Jumat, 24 Februari 2017

Misteri Harimau Lodaya dan Keberadaan Pedang Langlang Jagad


Masyarakat Pasundan, selama ini mungkin banyak mendengar cerita tentang adanya harimau gaib yang diyakini sebagai wujud penjelmaan dari Prabu Siliwangi. Harimau gaib ini digambarkan sebagai hewan berbulu loreng, atau ada juga yang mengatakan berbulu putih dan disebut sebagai Lodaya.

Disamping harimau loreng dan Lodaya, yang diyakini sebagai jelmaan Prabu Siliwangi dan para pengikut setianya, sesungguhnya masih ada jenis harimau gaib lainnya, yakni harimau yang berbulu hitam pekat. Nah, jenis harimau hitam inilah yang mungkin masih kurang diketahui seperti apa asal-usulnya.

Meski terkesan musykil, namun bagi masyarakat Jawa Barat, khususnya yang tinggal di daerah pinggiran, masih meyakini kalau kesemua jenis harimau gaib tersebut hingga kini masih ada dan kerap menampakkan wujudnya di tempat-tempat tertentu. Fenomena itu utamanya kerap terjadi di sekitar Leuweung Sancang, Garut Selatan. Menurut cerita, di Leuweung Sancang inilah Prabu Siliwangi bersama para pengikut setianya memutuskan jalan gaib dengan cara ngahyang atau moksa.

Lantas, bagaimana asal-usul harimau hitam dari Pajajaran itu? 
Hasil dari jelajah dua bulan yang lalu ke belahan tatar sunda  dapat beberapa cerita menarik, salah satunya tentang harimau hitam ini. Sosok harimau hitam yang kini dijadikan lambang kesatuan kepolisian daerah di Jawa Barat ini tidak lain mulanya berasal dari salah seorang tokoh pengabdi setia di Pajajaran.

Syahdan, Saat Prabu Siliwangi berkuasa, sang tokoh mendapat kepercayaan jabatan sebagai pejabat tinggi keamanan, atau setara dengan Panglima Polri pada saat sekarang. Dialah petinggi polisi pertama yang sempat diangkat dilingkungan Kerajaan Pajajaran. Tokoh dimaksud tak lain adalah yang namanya populer dengan sebutan Eyang Langlangbuana. Dia pertama kali ditunjuk sebagai pengabdi polisi di lingkungan kerajaan, dan bersamanya sempat pula ditunjuk dua orang ajudannya, yaitu yang bernama Eyang Jagariksa dan Eyang Jagapirusa.

Disebutkan, ketiga tokoh inilah yang bertanggungjawab terhadap keamanan di lingkungan dalam kerajaan. Mereka juga memiliki pos pusat di Pakuan, juga sejumlah pos-pos jaga di kawasan Sukadana, Cibitu dan Cianjur.
Eyang Langlangbuana, atau yang dikenal pula sebagai Eyang Jagaraksa atau Jagasatru, menurut sejarah, sebenarnya bukanlah orang Pajajaran asli. Dia adalah pengembara yang berasal dari Kerajaan Bugis, Makasar. Kemudian dia menikah dengan wanita di Pajajaran.

Sebelum singgah di Pajajaran, Eyang Langlangbuana sempat pula mengembara ke belahan bumi lain. Seperti ke Tanah Arab yang lamanya 77 tahun, dan terakhir ke Tanah Jawa, atau dalam hal ini adalah Pajajaran.

Masih dalam cerita misteri,  Prabu Siliwangi dan segenap pengikut setianya akhirnya sepakat memilih jalan gaib untuk mati secara moksa. Sementara. saat mendapati tekanan berat dari pihak musuh, Eyang Langlangbuana memilih jalan akhirnya sendiri, yaitu meninggal secara wajar.

Berdasarkan data yang ada, makam Eyang Langlangbuana berada di kawasan Cibule, di kaki Gunung Pangrango, Cianjur. Sementara, berkaitan dengan cerita keleluhuran Eyang Langlang buana yang nama besarnya kini diabadikan sebagai simbol kesatuan kepolisian Jawa Barat, terungkap sebuah informasi kalau ternyata senjata pusakanya adalah sebilah pedang  yang panjangnya sekitar 80-100 centimeter. Pusaka ini sekarang berada di tangan seorang ahli waris yang asli Cirebon.

Karena bahannya yang bukan sembarangan, pusaka Eyang Langlang buana tersebut menyimpan tuah tertentu. Pedang tersebut berkhodam seekor harimau gaib berbulu hitam, jelmaan dari Eyang Langlangbuana. Dari fisik secara umum, pedang  tersebut merupakan perangkat beladiri yang sangat ringan untuk dimainkan. Menurut pengakuan beliau (sang ahli waris) pedang tersebut  merupakan warisan dari para leluhurnya yang notabene adalah trah bangsawan dari dinasti Cirebon yang memang dalam riwayat sejarahnya berkait erat dengan sejarah Pajajaran.



MNC WORLD NEWS
Glimpse From The Past – Indonesia’s Urban Legend
(Ki Cokro ST)

Gunung Semeru dan Misteri Gonjang Ganjing Pulau Jawa

Gunung Semeru
Gunung Mahameru (Semeru) di Lumajang, Jawa Timur dikenal sebagai gunung berapi tertinggi di pulau Jawa dengan puncaknya Mahameru, 3.676 mdpl. Sedangkan puncak Mahameru lebih dikenal para pendaki dan ahli gunung api dinamakan Joggring Saloko. Gunung Semeru memiliki keterikatan budaya spiritual Hindu.

Seperti legenda kabupaten Lumajang yang memiliki sebuah nama kuno ‘Lamajang’ berasal dari kata Luma artinya rumah dan Hyang artinya Dewa. Jadi Lamajang artinya rumahnya para Dewa. Lamajang secara resmi dikenal pada tahun 1255 masehi dengan adanya prasasti Mula Malurung dimana daerah ini menjadi daerah bawahan kerajaan Singosari dan diperintah oleh Adipati Nararya Kirana.

Mahameru sendiri menjadi sebuah benteng alam bagi Lamajang yang pada saat itu sebagai basis utama agama Hindu. Apalagi saat keruntuhan kerajaan Majapahit dan mulai berkembangnya kerajaan-kerajaan Islam. Membuat masyarakat Majapahit yang masih ingin mempertahankan Hindu lari menuju Lumajang, sebelum akhirnya menuju Bali maupun Nusa Tenggara.

Puncak Gunung Semeru
Hubungan Mahameru dengan perkembangan Hindu saat ini dibuktikan dengan adanya Pura Mandhara Giri Semeru Agung yang terletak di lereng gunung Semeru. Pura tersebut merupakan salah satu pura yang dianggap masyarakat Hindu Indonesia sebagai Pura yang keramat karena letaknya yang dekat dengan Gunung yang menurut legenda adalah Gunung paling tua. Tidak salah apabila sebuah sebutan Mahameru disematkan untuk gunung berapi ini.

