentang seorang anak yang terlambat
membantu ayahnya dalam perang itu.
Jauh di samping kiri
pelataran candi utama berjajar aneka pahatan batu. Antara lain arca satwa
gajah, babi hutan, dan hewan yang tidak jelas bentuknya. Susunan relief
selanjutnya memuat kisah utama candi Sukuh. Gambaran ilustrasinya menyerupai
wayang beber. Satu bagian memaparkan satu babak kisah. Terdiri atas lima panel,
setiap panel relief menceritakan satu episode tersendiri.
Relief-relief ini
berpusat pada saga Sudamala alias Sadewa, bungsu dari lima bersaudara Pandawa,
sesuai dengan kitab Kidung Sudamala. Secara etimologis, ''suda'' berarti
berkurang dan ''mala'' memiliki padanan kata dengan segala hal buruk seperti
dosa, kutukan, atau bencana.
Panel relief pertama
menunjukkan tiga orang yang bersimpuh pada satu sosok yang berdiri dengan latar
belakang sebuah pohon. Diyakini, ia Sadewa dan pengiringnya yang menghadap Dewi
Durga. Bagian kedua terdapat satu sosok siap menebaskan pedangnya ke arah
manusia yang terikat pada pohon.
Durga minta Sadewa
untuk meruwat dirinya agar beralih rupa ke wujud semula danbisa kembali ke
kahyangan. Ketika Sadewa menolak, Durga mengikat dan mengancamnya dengan
pedang. Relief yang menggambarkan potongan tubuh seperti kepala dan tangan
menunjukkan lokasi Setra Gandamayit, tempat pembuangan para dewa yang melanggar
aturan.
Dalam Kidung Sudamala,
seperti diceritakan Sarjono, Durga dikutuk jadi raksasa oleh suaminya, yakni
Batara Guru, dan dibuang karena berselingkuh. Ia selingkuh bukan tanpa sebab:
ketika Batara Guru sakit dan Durga harus mencari obat, pemilik obat itu ialah
seorang penggembala yang mau memberikan obat jika Durga setuju berhubungan
dengannya. ''Artinya dalam hidup selalu ada dilema dengan segala
konsekuensinya.
Relief ketiga dan
keempat menunjukkan lima wujud manusia dengan latar belakang istana dan
pepohonan. Gambaran itu ditafsirkan sebagai petualangan lain Sadewa
menyembuhkan pertapa buta, Tambapetra. Lantaran sukses, Sadewa dinikahkan
dengan putri pertapa, Ni Padapa.
Panel relief kelima
tidak berhubungan langsung dengan Sadewa. Tampak dua sosok berbadan besar
tengah berjibaku. Salah satunya adalah Bima, kakak Sadewa, tengah melawan
raksasa; mengangkatnya dengan tangan kiri dan siap menghunjamkan kuku Pancanaka.
Dari pemaknaan
berbagai patung dan relief, mulai Sudamala, Bima, hingga Garuda, Candi Sukuh
menjadi situs yang kaya akan falsafah tentang upaya manusia mensucikan diri
dengan menghilangkan hal-hal buruk. Dalam masyarakat Jawa, langkah ini dikenal
sebagai tradisi ruwatan. Dengan demikian, Candi Sukuh dipercaya sebagai situs
suci untuk peruwatan.
Untuk umat Hindu,
Candi Sukuh masih diifungsikan kala hari-hari raya seperti Nyepi, Galungan, dan
Saraswati. Sejumlah masyarakat Jawa juga menggelar ritual tiap malam Selasa
Kliwon dan Jumat Kliwon. Sisa-sisa ritual, berupa bunga dan dupa, masih bisa
ditemui di beberapa sudut Sukuh.
Sukuh disebut sebagai
candi pamungkas. Pendiriannya ketika Majapahit diperintah Suhita, 1429-1446
Masehi. Sukuh saksi terakhir kejayaan kerajaan Hindu terbesar ini karena
sesudah Sukuh tidak ditemukan lagi candi pada masa-masa jatuhnya Majapahit di
abad XV.