Pandangan Hindu Siwaistis yang berpengaruh besar di Nusantara, termasuk Bali. Mereka percaya bahwa Dewa Siwa bersemayam di gunung tertinggi. Itu berarti di puncak gunung Mahameru (Himalaya) di India, atau pucak Gunung Semeru di Nusantara. Teks-teks Purana India yang tergolong kitab Upaweda, memang menyuratkan Tuhan Yang Mahatunggal bersemayam di puncak Mahameru dan dikenal pula dengan nama gunung Kailasa atau gunung Himawa, yang bersalju abadi. Di sanalah Syiwa menurunkan ajaran-ajaran-Nya kepada sakti-Nya, Dewi Parwati, Sang Dewi Gunung.

Kisah pandangan Hindu Siwaistis itu tampak sesuai dengan pandangan moyang Nusantara, tak terkecuali Bali. Dimana keduannya berorientasi akan kesucian sebuah gunung. Dalam tradisi asli Nusantara, yang oleh kalangan ahli arkeologi disebutkan terpengaruh budaya Austronesia dengan pusat di Yunan Selatan itu, gunung dipandang sebagai tempat bersemayam roh suci leluhur. Pandangan ini tampak sebagai kelanjutan tradisi sebelumnya yang mengenal sistem pekuburan berundak-undak, layaknya gunung. Belakangan, karena pengaruh Hindu, gunung pun dipandang sebagai tempat bersemayamnya para dewa.

Mengutip dari berbagai sumber, gunung Mahameru yang ditulis dalam kitab Kuna Tantu Pangelaran pada Abad 15 oleh masyarakat Jawa Kuno. Gunung Mahameru berasal gunung Meru di India yang dipindah oleh Dewa Wisnu yang menjelma sebagai kura-kura raksasa dengan cara digendong. Untuk menjaga gunung Meru tidak jatuh, Dewa Brahma menjelma sebagai ular panjang dan membelitnya.

Dipindahkanya gunung Meru, dikarenakan pulau Jawa mengambang di lautan luas, terombang-ambing dan senantiasa menguncang setiap pulau di muka Bumi. Demi memaku pulau pulau Jawa itu, Dewa Wisnu memindah gunung Meru tempat bersemayamannya para Dewa. Setelah menemukan pulau Jawa yang terombang-ambing, Dewa meletakkan gunung Meru di bagian barat, ternyata bagian timur pulau terangkat. Kemudian Wisnu dan Brahma memindah ke bagian arah timur pulau Jawa, tetapi serpihan gunung Meru yang tercecer menjadi jajaran pengunungan dari Barat ke Timur.

Asap Tebal di Puncak Semeru
Ketika Gunung Meru sudah ditaruh di bagian timur, pulau Jawa tetap saja miring. Sehingga para Dewa memutuskan memotong bagian gunung dan ditempatkan dibagian barat laut. Penggalan Meru sekarang menjadi Gunung Pwaitra dan lebih dikenal gunung Penanggungan. Bagian utama gunung Meru dijadikan bersemanyamnya Dewa Shiwa dan sekarang lebih dikenal dengan nama gunung Mahameru atau Semeru.

Ketika sang Hyang Siwa datang ke pulau Jawa dilihatnya banyak pohon Jawawut, sehingga pulau yang ditempatkan gunung Meru dinamakan pulau Jawa. Sementara itu, menurut cerita rakyat umat Hindu Tengger di Kecamatan Senduro, kenapa gunung Semeru diletakkan di pulau Jawa. Hal itu karena kondisi bumi saat itu sedang miring dan kerap terjadi bencana yang menimpa manusia.

https://www.youtube.com/watch?v=KhHB9mTGQ3E&feature=youtu.be
Penyebab bumi menjadi miring karena gunung Meru di India terlalu berat. Ada juga yang menganggap Gunung Meru itu adalah gunung tertinggi di dunia yakni Mount Everest. Dewa Siwa yang mengetahui bencana alam kerap menimpa umat manusia kemudian memenggal puncak gunung Meru yang dijadikan tempat bersemanyam para Dewa. Dengan menggunakan Trisulanya, puncak gunung Meru berhasil dipindah ke pulau Jawa.

Setelah dipindah Dewa Shiwa, posisi dunia normal kembali dan bencana alam tidak terjadi di mana-mana. Masyarakat Hindu Tengger di Senduro Lumajang dan Bali juga ada yang mempercayai kalau gunung Meru yang kini dikenal dengan gunung Mahameru atau Semeru tempat bersemanyamnya para dewa. Untuk menyembah pada dewa, umat Hindu Bali bersama Umat Hindu Tengger mendirikan tempat ibadah pura di Senduro dengan nama Pura Mandhara Giri Semeru Agung.

Dalam agama Hindu ada kepercayaan tentang gunung Meru. Gunung ini dianggap sebagai rumah para dewa-dewa dan sebagai sarana penghubung di antara bumi (manusia) dan kayangan. Kalau manusia ingin mendengar suara dewa mereka harus semedi di puncak gunung Meru. Banyak masyarakat Jawa dan Bali sampai sekarang masih menganggap gunung sebagai tempat kediaman Dewa-Dewa atau makhluk halus. Selanjutnya daerah bergunung-gunung masih dipakai manusia Jawa sebagai tempat semedi untuk mendengar suara gaib.

Menurut orang Bali, gunung Mahameru dipercayai sebagai bapaknya gunung Agung di Bali dan dihormati masyarakat Bali. Upacara sesaji kepada para dewa-dewa gunung Mahameru dilakukan orang Bali. Betapapun upacara tersebut hanya dilakukan setiap 8-12 tahun sekali hanya pada waktu orang menerima suara gaib dari dewa gunung Mahameru. Orang naik sampai puncak Mahameru ada yang bertujuan untuk mendengar suara-suara gaib. Selain itu juga ada yang memohon agar diberi umur yang panjang.
 
Bagaimana pun alasan orang naik ke puncak Mahameru, kebanyakan orang ditakutkan Mahkluk halus yang mendiami daerah keliling gunungnya. Roh halus tersebut biasanya adalah roh leluhur yang mendiami tempat seperti hutan, bukit, pohon serta danau. Roh leluhur biasanya bertujuan menjaga macam-macam tempat dan harus dihormati. Para pendaki yang menginap di danau Ranu Kumbolo sering melihat mahkluk halus penunggu Ranu Kumbolo.

Tengah malam ada cahaya berwarna oranje di tengah danaunya dan tiba-tiba berubah wujud menjadi sesosok hantu wanita. Biasanya hanya orang yang punya kekuatan mistis bisa melihat makhluk halus itu dan bicara dengannya. Terserah orang percaya pada makhluk halus atau tidak, tetapi banyak orang Jawa yang percaya bahwa daerah Semeru banyak didiami oleh makhluk ghaib. Bahkan ada pantangan bagi pendaki Semeru, tidak boleh berkata untuk menaklukkan puncak keabadian. Jika sampai melanggar bisa mengalami celaka seperti kesasar dan meninggal dunia jatuh ke jurang lereng Semeru.