Pola kompleks Sukuh
''menyalahi'' gaya arsitektur Hindu sesuai buku Wastu Widya. Buku ini berisi
kaidah candi Hindu seperti tampak pada candi-candi di Jawa Tengah. Sesuai
literatur ini candi biasanya berbentuk bujur sangkar dengan pusat, sebagai
tempat paling suci, persis berada di tengah.
Sukuh berbeda karena
ia satu-satunya candi di Jawa dengan konsep punden berundak atau teras
bertingkat. Bangunannya juga terbagi dua oleh jalan setapak batu. Ciri-ciri
tersebut dimiliki bangunan suci masa megalitikum. Pengaruh budaya megalitikum
ditengarai muncul kembali lantaran budaya Hindu mulai surut.
Sukuh dilaporkan
pertama kali ditemukan oleh Residen Surakarta Johnson, 1815. Di masa kekuasaan
Inggris ini, Ia ditugaskan Gubernur Jenderal Thomas Stanford Raffles
mengumpulkan bahan untuk buku The History of Java.
Setelah kekuasaan
kembali ke Belanda, sejumlah arkeolog negara itu meneliti Sukuh. Antara lain,
Van der Vlis pada 1842, Hoepermen dan Verbeek (1889), Knebel (1910), dan W.F.
Stutterheim (1930). Peneliti yang disebut terakhir ini menaruh atensi pada
bentuk Candi Sukuh yang sederhana dan berbeda dari candi Hindu lain.
Menurut dia, ada tiga
alasan. Pertama, pemahat Sukuh kemungkinan bukan ahli dari istana, bahkan
mungkin bukan ''arsitek'' batu, melainkan tukang kayu. Kedua, candi dibuat
tergesa-gesa. Ketiga, surutnya kekuasaan Majapahit sehingga tidak memungkinkan
membangun candi besar dan megah.
Candi tidak didirikan
oleh kaum kerajaan, melainkan oleh para pelarian dari Majapahit yang
menghindari kejaran prajurit Demak. Mereka pun tinggal di wilayah pinggiran
kekuasaan Majapahit. Budaya Hindu mereka bertemu dan mengalami akulturasi denga
kepercayaan rakyat setempat; yang masih menyembah roh leluhur.
Ada satu pengertian
lain mengenai hipotesis itu. Sukuh berasal dari ungkapan Jawa ''kesusu waton
bakuh''. Artinya, tergesa-gesa asal kuat. Dari segi fisik bangunan memang kuat.
Tapi filosofinya dalam kondisi tergesa-gesa atau terjepit, manusia akan selalu
kembali pada Ilahi dan jatidirinya demi menguatkan jiwa.
Candi Sukuh pertama
kali direnovasi pertama pada 1917. Pemugaran besar-besaran terakhir pada 1982.
Beberapa bahan asli dari batu andesit— dari material Lawu yang dulu gunung
aktif --diperkuat dengan batu kali. Beberapa tahun lalu, gapura utama juga
sempat diperkuat dengan semen karena posisinya semakin miring.
Kompleks purbakala
seluas 5.500 meter persegi ini ditengarai masih berhubungan dengan situs lain
di sekitarnya. Misalnya dengan Candi Cetho dan situs Planggatan yang berjarak 2
kilometer dari Sukuh. Sayangnya, pemugaran Cetho pada 1970-an jauh berbeda dari
bentuk semula, sehingga sulit dilacak kaitannya. Sementara itu, Planggatan
belum intensif dieksplorasi. Tak jauh berselang, ditemukan arca berwujud
raksasa dan artefak batu masing-masing berjarak satu kilometer dan tiga
kilometer dari Sukuh.
Candi Sukuh berada di
lereng barat Gunung Lawu. Tepatnya di Desa Berjo, Kecamatan Ngargoyoso,
Karanganyar, Jawa Tengah. Berdiri di atas ngarai, 910 meter dari permukaan
laut, Sukuh ada di tengah permukiman warga, di antara hutan, sawah, dan ladang.
MNC
WORLD NEWS
Glimpse
From The Past – Indonesia’s Urban Legend
(Ki
Cokro ST)
https://www.youtube.com/watch?v=KhHB9mTGQ3E&feature=youtu.be