Di Semeru ini juga ada urutan mitologi mengenai sumber-sumber mata air yang di anggap suci di Lumajang. Di mulai dari kisah patung Arcapada, dimana patung ini adalah patung sepasang laki-laki dan perempuan. Arcapada bisa diartikan sebagai Adam dan Hawa (dalam agama Islam maupun Kristen) dan sebagai Kamajaya dan Kamaratih (dalam kepercayaan orang Hindu).

Danau di Puncak Semeru


Di bawah Arcapada terdapat sumber air yang mirip dengan yang terdapat di Watu Klosot yang dinamai Sumber Mani. Bukan tanpa dasar mengapa sumber air ini dinamai Sumber Mani. Dalam kepercayaan Hindu, Kamajaya dan Kamaratih memulai kehidupan dari Sumber Mani untuk melanjutkan kehidupan generasi selanjutnya. Sesuai dengan namanya, Sumber Mani. Mani adalah Sperma dimana dialah awal mula adanya kehidupan. Oleh karena itu Sumber Mani adalah sumber air suci pertama yang letaknya paling tinggi, yang kemudian turun menjadi Ranu Kumbolo, Ranu Pani, Ranu Regulo, Watu Klosot dan terakhir di Selokambang.  




MNC WORLD NEWS
Glimpse From The Past – Indonesia’s Urban Legend

Kamis, 23 Februari 2017

Candi Sukuh, Antara Erotisme dan Kawruh Sangkan Paraning Dumadi

Candi Sukuh  terletak di lereng Gunung Lawu, tepatnya di Desa Berjo, Kecamatan Ngargoyoso, kabupaten Karanganyar , Jawa Tengah. Candi Sukuh dilaporkan pertama kali ditemukan oleh Residen Surakarta, Johnson, 1815, dalam keadaan runtuh. Penemuan di masa kekuasaan Inggris itu, di masa Gubernur Jenderal Thomas Stanford Raffles, yang juga menyusun bahan-bahan untuk buku The History of Java. Nah, pada kesempatan kali ini saya akan bagikan kunjungan saya ke candi yang dibangun pada periode akhir kerajaan Majapahit tersebut.

Banyak hal yang dikaitkan pada candi ini, diantaranya , yakni tentang mitos untuk mengetes keperawanan, sebagian juga ada yang mengatakan bahwa candi ini adalah candi porno. Dan yang tak kalah menghebohkan juga, candi sukuh ini dikaitkan dengan pendatang asing yang bernama alien itu, mitos ini bisa jadi karena bentuk candi sukuh ini mirip piramida Mesir atau di Amerika Selamatan, hingga peradabatan Sumeria.

Jika kita kebetulan berkunjung kesana, hal – hal diatas dapat kita maklumi. Tidak sedikit wujud menyimpang dari arsitektur Hindu seperti candi-candi lain di Jawa Tengah. Bentuk-bentuknya aneh dan asing, seperti manusia bersayap dan makhluk berkepala besar.  

Hingga kini, misteri tersebut belum terjawab tuntas secara ilmiah. Dari sini masuklah sejumlah spekulasi, bahkan kisah-kisah fiksi. Jika kita membuka situs video YouTube, misalnya ada sejumlah tayangan yang mengulas Sukuh sebagai bagian peradaban kuno yang memiliki ''guru'' yang sama: aliens.

Spekulasi ini kebanyakan berdasarkan pada sebuah patung manusia berkepala burung yang mengenakan heml. Ada pendapat yang mengatakan patung tersebut dibelakangnya ada baling – balingnya. Tapi kita rasa tidak mungkin kebudayaan dibangun dengan makna yang dangkal, termasuk Candi Sukuh. Sejarah juga tidak mencatat semua perkembangan pemikiran dan kebudayaan manusia. Bisa saja ada pertemuan atau peniruan antar-kebudayan yang tidak dicatat dalam sejarah.

Tanpa desas-desus tentang aliens pun, sejatinya kompleks Candi Sukuh sudah menarik. Keistimewaan telah tampak dari gapura paduraksa yang menjadi pintu ke teras pertama dari tiga tingkat kompleks Sukuh. Sepintas bentuk gapura ini mirip pylon, gapura piramida Mesir. Namun keunikannya tidak cuma itu: setiap sisi gapura dihiasi dengan relief dan patung dari pelbagai wujud.

Bagian atas pintu gapura terdapat kepala kala berjanggut panjang yang tidak ditemui di candi Hindu lain. Kanan dan kiri dari sisi depan dan belakang gapura dihiasi relief sosok raksasa. Penggambarannya berbeda namun aksinya sama: memangsa.

Di sebelah kiri ada gapura buta aban wong atau gapura raksasa memakan manusia. Sisi kanannya, si raksasa menggigit ekor ular --"Gapura Buta Anahut Buntut". Persis di sisi sebaliknya juga ada relief dengan laku sejenis. Relief itu merupakan candra sengkala, yakni sistem penanda tahun Saka yang menggunakan kata dan gambar sebagai simbol angka. Meski beda gambar, semua relief punya makna sengkala sama. Tiap kata dari kalimat itu secara berturut-turut mewakili angka 9,5,3 dan 1. Sesuai dengan aturan candra sengkala yang menyusun angka dari belakang, maka terbaca angka tahun 1359 Saka atau 1437 Masehi. Tahun ini menandai selesainya pembangunan gapura.

Sisi samping gapura juga dihiasi patung unik. Satu makhluk dengan kedua sayap terbentang. Kakinya mencengkeram ular berkepala ganda. Sayangnya, kepala makhluk yang menghadap ke depan terpenggal dan hilang. Ornamen Arca ini terbilang detail. Garis-garis gurat sayap dan sisik leher jelas terlihat. Namun, relief di lantai gapura menjadi puncak keunikan gapura ini: relief bermotif lingga dan yoni. Wujudnya digambarkan dengan jelas sebagai pertemuan penis dan vagina di dalam untaian menyerupai rantai.

Menariknya, relief lingga yoni di lantai gapura juga menunjukkan candra sengkala serupa. Bunyinya, "Wiwara Winirasa Anahut Jalu''. Artinya, lubang rasa (kenikmatan) yang menelan penis.

Di gapura utama berkembang mitos: perempuan dapat diketahui status keperawanannya dari melewati gapura ini. Jika lewat dan gaunnya robek, perempuan itu diyakini sudah tidak gadis. Tangga dan pintu gapura lebarnya kurang dari satu meter. Kini pintu dipasangi kusen kayu dan digembok. Ini untuk menghindari praktik dari kepercayaan akan mitos uji keperawanan perempuan di pintu gapura.

Selepas gapura, di sisi kanan teras pertama, terdapat beberapa batu persegi sisa bangunan yang tidak diketahui. Tiga di antaranya memuat relief: manusia yang menunggang kuda, gambar kerbau, dan manusia yang menaiki gajah dan diiringi babi hutan.

Sebuah gapura dengan enam anak tangga menjadi pintu ke teras kedua. Beda dengan gapura utama, gapura ini tanpa atap sehingga mirip gerbang bentar seperti ditemui di candi-candi di Jawa Timur. Kedua sisi di pintu gapura juga pendek sehingga gapura ini terkesan tidak utuh. Hanya berupa susunan batu persegi, tanpa ornamen dan relief. Jalan di tengah dua gapura tambah sempit, sekira 75-80 sentimeter, daripada jalan di gapura pertama.

Kondisi gapura menuju teras ketiga, yakni bagian utama,tidak jauh beda. Di teras kedua ini, di ujung kanan, dipasang susunan batu yang memuat relief tiga sosok. Antara lain relief yang dipercaya sebagai Bima dengan dengan latar belakang aneka senjata, gajah yang menggigit ekor hewan, dan seorang pandai besi. Relief ini pernah dipamerkan di Amerika Serikat dan Belanda, 1991.

Tingkat-tingkat pada Candi Sukuh melambangkan perjalanan hidup manusia. Teras pertama menggambarkan dunia bawah. Kehidupan dunia yang serba sulit karena melekatnya nafsu dan dosa pada diri manusia. Ini digambarkan dengan sejumlah patung dan relief raksasa yang sedang memangsa.

Relief alat kelamin di pintu masuk juga langsung memberikan kesan Candi Sukuh sebagai situs dengan unsur seksualitas. Namun dalam adat Jawa, lingga dan yoni melambangkan kesuburan sekaligus mengingatkan asal usul manusia sebagai bagian kesadaran sangkan paraning dumadi —asal dan tujuan kehidupan. Di masa dahulu ini tidak tabu, seperti nama dan panggilan orang Jawa yang merujuk organ kelamin.

Selain itu, lingga dan yoni tersebut dikaitkan pula dengan ritus suwuk. Ini metode pengusiran roh jahat yang melibatkan alat kelamin manusia. Dalam kepercayaan sebagian masyakarat Jawa, roh jahat bisa mengganggu manusia. Bentuknya, muncul peristiwa di luar nalar.

Gangguan roh jahat juga dialami bayi. Ia bisa menangis tak keruan tanpa sebab. Untuk itu, biasanya sang ibu melakukan suwuk, yakni mengusap wajah si bayi dengan tangan yang sebelumnya diusapkan di vagina. Adapun sang bapak memutari rumah dalam kondisi telanjang.

Seperti yang sudah saya narasikan di atas, gapura utama ini juga berkembang mitos: perempuan dapat diketahui status keperawanannya kalau melewati gapura ini. Apabila lewat dan gaunnya robek, perempuan itu dipastikan sudah tidak gadis. Sayangnya, sekarang gerbang tersebut dikunci untuk menghindari praktek yang sarat mitos itu.

Alasan utamanya mitos tersebut keliru. Sebenernya, mitos itu berkaitan dengan ungkapan dalam tradisi Jawa ''kendo kembene'' atau lepas kembennya; mengacu pada busana perempuan Jawa zaman itu. Istilah ini untuk menunjukkan status perempuan yang sudah tidak lajang.

Tingkat kedua mewakili tahap semi sakral. Manusia disadarkan untuk menghilangkan kesulitan hidup dengan menggelar ritual pensucian diri. Makna ini dihadirkan dengan ketiga relief tersebut. Dalam epos Mahabharata, ada lakon Bima Suci, yang menceritakan Bima diperintahkan untuk mencari air suci.

Adapun dalam kepercayaan Jawa Kuno, pandai besi atau empu punya kemampuan magis untuk memberkati orang biasa.  Penyucian itu dapat dilakukan dengan pengetahuan yang dilambangkan Ganesha, dewa ilmu pengetahuan. Relief ini sekaligus candra sengkala "Gajah Wiku Anahut Buntut'' atau tahun 1378 Saka (1456 Masehi).

Tingkat ketiga menjadi bagian utama Candi Sukuh. Wilayah ini dianggap paling suci karena dipercaya sebagai gambaran akhir perjalanan manusia mencapai swargaloka. Tingkat ini pula yang paling banyak memajang artefak.

Bangunan utama jelas adalah candi ''piramida''. Ini karena bentuk dasarnya simetris 15 x 15 meter dan mengerucut ke atas. Kalau saya tak salah hitung panjang itu setara dengan 45 batu persegi yang menyusun sisi terluar-paling bawah dan terus ditumpuk ke atas. Dengan begitu, keempat sudutnya sebetulnya bertemu di satu titik puncak sehingga mirip piramida.

Namun bagian atas candi datar sehingga sepintas menyerupai piramida terpotong. Di tengah candi terdapat anak tangga dengan lorong sempit menuju bagian atas tersebut. Di sini dijumpai yoni dan sisa-sisa umpak batu, serta bagian depan memiliki ornamen mirip ular.

Dengan kondisi itu, peneliti menduga, bagian atas candi digunakan untuk ritual. Saat ini pun sejumlah ritual masih digelar. Ini terlihat dengan adanya sisa-sisa bunga dan dupa di cerukan yoni. Asumsinya, tidak mungkin ritual di zaman itu tanpa bangunan sebagai pelindung atau atap. Bangunan itu diduga berbahan kayu dan diletakkan di umpak batu yang kini tersisa.

Menurut pemandunya, di sisi atas candi yang menghadap ke barat ini juga ditemukan lingga. Namun demi alasan keamanan, lingga tersebut dipindahkan di Museum Nasional, Jakarta —tahunnya ia lupa. Candi utama ''dijaga'' tiga kura-kura raksasa. Punggung patung kura-kura ini pipih dan datar karena digunakan sebagai altar. Di depan kura-kura terdapat candi perwara dengan liang kecil, tempat sebuah arca tanpa kepala. Dahulu, ini tempat abu Kiai Sukuh alias Kipacitra, leluhur desa. Sisa-sisa bunga dan sesajen masih tampak di liang ini.

Ketiga bentuk bangunan (candi utama, perwara, dan kura-kura) kembali diidentikkan dengan tiga tingkat dunia. Namun tafsir berikutnya mengaitkan ketiga bangunan itu dengan legenda Samudramanthana.

Ini kisah tentang pengadukan lautan oleh para dewa (dilambangkan lingga di candi utama) di sekitar Gunung Mandara (disimbolkan dengan perwara) untuk menemukan tirta amarta atau air kehidupan. Untuk menjaga agar gunung tidak ikut tenggelam, Dewa Wisnu menjelma menjadi kura-kura Apuka seperti arca kura-kura di sekitar candi.

Ketiga bangunan ini diapit dua panggung batu. Masing-masing memuat relief dengan makna cerita yang tidak berhubungan. Panggung sisi kiri setidaknya memuat lima relief dan patung. Di sudut kiri depan, terdapat tonggak batu setinggi satu meter yang memuat sosok bersayap dan berparuh dengan dua perempuan —dari ciri rambut dan bentuk badannya.

Ketiganya ditafsirkan sebagai Garuda, ibunya Winata, dan Dewi Kadru. Dalam legenda, Winata menjadi budak dari Kadru karena kalah bertaruh tentang warna ekor kuda Uchaiswara, salah satu hewan yang keluar selama proses Samudramanthana.

Padahal, Kadru menang karena curang. Kadru, ibu para naga, meminta anak-anaknya agar menyemburkan bisa, sehingga warna ekor kuda menjadi hitam sesuai dengan taruhannya. Atas nahas itu, Garuda meruwat ibunya dengan memohon tirta amarta kepada para dewa.

Untuk mendapatkan tirta amarta, Garuda harus menempuh ujian dengan menumpas angkara murka. Ihwal ini digambarkan dengan relief di sisi kanan depan. Garuda, dengan ilustrasi lumayan detail dari sayap, kepala, ekor, hingga kaki yang memiliki taji mencengkeram gajah dan kura-kura.

Relief pada bagian dinding yang tidak utuh dibaca sebagai petilan epos Ramayana. Fragmen kisah mana tidak jelas. Rujukan pada Ramayana, kata pemandunya, ditunjukkan oleh salah satu sosok pada relief yang mirip Anoman.

Bagian relief paling menarik dari panggung ini ada di relief di tugu batu setinggi tiga meter. ilustrasi paling mencolok adalah bentuk cembung dengan ujung sedikit terbuka dan menyerupai tapal kuda yang ditafsirkan sebagai rahim. Di dalamnya ada dua sosok berhadapan: satu gagah besar, satu lagi lebih kecil dengan wujud kaya ornamen.

Mereka Bima dan Dewa Ruci dari lakon Bima Suci. Lakon ini berkisah tentang pencarian air suci yang bermuara pada penemuan jatidiri sekaligus Ilahi. Di bawahnya, di ''mulut rahim'', ada relief-relief lain: sebuah rumah dengan sosok manusia membawa manusia yang lebih kecil, serta dua wujud manusia sedang tarik menarik sesuatu.

Ukuran kepala manusia-manusia itu tidak proporsional, lebih besar daripada tubuhnya. Ini adalah penggambaran  riwayat manusia yang dilahirkan, diasuh ibunya, lalu menjadi rebutan antara sisi baik dan buruk dari sifat manusia.

Di atas ''rahim'', juga masih ada sejumlah relief. Antara lain lima wujud manusia, pohon, seekor burung yang berhadapan dengan berbagai senjata, serta sebuah rumah. Konon, inilah Garuda yang berhasil membawa tirta amarta ke rumah para dewa.

Panggung batu sisi kanan memiliki tugu batu menyerupai obelisk. Ada relief wujud manusia mengenakan mahkota dan menggenggam trisula ganda. Di sekitar platform ini, berbatasan dengan perwara dan arca kura-kura, ada satu arca yang sering jadi rujukan bahwa Sukuh adalah candi erotis bahkan porno.

Patung ini berwujud manusia tanpa kepala yang menggenggam penis dengan ukuran besar, tidak sesuai dengan proporsi tubuhnya. Arca ini bisa dianggap sebagai Dwarapala. Secara etimologis, ''dwara'' berarti lubang dan ''pala'' adalah pemukul atau gada sebagai kiasan dari alat kelamin pria. Dwarapala bisa dimaknai sebagai penutup lubang atau penjaga.

Beberapa dwarapala ''biasa'' -sosok raksasa menyangga gada-- berdiri di pelataran candi utama. Kondisinya sudah aus. Ciri khas Dwarapala Sukuh polos tanpa ornamen dan aksesoris. Tubuh raksasa dan senjata gada tidak dihias dengan ukiran seperti lazimnya Dwarapala di candi lain. Ia hanya setinggi perut orang dewasa.

Di pelataran candi juga berdiri dua patung yang sungguh menarik perhatian. Bukan hanya karena tinggi dan besar tubuhnya melampaui manusia. Melainkan lantaran keduanya adalah Garuda, makhluk setengah manusia separuh burung, yang sedang mengangkat tangan dengan sayap terkembang. Keduanya sama-sama kehilangan kepala. Masing-masing menunjukkanangka tahun 1363 dan 1364 Saka (1441-1442 Masehi).

Perbedaannya terlihat pada kaki: jika satu Garuda berkaki manusia, lainnya berkaki burung; lengkap dengan cakar dan tajinya. Di belakang salah satu patung tertulis prasasti. Isinya, antara lain tentang seorang raja yang gugur mempertahankan kerajaan dalam sebuah pertempuran. Juga kalimat tentang seorang anak yang terlambat membantu ayahnya dalam perang itu.

Jauh di samping kiri pelataran candi utama berjajar aneka pahatan batu. Antara lain arca satwa gajah, babi hutan, dan hewan yang tidak jelas bentuknya. Susunan relief selanjutnya memuat kisah utama candi Sukuh. Gambaran ilustrasinya menyerupai wayang beber. Satu bagian memaparkan satu babak kisah. Terdiri atas lima panel, setiap panel relief menceritakan satu episode tersendiri.

Relief-relief ini berpusat pada saga Sudamala alias Sadewa, bungsu dari lima bersaudara Pandawa, sesuai dengan kitab Kidung Sudamala. Secara etimologis, ''suda'' berarti berkurang dan ''mala'' memiliki padanan kata dengan segala hal buruk seperti dosa, kutukan, atau bencana.

Panel relief pertama menunjukkan tiga orang yang bersimpuh pada satu sosok yang berdiri dengan latar belakang sebuah pohon. Diyakini, ia Sadewa dan pengiringnya yang menghadap Dewi Durga. Bagian kedua terdapat satu sosok siap menebaskan pedangnya ke arah manusia yang terikat pada pohon.

Durga minta Sadewa untuk meruwat dirinya agar beralih rupa ke wujud semula danbisa kembali ke kahyangan. Ketika Sadewa menolak, Durga mengikat dan mengancamnya dengan pedang. Relief yang menggambarkan potongan tubuh seperti kepala dan tangan menunjukkan lokasi Setra Gandamayit, tempat pembuangan para dewa yang melanggar aturan.

Dalam Kidung Sudamala, seperti diceritakan Sarjono, Durga dikutuk jadi raksasa oleh suaminya, yakni Batara Guru, dan dibuang karena berselingkuh. Ia selingkuh bukan tanpa sebab: ketika Batara Guru sakit dan Durga harus mencari obat, pemilik obat itu ialah seorang penggembala yang mau memberikan obat jika Durga setuju berhubungan dengannya. ''Artinya dalam hidup selalu ada dilema dengan segala konsekuensinya.

Relief ketiga dan keempat menunjukkan lima wujud manusia dengan latar belakang istana dan pepohonan. Gambaran itu ditafsirkan sebagai petualangan lain Sadewa menyembuhkan pertapa buta, Tambapetra. Lantaran sukses, Sadewa dinikahkan dengan putri pertapa, Ni Padapa.

Panel relief kelima tidak berhubungan langsung dengan Sadewa. Tampak dua sosok berbadan besar tengah berjibaku. Salah satunya adalah Bima, kakak Sadewa, tengah melawan raksasa; mengangkatnya dengan tangan kiri dan siap menghunjamkan kuku Pancanaka.

Dari pemaknaan berbagai patung dan relief, mulai Sudamala, Bima, hingga Garuda, Candi Sukuh menjadi situs yang kaya akan falsafah tentang upaya manusia mensucikan diri dengan menghilangkan hal-hal buruk. Dalam masyarakat Jawa, langkah ini dikenal sebagai tradisi ruwatan. Dengan demikian, Candi Sukuh dipercaya sebagai situs suci untuk peruwatan.

Untuk umat Hindu, Candi Sukuh masih diifungsikan kala hari-hari raya seperti Nyepi, Galungan, dan Saraswati. Sejumlah masyarakat Jawa juga menggelar ritual tiap malam Selasa Kliwon dan Jumat Kliwon. Sisa-sisa ritual, berupa bunga dan dupa, masih bisa ditemui di beberapa sudut Sukuh.

Sukuh disebut sebagai candi pamungkas. Pendiriannya ketika Majapahit diperintah Suhita, 1429-1446 Masehi. Sukuh saksi terakhir kejayaan kerajaan Hindu terbesar ini karena sesudah Sukuh tidak ditemukan lagi candi pada masa-masa jatuhnya Majapahit di abad XV.

Pola kompleks Sukuh ''menyalahi'' gaya arsitektur Hindu sesuai buku Wastu Widya. Buku ini berisi kaidah candi Hindu seperti tampak pada candi-candi di Jawa Tengah. Sesuai literatur ini candi biasanya berbentuk bujur sangkar dengan pusat, sebagai tempat paling suci, persis berada di tengah.

Sukuh berbeda karena ia satu-satunya candi di Jawa dengan konsep punden berundak atau teras bertingkat. Bangunannya juga terbagi dua oleh jalan setapak batu. Ciri-ciri tersebut dimiliki bangunan suci masa megalitikum. Pengaruh budaya megalitikum ditengarai muncul kembali lantaran budaya Hindu mulai surut.

Sukuh dilaporkan pertama kali ditemukan oleh Residen Surakarta Johnson, 1815. Di masa kekuasaan Inggris ini, Ia ditugaskan Gubernur Jenderal Thomas Stanford Raffles mengumpulkan bahan untuk buku The History of Java.

Setelah kekuasaan kembali ke Belanda, sejumlah arkeolog negara itu meneliti Sukuh. Antara lain, Van der Vlis pada 1842, Hoepermen dan Verbeek (1889), Knebel (1910), dan W.F. Stutterheim (1930). Peneliti yang disebut terakhir ini menaruh atensi pada bentuk Candi Sukuh yang sederhana dan berbeda dari candi Hindu lain.

Menurut dia, ada tiga alasan. Pertama, pemahat Sukuh kemungkinan bukan ahli dari istana, bahkan mungkin bukan ''arsitek'' batu, melainkan tukang kayu. Kedua, candi dibuat tergesa-gesa. Ketiga, surutnya kekuasaan Majapahit sehingga tidak memungkinkan membangun candi besar dan megah.
Candi tidak didirikan oleh kaum kerajaan, melainkan oleh para pelarian dari Majapahit yang menghindari kejaran prajurit Demak. Mereka pun tinggal di wilayah pinggiran kekuasaan Majapahit. Budaya Hindu mereka bertemu dan mengalami akulturasi denga kepercayaan rakyat setempat; yang masih menyembah roh leluhur.
 
Ada satu pengertian lain mengenai hipotesis itu. Sukuh berasal dari ungkapan Jawa ''kesusu waton bakuh''. Artinya, tergesa-gesa asal kuat. Dari segi fisik bangunan memang kuat. Tapi filosofinya dalam kondisi tergesa-gesa atau terjepit, manusia akan selalu kembali pada Ilahi dan jatidirinya demi menguatkan jiwa.

Candi Sukuh pertama kali direnovasi pertama pada 1917. Pemugaran besar-besaran terakhir pada 1982. Beberapa bahan asli dari batu andesit— dari material Lawu yang dulu gunung aktif --diperkuat dengan batu kali. Beberapa tahun lalu, gapura utama juga sempat diperkuat dengan semen karena posisinya semakin miring.

Kompleks purbakala seluas 5.500 meter persegi ini ditengarai masih berhubungan dengan situs lain di sekitarnya. Misalnya dengan Candi Cetho dan situs Planggatan yang berjarak 2 kilometer dari Sukuh. Sayangnya, pemugaran Cetho pada 1970-an jauh berbeda dari bentuk semula, sehingga sulit dilacak kaitannya. Sementara itu, Planggatan belum intensif dieksplorasi. Tak jauh berselang, ditemukan arca berwujud raksasa dan artefak batu masing-masing berjarak satu kilometer dan tiga kilometer dari Sukuh.

Candi Sukuh berada di lereng barat Gunung Lawu. Tepatnya di Desa Berjo, Kecamatan Ngargoyoso, Karanganyar, Jawa Tengah. Berdiri di atas ngarai, 910 meter dari permukaan laut, Sukuh ada di tengah permukiman warga, di antara hutan, sawah, dan ladang.


MNC WORLD NEWS
Glimpse From The Past – Indonesia’s Urban Legend
(Ki Cokro ST)
  https://www.youtube.com/watch?v=KhHB9mTGQ3E&feature=youtu.be

Rabu, 22 Februari 2017

Keris Pusaka Sakti, Singo Barong

Keris Singo Barong
Keris adalah salah suatu benda pusaka asli Nusantara ini yang namanya cukup menggetarkan para pecinta Keris. Salah satunya adalah  Keris  Singo Barong.  Sejak dahulu, keris dengan bentukan dapur Singa Jantan ini telah menjadi buruan para pemburu benda pusaka karena keris dengan dapur Singo Barong diyakini memang sangat kuat baik dari segi tuah atau segi filosofinya. Dapur Singa Jantan (simha) ini akan membuat sang pemilik atau pemegang keris ini memiliki karakter pemberani dan kuat bagaikan simha yang penuh kekuatan dan keberanian.  Selain itu, wibawa singa juga diyakini mampu membuat pemilik atau pemegang keris ini memiliki kewibawaan dan kharisma bagaikan singa.

Keris Singo Barong merupakan   salah satu keris yang cukup istimewa, sangat langka, bahkan dikenal sebagai keris pusaka yang paling ampuh atau sakti dari sekian pusaka keris jenis lainnya. Kharismanya sangat kuat, dan bila kekuatan keris ini sudah menyatu dengan pribadi pemiliknya, maka orang yang memiliki keris ini bagaikan singa, disegani kawan atau lawan, tapi tidak semua orang bisa cocok memegang pusaka keris Singo Barong ini.

Selain symbol kejantanan bagi pemiliknya, pusaka ampuh ini  Insyaallah  juga memiliki Yoni atau manfaat, untuk Pamor Pedaringan Kebak ini ditinjau dari gambaran motifnya sangat mirip dengan Pamor Wos Wutah yang artinya beras tumpah, sedangkan pedaringan kebak maknanya adalah Peti Beras yang selalu penuh. Kata “pedaringan” artnya peti beras. Dulu, orang jawa umumnya menyiumpan beras dalam sebuah peti besar terbuat dari kayu. Dari segi bentuk gambaran pamornya, pedaringan kebak lebih rumit dibandingkan dengan bentuk gambaran  pamor wos wutah. Pamor ini  boleh dikatakan menempati hamper seluruh permukaan bilah keris, tidak mengelompok menjadi beberapa bagian. Sedangkan tuahnya sama dengan  tuah pamor Wos Wutah hanya saja lebih kuat pamor ini. Manfaatnya adalah untuk ketentraman rumah tangga, karier, rezeki, kesuksesan karier dan kerejekian, memudahkan mendatangkan rejeki, usaha dagang, bisnis, penolak bala, pagar diri dan tempat usaha dari pengaruh atau serangan negative (santet, guna-guna dan ilmu sihir). Pamor ini tidak pemilih, artinya siapa saja cocok memiliki keris dengan pamor ini


Mengenai kecocokan seseorang dengan keris yang dimiliki atau dipegangnya,  memiliki pusaka keris   dapat  diibaratkan sama dengan pakaian sehingga wajar jika ada yang cocok atau tidak cocok. “Ya bisa dikatakan Keris Pusaka adalah ibarat pakaian, ada yang cocok ada yang tidak.  Misalkan begini, saya ini kan seorang petani yang kerjanya setiap hari berkebun dan mencangkul.  Kalau saya sehari-harinya pakai jubah seperti Kyai atau pakai baju safari seperti anggota DPR kan tidak cocok mas, bukannya tambah berwibawa tapi malah jadi bahan cemoohan para tetangga, walaupun Jubah atau baju safari  itu harganya jutaan rupiah” kata Gus Cokro ST, salah satu pemilik keris pusaka Singo Barong.  

Lebih jauh dipaparkan oleh Gus Cokro ST bahwa, Keris Singo Barong sangatlah cocok dan tepat jika yang memegang Keris  ini adalah para pemimpin seperti Bupati atau Presiden.  Dan jika Bupati atau Presiden memiliki keris jenis ini, maka dia akan menjadi pemimpin yang tegas dan berwibawa, disegani oleh semua orang, baik oleh rakyat yang dipimpinnya maupun oleh kawan dan lawan politiknya, tidak hanya itu pemilik keris Singo Barong  ini juga bisa membuat pemilik atau pemegangnya menjadi sosok yang pintar dalam berbicara sehingga sangat pas jika dimiliki oleh para pemimpin  baik pemimpin formal maupun non formal.
Gus Cokro ST memperoleh keris pusaka Singo Barong pada saat melakukan Riyadhoh Batin, dan berhasil mewujudkan pusaka bertuah tersenut dari alam dimensi astral menjadi wujud ke alam nyarta. Keris pusaka bertuah Singo Barong memiliki cirri khas Dapur/bentuk: Singo Barong. Pamoir/Lambang/ Filosofi: Pedaringan Kebak. Estimasi era: mataraman Senopaten.


Hingga kini Keris Pusaka Singo Barong menjadi koleksi pribadi Gus Cokro ST, tapi siap dimaharkan kepada Pribadi yang sesuai atau yang terpilih.



MNC WORLD NEWS
Glimpse From The Past – Indonesia’s Urban Legend
(Ki Cokro ST)

https://www.youtube.com/watch?v=KhHB9mTGQ3E&feature=youtu.be

Kawruh Seks Raja-Raja Jawa

Ilmu atau kawruh tentang seks memang selalu manarik perhatian. Bahkan lebih menarik dari cuwitan galau yang akhir-akhir ini ini memenuhi pemberitaan media. Namun kita harus akui, sebagai masyarakat dengan adat ketimuran, seks adalah hal yang tabu untuk diperbincangkan. Ya, kesan wagu (tabu) memang melekat dengan kata seks ini.

Kita terkadang gamang untuk berbicara tentang seks, apalagi sampai menulisnya secara lugas, gamblang dan terbuka. Kita khawatir dituding tak tahu diri, atau sengaja menyebarluaskan pemahaman tentang seks, yang oleh sebagian masyarakat dipandang sebagai sesuatu yang tabu. 

Dalam banyak literasi, pengertian seks jika dibatasi alat kelamin semata, tentu sangat dangkal. Karena hal ini menafikan kenyataan-kenyataan fisiologis sebagaimana ditelanjangi dalam buku-buku ilmiah kedokteran. Pun sebaliknya, jika hanya diartikan sebagai persetubuhan saja, tentu juga naif, karena akan mengesampingkan realita cumbu rayu, ransangan-ragsangan pada daerah erotis, mantra-mantra seksual dan cinta kasih.
  
Serat Centhini bisa jadi adalah satu-satunya manuskrip kuno karya asli orang Indonesia yang secara gamblang menguraikan tentang berbagai aspek dan dimensi seks. Maka tidak berlebihan jika dikatakan bahwa Serat Centhini adalah manuskrip Kamasutra versi Jawa. Manuskrip ini mulai ditulis pada Januari 1814 oleh tim pengarang Keraton Surakarta yang terdiri dari Adipati Anom Amengkunegara atau Paku Buwana V, Ki Ngabehi Rangga Sutrasna, Ki Ngabehi Yasadipura II dan Ki Ngabehi Sastradipura, pada masa pemerintahan Paku Buwana IV (1788-1820).

Ya,tidak berlebihan kiranya jika kita membincang perilaku sosial dan budaya Jawa, khususnya urusan seks, sepertinya tidak lengkap bila tidak menyimak Serat Centhini terlebih dulu. Di jamannya, Serat Centhini termasuk dalam karya tulisan yang berani dan mengungkap persoalan secara gamblang serta apa adanya. Menariknya lagi, penulis atau penggubahnya adalah seorang bangsawan.
Para pemikir atau intelektual Jawa di jamannya dulu memang sudah menanam keyakinan bahwa seks merupakan salah satu bagian dari budaya kehidupan manusia. Seks adalah sesuatu yang logis dan alamiah. Sejak dulu juga, para pemikir Jawa sudah memandang dan berpendapat bahwa seks atau seni bercinta sebagai bagian dari harmoni kehidupan manusia yang tidak bisa ditinggalkan begitu saja.

Karena itulah banyak para pemikir atau intelektual Jawa di masa lalu yang menulis 'beragam pengetahuan dan persoalan' tentang seks. Serat Centhini merupakan salah satu di antaranya. Kemudian pemberian pemahaman tentang seks juga terdapat di dalam Serat Gatoloco dan Serat Dharmogandhul.

Persoalan seks yang sangat pribadi pun diungkap secara terbuka, terang benderan jika kita meminjam bahasa politisi jaman sekarang, dan tanpa basa-basi di dalam Serat Centhini. Hebatnya lagi, persoalan seks yang diungkap tak sebatas yang ada pada kehidupan masyarakat kecil atau rakyat jelata, tapi juga yang terjadi di lingkungan istana atau para bangsawan di keraton Jawa.

https://www.youtube.com/watch?v=KhHB9mTGQ3E&feature=youtu.be
Dalam Serat Centhini masalah seksual menjadi tema sentral yang diungkap secara verbal tanpa tedeng aling aling, paradoksal dengan etika sosial Jawa yang dikenal puritan dan ortodoks. Masalah seks dibicarakan dalam berbagai versi dan kasus, seperti, menyangkut pengertian, sifat, kedudukan, fungsi, etika dan tata cara bermain seks, dan gaya persetubuhan.

Seks juga dibicarakan dalam banyak varian lainnya, misalnya, hubungan seks dengan perkawinan, seks dengan kesetiaan suami-istri, seks dengan pengobatan, seks dengan pemerkosaan, seks dengan pelampiasan hasrat-hasrat hedonis, seks dengan asal usul kehidupan dan ilmu kasunyatan.

Seks sebagai ekspresi pelampiasan hasrat-hasrat hedonis, dalam pandangan Jawa, berlaku agregrasi atau bentuk hubungan antara kecantikan perempuan dengan kewibawaan lelaki yang bersifat politis. Kecantikan juga dipandang sebagai lelangen, bahkan berlaku asumsi, jika raja semakin banyak memiliki istri yang cantik, maka semakin meningkatlah derajat kewibawaannya.

Hal ini juga tersurat dalam Serat Cemporet karya R. Ngabehi Ranggawarsita, pujangga keraton Surakarta pada masa pemerintahan Paku Buwana V hingga Paku Buwana IX, disebutkan bahwa bagi bangsawan luhur, perempuan merupakan lelangen (hiasan), tanpa memilih atau melihat-lihat dari mana asal usul silsilah keturunannya, asalkan perempuan itu memiliki kecantikan yang hebat, ia akan dapat menambah kawibawan (kewibawaan) lelaki.

Aspek penampilan luar (fisik) yang bersifat genital pada tubuh perempuan juga menjadi fokus perhatian yang lebih selain penampilan nonfisik. Hal seperti ini juga tampak pada budaya katuranggan yang sedemikian konkret mengapresiasi wacana ketubuhan.

Budaya katuranggan, misalnya, bisa ditemukan dalam tradisi gemblak pada kultur warok Ponoragan. Gemblak adalah lelaki yang berperilaku layaknya seorang wanita yang lemah gemulai (baca: transgender) dan menjadi patner sang warok dalam bercinta.

Adapun aspek nonfisik menjadi fokus perhatian, misalnya, dalam urusan memilih istri. Dalam pandangan Jawa, istri yang baik harus berwatak;

Sama, memiliki welas asih kepada sesama;

Beda, mampu memilah apa yang lebih penting yang hendak dilakukan;
Dana, suka memberi kesenangan kepada sesama;

Dhendha, mampu menilai yang baik dan buruk atas dasar empan-empan (tempat, keadaan, situasi, dan kondisi);

Guna, mengerti wewenang dan kewajiban terhadap seluruh kegiatan yang berhubungan dengan perempuan;

Busana, mengetahui dan menerapkan semua yang dimiliki sesuai maksud dan situasi;

Asana, bisa menata dan memelihara rumah agar tampak baik dan menyenangkan hati;

Sawandana, mampu menyelaraskan keinginan lahir dan batin, dalam meladeni suami seperti meladeni diri sendiri;

Saekapraya, mampu menyelaraskan keinginan diri sendiri dengan keinginan suaminya; dan
Sajiwa, memiliki kesetiaan kepada suami seperti kesetiaan kepada dirinya sendiri. Terminologi lain yang juga dipakai ialah bobot, bibit dan bebet.

Ajaran bercinta dalam pandangan Jawa meliputi;
Asmaranala atau sengseming nala, dua insan yang bercinta hendaknya dilandasi oleh cinta kasih yang tumbuh dalam hati;

Asmaratura atau sengseming pandulu, dua insan yang becinta hendaknya dilandasi oleh rasa saling ketertarikan kepada kecantikan dan ketampanan pasangannya;

Asmaraturida atau sengseming pamirengan, dua insan yang bercinta hendaknya larut dalam sendagurau mesra;

Asamaradana atau sengseming pocapan, bahwa syair, puisi dan kata-kata indah -pujian terhadap kekasihnya- hendaknya dilantunkan oleh sepasang kekasih untuk menumbuhkan cinta kasih agar semakin bergelora;

Asmaratantra atau sengseming pangarasan, bahwa ciuman merupakan mantik birahi yang dahsyat, karenanya sepasang kekasih yang bercinta hendaknya mempelajari teknik-teknik berciuman;

Asmaragama atau sengseming salulut, bahwa puncak dari karonsih (bercinta) adalah salulut, yaitu masuknya penis kedalam vagina, untuk itu perlu dipastikan kesiapan masing-masing agar mampu memberikan kenikmatan paripurna.

Dalam kitab klasik Jawa, unsur laki-laki dipandang sebagai upaya atau alat mencapai kebenaran yang agung. Sedang wanita merupakan prajna atau kemahiran yang membebaskan. Oleh karena itu persetubuhan dipahami sebagai bakti seorang istri kepada suaminya, dan merupakan kewajiban seorang suami terhadap istrinya.

Puncak ajaran serta penghayatan seks dalam tradisi Jawa, sebagaimana tersebut dalam Serat Centhini pupuh asmaradana, untuk mengetahui asal usul kamanusiaan dan tujuan kesempurnaan hidup manusia.

Hal yang sama juga terdapat dalam Serat Gatholoco, bahwa seks merupakan penyatuan antara dua oposisi yang sebenarnya adalah pasangan binernya, baik pasangan dalam mikrokosmos, makromosmos maupun metakosmos. Semua pasangan biner menyatu dalam satu kesatuan yang harmonis. Karenanya, yang laki-laki dan yang perempuan akhirnya harus melebur manjadi satu kesatuan. Inilah harmoni total.

Akhirnya, tidak bisa dipungkiri bahwa Serat Centhini adalah manuskrip Kamasutra versi Jawa, juga paling lengkap karena mengupas seks dari berbagai aspek dan dimesinya. Bahkan, tidak berlebihan jika kita katakan bahwa Serat Centhini merupakan pelajaran seks dari Raja Jawa.  



MNC WORLD NEWS
Glimpse From The Past – Indonesia’s Urban Legend